Surat Al-Kahfi menempati posisi yang sangat penting dalam khazanah keilmuan Islam, dikenal sebagai surah pelindung dari fitnah Dajjal dan sumber pelajaran mendalam tentang ujian keimanan, kesabaran, serta keterbatasan ilmu manusia. Surah ini dibuka dengan pujian agung kepada Allah SWT, yang menurunkan Al-Quran tanpa kebengkokan sedikit pun, berfungsi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan yang tegas.
Dalam rangkaian ayat-ayat awal yang membangun fondasi teologis surah ini, kita sampai pada Ayat 5, sebuah pernyataan yang begitu lugas, tajam, dan fundamental, menegaskan prinsip Tauhid (Keesaan Allah) secara mutlak. Ayat ini bukan sekadar informasi, melainkan sebuah proklamasi ilahiah yang membersihkan keyakinan dari segala bentuk penyimpangan dan klaim palsu. Untuk memahami kedalaman makna surah ini, khususnya Ayat 5, kita perlu menyelami konteksnya, tafsir perkata, dan implikasi teologisnya yang luas.
Ayat 5 dari Surat Al-Kahfi hadir sebagai kelanjutan langsung dari peringatan keras yang ditujukan kepada orang-orang yang menentang kebenaran dan mengajukan klaim-klaim yang merusak akidah.
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks ayat 4 sebelumnya, Allah telah memperingatkan mereka yang berkata bahwa "Allah mengambil (mempunyai) seorang anak." Ayat 5 kemudian berfungsi sebagai penolakan dan kecaman yang sangat keras terhadap klaim tersebut. Klaim bahwa Allah memiliki anak adalah klaim yang ditujukan kepada kelompok-kelompok seperti kaum Nasrani yang mempercayai Isa sebagai Anak Allah, atau kaum Yahudi yang menganggap Uzair sebagai Anak Allah, atau bahkan kaum musyrikin Arab yang meyakini bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.
Memahami Ayat 5 membutuhkan analisis mendalam terhadap setiap frasa untuk mengungkap intensitas penolakan ilahiah ini. Kekuatan retorika (balaghah) dalam ayat ini sangatlah tinggi.
Frasa ini merupakan inti dari penolakan logis. Allah menegaskan bahwa klaim mereka—bahwa Dia memiliki anak—adalah klaim yang tidak berdasar sama sekali. Kata عِلْمٍ (ilmun/pengetahuan) di sini digunakan dalam bentuk nakirah (indefinite) dan didahului oleh kata negasi (مِنْ) yang berfungsi memperkuat penolakan (nafy al-istighraq). Artinya: Mereka tidak memiliki sedikit pun, sejumput pun, atau sehelai benang pun dari pengetahuan, bukti, atau argumen yang shahih untuk mendukung klaim yang mengerikan ini.
Lebih lanjut, penolakan ini diperluas hingga mencakup nenek moyang mereka (وَلَا لِآبَآئِهِمْ). Ini menjawab argumen umum yang digunakan oleh kaum musyrikin saat ditantang kebenaran (yaitu, mereka berpegang pada tradisi leluhur). Al-Quran menolak dasar tradisi buta ini. Keyakinan tentang Tauhid tidak boleh didasarkan pada warisan tanpa bukti, melainkan harus didasarkan pada wahyu yang murni dan akal yang sehat. Jika nenek moyang mereka tidak memiliki ilmu, maka klaim yang mereka warisi juga tidak memiliki bobot kebenaran.
Implikasi teologis dari bagian ini adalah bahwa masalah akidah dan sifat-sifat Allah adalah masalah gaib yang tidak bisa dijangkau oleh spekulasi manusia atau warisan kultural. Hanya Allah yang berhak menjelaskan sifat-Nya sendiri, dan Dia telah menjelaskan melalui wahyu (Al-Quran) bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan (QS. Al-Ikhlas: 3). Klaim sebaliknya adalah murni rekaan manusia.
Ini adalah bagian retoris yang paling kuat dalam ayat ini. كَبُرَتْ berarti "alangkah besarnya," "alangkah beratnya," atau "alangkah jeleknya" (dalam konteks kecaman). Ini menggambarkan besarnya dosa dan kekejian klaim yang mereka lontarkan. Klaim ini adalah sebuah 'kalimah' (kata/pernyataan) yang sangat besar dan menjijikkan di sisi Allah.
Kata-kata ini, meski hanya sebatas bunyi yang تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ (keluar dari mulut mereka), memiliki dampak kosmis yang besar. Ini menunjukkan bahwa klaim syirik (menyekutukan Allah) adalah dosa terbesar dan paling mengerikan yang bisa diucapkan manusia. Imam Al-Qurtubi dan para mufassir lainnya menjelaskan bahwa frasa ini menggambarkan betapa mudahnya mereka mengucapkan kekufuran padahal dampaknya begitu dahsyat. Kejelekan itu terikat pada 'kata-kata' itu sendiri, menunjukkan bahwa bahkan sebelum kata itu menjadi keyakinan di hati, tindak pengucapannya sudah merupakan kekejian yang nyata.
Ayat ini mengajarkan kepada mukmin bahwa kata-kata yang diucapkan tidaklah netral; kata-kata tentang akidah memiliki bobot abadi. Mengklaim adanya anak bagi Allah adalah penghinaan tertinggi terhadap keagungan-Nya (Jalalullah) dan Kesucian-Nya (Tanzih). Itu adalah sebuah 'kalimat' yang hampir-hampir merobek tirai keagungan langit karena kelancangan manusia.
Ayat ini ditutup dengan penegasan mutlak bahwa ucapan mereka hanyalah كَذِبًا (kedustaan). Struktur kalimat إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا menggunakan format negasi dan pengecualian (hasr) yang mengunci makna: Mereka tidak mengucapkan apa pun selain dusta. Tidak ada sedikit pun kebenaran, spekulasi, atau kemungkinan yang terkandung di dalamnya; itu murni kebohongan, penipuan, dan ilusi yang mereka ciptakan sendiri.
Ayat ini berfungsi sebagai cap definitif dari Allah SWT terhadap klaim syirik tersebut, menghilangkan keraguan apa pun mengenai statusnya. Ini bukan sekadar kesalahan interpretasi atau perbedaan pendapat; ini adalah dusta yang disengaja atau setidaknya dusta yang lahir dari kebodohan dan penolakan terhadap wahyu yang jelas.
Ayat 5 tidak berdiri sendiri. Ia adalah puncak peringatan yang dimulai dari Ayat 1 hingga 4. Surah Al-Kahfi secara keseluruhan berfokus pada empat ujian atau ‘fitnah’ utama yang dihadapi manusia:
Namun, semua fitnah ini bermuara pada satu fitnah terbesar: Fitnah Akidah (Syirik). Ayat 5 secara tegas menangani akar semua penyimpangan spiritual, yaitu penyelewengan dari Tauhid yang murni.
Ayat 4 menyatakan: "Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, 'Allah mengambil seorang anak.'" Ayat 5 segera menyusul untuk memutus akar permasalahan: "Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu..."
Hubungan ini menunjukkan struktur logis: Peringatan (Ayat 4) diikuti dengan Justifikasi dan Kecaman (Ayat 5). Allah tidak hanya memperingatkan; Dia menjelaskan mengapa klaim tersebut salah: karena ia tidak didasarkan pada ilmu dan hanya berupa dusta lisan. Ini mengajarkan bahwa pengingkaran terhadap Tauhid bukan hanya masalah teologis, tetapi juga kegagalan intelektual dan moral.
Ayat 5 adalah manifestasi dari doktrin Tanzih, yaitu menyucikan Allah dari segala sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Mengklaim bahwa Allah memiliki anak adalah menyamakan-Nya dengan makhluk, yang membutuhkan pasangan, keturunan, dan bantuan. Ini bertentangan dengan sifat Al-Ahad (Yang Maha Esa), As-Samad (Tempat bergantung), dan Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri).
Jika Allah memiliki anak, itu berarti:
Ayat 5 menutup semua pintu interpretasi tersebut. Dusta ini harus ditolak secara total karena ia merusak inti dari Keesaan Allah.
Penting untuk mengulas lebih dalam mengapa Allah menggunakan ungkapan yang begitu kuat: كَبُرَتْ كَلِمَةً (Alangkah jeleknya kata-kata). Dalam tafsir, ini dikaitkan dengan kedahsyatan dosa syirik.
Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa ketika klaim syirik diucapkan, langit dan bumi hampir pecah (seperti dalam QS. Maryam: 90). Klaim tentang adanya anak bagi Allah adalah pelanggaran yang begitu besar hingga memengaruhi tatanan alam semesta. Ini menunjukkan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut manusia memiliki potensi kerusakan yang melampaui batas pandangan mata manusia.
Ketika Ayat 5 menyatakan bahwa kata-kata itu تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ (keluar dari mulut mereka), hal ini juga mengisyaratkan bahwa kata-kata tersebut seringkali diucapkan tanpa perenungan mendalam, hanya sebagai warisan lisan yang diulangi, memperparah kedustaan mereka. Mereka mengucapkannya dengan ringan, padahal timbangan dosanya sangat berat di sisi Allah.
Meskipun terdapat banyak dosa dalam Islam, syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika dibawa mati (QS. An-Nisa: 48). Ayat 5 menegaskan status ini. Klaim ketuhanan yang tidak benar adalah serangan langsung terhadap hak prerogatif Allah. Dusta tentang kepemilikan anak bagi Allah adalah bentuk syirik paling mendasar yang merusak pondasi seluruh agama samawi yang dibawa oleh para nabi—yaitu dakwah Tauhid.
Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa 'Kaburat Kalimatan' berarti betapa besarnya dan dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh perkataan tersebut di akhirat, dan betapa parahnya hukuman yang akan menimpa orang yang mengucapkannya. Perkataan itu sendiri sudah merupakan keburukan yang tidak tertandingi.
Bagian ayat yang menolak ilmu nenek moyang (وَلَا لِآبَآئِهِمْ) merupakan pelajaran krusial dalam metodologi berpikir Islam.
Islam menghargai tradisi yang benar, tetapi menolak taqlid (mengikuti tanpa dasar) buta dalam hal akidah. Jika fondasi keyakinan leluhur didasarkan pada spekulasi, asumsi, atau mitos, maka keyakinan tersebut harus ditinggalkan demi kebenaran yang dibawa oleh wahyu.
Di masa Nabi Muhammad SAW, banyak penentang yang berpegangan pada alasan, "Ini adalah agama yang kami temukan pada nenek moyang kami." Ayat 5 membongkar argumen ini: jika nenek moyang tidak memiliki pengetahuan (ilmu) yang sah dari Allah, mengikuti mereka dalam kesalahan adalah dosa, bukan pengorbanan. Ilmu yang dimaksud di sini adalah bukti yang jelas (hujjah) dari Allah, bukan sekadar opini atau konsensus manusia.
Ayat ini menekankan bahwa dasar akidah haruslah ilmu (pengetahuan yang pasti). Keyakinan harus didasarkan pada argumentasi yang kuat dan bukti yang diturunkan oleh Pencipta. Karena klaim tentang sifat Allah adalah klaim gaib, satu-satunya sumber ilmu yang valid adalah Allah sendiri melalui Rasul-Nya. Jika klaim adanya anak bagi Allah tidak ditemukan dalam wahyu murni, maka klaim tersebut tidak memiliki dasar ilmu, dan oleh karena itu, ia adalah dusta.
Meskipun diturunkan dalam konteks historis menghadapi kaum musyrikin Mekah dan kelompok yang menyimpang di kalangan Ahli Kitab, Ayat 5 tetap relevan sebagai benteng pertahanan bagi umat Islam modern menghadapi berbagai bentuk syirik baru dan relativisme teologis.
Ayat 5 berfungsi sebagai garis merah absolut dalam akidah. Dalam era di mana dialog antaragama terkadang mengarah pada sinkretisme atau pemudaran batas-batas akidah demi harmoni artifisial, ayat ini mengingatkan bahwa ada titik yang tidak dapat dikompromikan: Keesaan dan Keunikan Allah (Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah).
Setiap klaim yang menyeret Allah ke dalam keterbatasan makhluk—entah itu melalui anak, sekutu, atau campur tangan yang merusak sifat-sifat-Nya yang sempurna—adalah klaim yang ditolak mutlak oleh Al-Kahfi Ayat 5 sebagai dusta yang keluar dari mulut tanpa dasar ilmu.
Sama seperti nenek moyang yang diwarisi kebohongan (وَلَا لِآبَآئِهِمْ), di era digital ini, umat manusia dibanjiri oleh informasi dan klaim yang tidak berdasar. Ayat 5 mengajarkan prinsip verifikasi fundamental: jangan menerima klaim, terutama yang berkaitan dengan keyakinan, jika tidak didukung oleh ilmu (bukti wahyu atau fakta yang tak terbantahkan).
Jika kita dapat menolak klaim leluhur yang tidak berilmu, kita harus lebih keras menolak klaim kontemporer tentang spiritualitas atau ketuhanan yang disebarkan melalui media tanpa otoritas keilmuan Islam yang sah.
Para ahli balaghah (retorika Al-Quran) mengagumi susunan kalimat dalam Ayat 5, terutama penggunaan kata kerja كَبُرَتْ.
Kata كَبُرَتْ adalah kata kerja lampau yang menunjukkan seolah-olah keburukan dan kejelekan kata-kata itu sudah menjadi fakta yang kokoh dan tidak dapat diubah sejak kata itu diucapkan pertama kali. Ini bukan sekadar penilaian di masa depan, melainkan vonis langsung atas sifat hakiki dari perkataan tersebut.
Penggunaan مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ, di mana huruf 'min' (مِنْ) disisipkan sebelum kata 'ilmun' (عِلْمٍ), berfungsi untuk taukid (penekanan). Ini menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun partikel ilmu yang mendasari klaim mereka. Ini adalah negasi yang menyeluruh dan definitif, menutup setiap celah untuk argumen tandingan.
Mengakhiri ayat dengan إِلَّا كَذِبًا (kecuali dusta) memberikan kesimpulan yang tegas dan tidak ambigu. Ini adalah akhir dari diskusi teologis mengenai isu tersebut. Klaim adanya anak bagi Allah adalah 100% dusta, tidak perlu diperdebatkan lagi berdasarkan logika wahyu. Ini memberikan keyakinan yang kokoh (yaqin) bagi orang-orang beriman.
Dalam konteks keseluruhan Surah Al-Kahfi, yang merupakan surat Makkiyah dan fokus pada penguatan akidah di tengah tekanan penganiayaan, Ayat 5 berfungsi sebagai jangkar spiritual. Ketika seorang mukmin merasa terombang-ambing oleh fitnah dunia—harta, kekuasaan, atau ilusi ilmu—mereka harus kembali pada fondasi terkuat: kesucian Tauhid. Kekuatan Ayat 5 terletak pada pembersihan total akidah dari noda syirik, baik yang diucapkan maupun yang diwariskan.
Ayat 5 menggolongkan klaim 'anak Allah' sebagai dusta. Mari kita telaah mengapa klaim ini dianggap dusta total dari perspektif teologis dan filosofis Islam, jauh melampaui sekadar kesalahan doktrinal.
Klaim anak bagi Allah mengandung dusta karena menyiratkan bahwa Allah memiliki kekurangan. Anak hanya dibutuhkan oleh makhluk yang fana, yang membutuhkan penerus, yang lemah, atau yang dibatasi oleh waktu dan tempat. Allah adalah Al-Ghaniy (Maha Kaya), tidak bergantung pada apa pun. Klaim bahwa Dia membutuhkan seorang anak adalah dusta yang menyangkal sifat-sifat kesempurnaan-Nya (Sifatul Kamal).
Anak adalah hasil dari proses penciptaan dan reproduksi, sesuatu yang terikat pada hukum alam yang diciptakan Allah sendiri. Jika Allah memiliki anak, berarti Dia tunduk pada hukum yang Dia ciptakan. Ini adalah dusta logis karena menempatkan Pencipta di bawah ciptaan-Nya. Segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan (makhluq); tidak ada hubungan 'anak' melainkan hubungan 'pencipta dan ciptaan'.
Dengan demikian, klaim yang keluar dari mulut mereka (Ayat 5) adalah dusta karena ia bertentangan secara inheren dengan realitas dan logika keberadaan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal dan Mutlak.
Bagaimana Ayat 5 seharusnya dihayati dan diamalkan oleh umat Islam?
Karena ayat ini menekankan betapa 'jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka', mukmin diajarkan untuk menjaga lisan. Ini adalah peringatan bahwa kata-kata yang mengandung unsur syirik atau yang meremehkan sifat-sifat Allah adalah dosa besar, bahkan jika diucapkan tanpa disadari atau diulang-ulang dari sumber yang tidak valid. Pengucapan syahadat harus menjadi pembersih lisan dari segala dusta yang menyerang Tauhid.
Ayat 5 menegaskan keutamaan ilmu dalam menetapkan akidah. Pengamalan ayat ini berarti mukmin harus mendasarkan seluruh keyakinan mereka pada ilmu yang diturunkan (wahyu) dan memastikan bahwa warisan tradisi yang mereka pegang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih. Jika ada keraguan, ilmu Al-Quran adalah penentu terakhir.
Surat Al-Kahfi, terutama Ayat 5, mengajarkan umat Islam untuk menjadi teguh (istiqamah) dalam keyakinan Tauhid. Di tengah fitnah zaman, baik yang bersifat material, kekuasaan, maupun intelektual, keyakinan bahwa Allah adalah Satu, tidak memiliki sekutu, dan tidak memiliki anak, adalah satu-satunya benteng pertahanan spiritual yang mutlak dan tidak tergoyahkan. Setiap penyimpangan dari prinsip ini dianggap sebagai dusta yang begitu besar, yang kecaman ilahiahnya terekam dengan jelas dan tegas dalam firman-Nya: كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ.
Kesucian akidah yang dijaga berdasarkan ilmu, sebagaimana diajarkan dalam Surat Al-Kahfi Ayat 5, adalah kunci keselamatan di dunia dan akhirat, menjauhkan individu dari lembah kebodohan nenek moyang dan bahaya kekejian lisan yang menyesatkan. Ayat ini adalah seruan abadi menuju kemurnian Keesaan Ilahi.
Ketika Ayat 5 menyatakan bahwa mereka tidak memiliki 'ilmu' (pengetahuan), ini juga menyentuh aspek kesombongan intelektual. Orang yang berani mengklaim bahwa Allah memiliki anak adalah orang yang melangkahi batas akal dan wahyu. Mereka berasumsi bahwa mereka dapat mendefinisikan sifat-sifat Pencipta tanpa otoritas dari Pencipta itu sendiri.
Filosofi Islam (seperti yang dikembangkan oleh ulama kalam) mengajarkan bahwa akal manusia mampu menyimpulkan adanya Tuhan, tetapi tidak mampu mendefinisikan rincian sifat-sifat-Nya yang mutlak. Klaim tentang anak bagi Allah adalah hasil dari upaya akal untuk 'memanusiakan' Tuhan (antropomorfisme), memproyeksikan kebutuhan dan keterbatasan makhluk kepada Sang Khaliq.
Ayat 5 menjadi kritik keras: akal kalian tidak mencapai batas itu. Bahkan jika akal mencoba berfantasi, ia tidak akan pernah menghasilkan bukti (ilmu) yang mendukung klaim tersebut. Klaim itu hanyalah refleksi dari kebodohan, bukan dari hasil penyelidikan filosofis yang valid.
Kisah Nabi Musa dan Khidr dalam surah ini (yang datang kemudian) memperkuat tema ini. Nabi Musa, seorang rasul agung, diajarkan bahwa bahkan pengetahuannya yang besar memiliki batas. Jika seorang Rasul saja memiliki batasan ilmu dalam hal takdir dan hikmah, apalagi manusia biasa yang berani menetapkan sifat-sifat tertinggi Allah, seperti memiliki anak, tanpa dasar wahyu. Ayat 5 mempersiapkan pembaca untuk menerima kerendahan hati intelektual yang akan diajarkan oleh kisah Musa dan Khidr.
Kedustaan yang diangkat dalam Ayat 5 bukan hanya masalah teologis, tetapi juga masalah keadilan. Jika Allah memiliki anak, maka anak tersebut akan memiliki hak istimewa yang tidak adil dibandingkan makhluk lain. Tauhid memastikan bahwa semua ciptaan adalah hamba-Nya (abd) yang setara di hadapan-Nya, dan tidak ada yang memiliki hubungan khusus yang mendistorsi keadilan kosmis.
Banyak sistem kepercayaan yang mengklaim adanya anak Allah seringkali menggunakan figur ini sebagai mediator antara manusia dan Tuhan. Ayat 5, dengan menolak klaim anak tersebut sebagai dusta, secara implisit menolak kebutuhan akan mediasi ini. Hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah langsung dan tak terhalang. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat (QS. Qaf: 16).
Dusta dalam Ayat 5 juga memiliki dampak sosial. Ketika sebuah masyarakat percaya pada klaim syirik, mereka cenderung mengkultuskan individu tertentu (yang dianggap memiliki hubungan ilahi) dan menyimpang dari standar moral yang diturunkan. Surat Al-Kahfi memperlihatkan bahwa penyimpangan akidah (seperti yang ditunjukkan oleh pemilik kebun yang sombong) seringkali beriringan dengan penyimpangan moral dan sosial. Dengan membersihkan akidah dari dusta, Ayat 5 membuka jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang sangat kuat mengenai frasa كَبُرَتْ كَلِمَةً (Alangkah jeleknya kata-kata) untuk menggambarkan intensitas kemurkaan ilahiah:
Ath-Thabari menafsirkan 'kaburat' sebagai 'kejahatan yang sangat besar.' Ia menjelaskan bahwa Allah menyatakan keburukan yang luar biasa dari perkataan tersebut karena ia adalah klaim yang bertentangan dengan sifat keesaan dan kesempurnaan Allah. Menurutnya, ini adalah dosa yang begitu parah sehingga tidak ada dosa lisan lain yang menyamainya, karena ia merusak prinsip dasar eksistensi, yaitu Tauhid.
Al-Qurtubi menyoroti aspek 'pengeluaran' kata-kata dari mulut (تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ). Ia mengatakan bahwa keburukan klaim itu sudah terpancar dari lisan mereka, bahkan sebelum diproses secara mendalam dalam hati. Ia menekankan bahwa ini adalah peringatan bagi kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan, karena perkataan yang merusak akidah dapat membawa bencana bagi pelakunya.
Ibnu Katsir menghubungkan Ayat 5 dengan Surat Al-Ikhlas. Ia menyatakan bahwa ayat ini adalah penolakan terhadap semua kelompok, termasuk Nasrani, Yahudi, dan Musyrikin Arab, yang mengklaim adanya anak bagi Allah. Baginya, klaim ini adalah 'dusta' karena tidak didukung oleh bukti rasional maupun naqli (wahyu), dan itu adalah tuduhan palsu terhadap Allah SWT yang sempurna dan tidak membutuhkan apa-apa.
Surat Al-Kahfi sering disebut sebagai 'empat kisah' dan 'satu peringatan'. Ayat 5 adalah inti dari peringatan tersebut. Jika seseorang telah menetapkan Tauhid murni yang dilindungi oleh Ayat 5, ia akan memiliki landasan yang kuat untuk menghadapi empat ujian fitnah yang disajikan dalam surah ini:
Dengan demikian, Surat Al-Kahfi Ayat 5 bukan hanya sebuah ayat tentang teologi, tetapi sebuah prinsip universal yang mengarahkan kehidupan seorang mukmin agar selalu berada di jalur yang lurus, bebas dari kebohongan dan warisan kebodohan, serta selalu berhati-hati dengan setiap kata yang keluar dari mulut, karena ia dapat membawa kejelekan yang maha dahsyat di hadapan Sang Pencipta. Ini adalah inti perjuangan umat Islam sepanjang masa: menjaga akidah tetap murni dan membuang semua klaim dusta.
Kesimpulan dari peninjauan mendalam ini adalah bahwa Ayat 5 dari Surat Al-Kahfi merupakan salah satu ayat terpenting yang menetapkan kedaulatan, keunikan, dan kemutlakan Allah SWT. Ia adalah benteng terakhir melawan segala bentuk kemusyrikan dan pengingat abadi bahwa tidak ada pengetahuan yang sah yang dapat mendukung klaim bahwa Allah memiliki seorang anak. Klaim semacam itu, dari generasi ke generasi, tetaplah كَذِبًا, murni kedustaan.
Penyucian Tauhid adalah misi utama semua nabi, dan ayat ini menyajikan fondasi yang tidak dapat diganggu gugat. Umat Islam diperintahkan untuk menjauhkan diri dari segala bentuk perkataan dan keyakinan yang merendahkan keagungan Allah, agar mereka termasuk golongan yang mendapatkan pahala baik sebagaimana disebutkan di awal surah, dan terhindar dari siksa yang sangat pedih yang diancamkan kepada para pendusta. Ayat 5, meskipun singkat, menyimpan kedalaman makna yang tak terhingga, menjadikannya tonggak utama dalam memahami kesucian dan keunikan Tuhan semesta alam.
Oleh karena itu, setiap mukmin wajib merenungkan dan menghayati makna مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ, memastikan bahwa setiap keyakinan yang dipegang didasarkan pada bukti yang kuat dari wahyu, dan bukan sekadar warisan buta atau bisikan hati yang tak berdasar. Dengan demikian, kita menjauhkan diri dari 'kata-kata yang jelek' dan memelihara fitrah keimanan yang murni.
Dalam ilmu i'jaz (kemukjizatan) Al-Quran, pengulangan dan penekanan linguistik memiliki fungsi pedagogis dan retoris yang vital. Perhatikan bagaimana Ayat 5 secara tegas mengulang tema penolakan terhadap klaim yang tidak berdasar. Pertama, melalui penolakan ilmu: مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ. Kedua, melalui kecaman terhadap kata-kata itu sendiri: كَبُرَتْ كَلِمَةً. Dan ketiga, melalui vonis akhir: إِلَّا كَذِبًا. Tiga lapisan penolakan ini secara akumulatif menciptakan benteng yang tak tertembus terhadap klaim syirik.
Penggunaan tiga fase penolakan (penolakan ilmu, penolakan kualitas ucapan, penolakan substansi) menunjukkan bahwa isu ini bukan masalah sepele yang bisa diabaikan. Ketika Allah menggunakan mekanisme linguistik yang berlapis untuk menolak suatu klaim, ini menandakan bahwa klaim tersebut sangat berbahaya dan harus dipahami sebagai kebohongan total. Ini adalah metode pengajaran Al-Quran untuk memastikan bahwa poin krusial akidah ini tertanam kuat dalam benak pendengarnya.
Dalam konteks menghadapi tantangan dakwah di Mekah, di mana klaim-klaim politeistik seringkali disajikan dalam bentuk narasi mitos yang menarik, tri-negasi ini berfungsi sebagai palu godam yang menghancurkan semua narasi palsu dengan satu kesimpulan yang padat: itu adalah dusta, murni dusta, dan tidak memiliki dasar sama sekali.
Pilihan kata كَلِمَةً (kata/pernyataan) daripada قَوْلًا (ucapan) juga penting. 'Kalimah' seringkali merujuk pada sebuah frasa yang signifikan atau doktrin. Dengan menyebutnya 'kalimah', Allah menargetkan substansi doktrin itu sendiri, bukan hanya tindakan berbicara. Doktrin bahwa Allah memiliki anak adalah inti dari kejelekan, dan itu adalah doktrin yang paling besar keburukannya. Ini mengingatkan kita bahwa pemikiran (doktrin) yang menyimpang adalah sumber utama dari kerusakan lisan dan moral.
Surat Al-Kahfi Ayat 5 berdiri sebagai pembersih spiritual bagi hati dan lisan. Ia menuntut kejujuran intelektual dan ketaatan lisan yang mutlak. Kejujuran intelektual terlihat dari penolakan terhadap apa pun yang tidak didasarkan pada ilmu (مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ), sementara ketaatan lisan terlihat dari penghindaran terhadap perkataan yang jelek (كَبُرَتْ كَلِمَةً).
Dalam menghadapi dunia yang penuh dengan narasi alternatif mengenai kebenaran, kedaulatan, dan ketuhanan, Ayat 5 menawarkan filter yang sempurna. Setiap ajaran, setiap klaim, harus melewati uji kelayakan: Apakah ini didasarkan pada ilmu dari Allah? Jika tidak, ia harus diperlakukan sebagai 'dusta' (كَذِبًا) yang harus ditinggalkan. Inilah warisan abadi dari Surat Al-Kahfi Ayat 5 bagi setiap generasi muslim: kembalilah kepada Tauhid yang bersih, didasarkan pada ilmu, dan dijaga dari kebohongan lisan, demi menggapai rida Allah SWT.