Surat Al Kahfi dan Latinnya: Pedoman Lengkap Pembacaan, Terjemah, dan Tafsir

Simbol Al Kahfi

Pengantar Surat Al Kahfi

Surat Al Kahfi (Gua) adalah surat ke-18 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 110 ayat, dan tergolong dalam kelompok surat Makkiyah karena diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surat ini memiliki posisi yang sangat penting, terutama karena memuat empat kisah monumental yang menjadi pedoman fundamental dalam menghadapi fitnah (ujian) kehidupan.

Empat pilar kisah yang terkandung di dalamnya — Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidr, serta Dzulqarnain — secara kolektif mengajarkan tentang bahaya fitnah Dajjal, ujian keimanan, ujian kekayaan, ujian ilmu, dan ujian kekuasaan. Memahami isi surat ini, termasuk membacanya dalam transliterasi Latin bagi yang belum mahir membaca Arab, merupakan langkah vital dalam mendekatkan diri pada petunjuk Ilahi.

Keutamaan Membaca Al Kahfi

Membaca Surat Al Kahfi secara rutin, terutama pada hari Jumat, membawa keutamaan yang luar biasa, sebagaimana disampaikan dalam hadis-hadis sahih:

  1. Cahaya Penerang (Nur): Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Barangsiapa membaca Surah Al Kahfi pada hari Jumat, maka akan memancar cahaya baginya antara dua Jumat." Cahaya ini diinterpretasikan sebagai petunjuk, ampunan, dan kemudahan dalam urusan agama dan dunia.
  2. Perlindungan dari Dajjal: Keutamaan terbesar surat ini adalah perlindungan dari fitnah Dajjal (Anti-Kristus) di akhir zaman. Nabi ﷺ menganjurkan untuk menghafal atau membaca sepuluh ayat pertama, atau sepuluh ayat terakhir, untuk mendapatkan perlindungan ini.
  3. Pengingat Kiamat: Kisah-kisah di dalamnya berfungsi sebagai pengingat akan kebangkitan (melalui Ashabul Kahfi) dan akhir zaman (melalui Ya’juj dan Ma’juj), memperkuat keyakinan akan Hari Perhitungan.

Teks Lengkap Surat Al Kahfi Beserta Latin dan Terjemah (110 Ayat)

Berikut adalah pembagian ayat-ayat Surat Al Kahfi secara rinci, dilengkapi dengan transliterasi Latin dan terjemahan maknanya, diikuti oleh tafsir ringkas untuk memastikan pemahaman kontekstual yang mendalam.

Blok 1: Pujian kepada Allah dan Peringatan Keras

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا

1. Al-ḥamdu lillāhillażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj’al lahū ‘iwajā.
1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok (menyimpang).

Tafsir Ringkas: Ayat pembuka ini menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an. Frasa ‘tidak menjadikannya bengkok’ menekankan bahwa petunjuk ini lurus, jelas, dan bebas dari kontradiksi atau keraguan, menjadikannya sumber kebenaran mutlak bagi umat manusia.

قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًا

2. Qayyimal liyunżira ba'san syadīdam mil ladunhu wa yubasysyiral-mu'minīnallażīna ya‘malūnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā.
2. (Dia menjadikannya) lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik,

Tafsir Ringkas: Al-Qur'an berfungsi ganda: sebagai peringatan (ancaman neraka bagi yang ingkar) dan sebagai kabar gembira (pahala surga bagi yang beriman dan beramal saleh). Ini menetapkan dikotomi dasar dalam ajaran Islam: takut kepada hukuman dan berharap pada rahmat.

مَّاكِثِيْنَ فِيْهِ اَبَدًاۙ

3. Mākisṡīna fīhi abadā.
3. mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Tafsir Ringkas: Balasan yang baik (surga) bersifat abadi. Kata abadā (selama-lamanya) memberikan penekanan pada nilai permanen dari ketaatan di dunia ini.

وَّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًا

4. Wa yunżirallażīna qāluttakhażallāhu waladā.
4. Dan untuk memperingatkan kepada orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak.”

Tafsir Ringkas: Peringatan keras ditujukan khusus kepada kelompok yang menyimpang dari tauhid murni, seperti orang Yahudi, Nasrani, dan musyrikin Arab yang keliru mengklaim bahwa Allah memiliki keturunan. Ini adalah inti ajaran tauhid yang akan sering diulang dalam surat ini.

مَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ وَّلَا لِاٰبَاۤىِٕهِمْۗ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا

5. Mā lahum bihī min ‘ilmiw wa lā li'ābā'ihim. Kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim. In yaqūlūna illā każibā.
5. Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, demikian juga nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka.

Tafsir Ringkas: Klaim ketuhanan yang tidak berdasar ini dikecam sebagai kebohongan besar yang tidak didukung oleh ilmu pengetahuan maupun tradisi sahih. Ini adalah serangan langsung terhadap fitnah terbesar: fitnah kesesatan dalam akidah.

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا

6. Fa la‘allaka bākhi‘un nafsaka ‘alā āṡārihim il lam yu'minū bihāżal-ḥadīṡi asafā.
6. Maka, barangkali engkau (Nabi Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, setelah mereka tidak beriman kepada keterangan ini.

Tafsir Ringkas: Ayat ini memberikan hiburan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang sangat berduka atas penolakan kaumnya terhadap risalah. Allah mengingatkan bahwa tugas Nabi hanyalah menyampaikan, bukan memaksa iman. Kesedihan mendalam yang dirasakan Nabi adalah manifestasi kasih sayang beliau terhadap umatnya.

اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا

7. Innā ja‘alnā mā ‘alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu ‘amalā.
7. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.

Tafsir Ringkas: Ayat ini menyingkap tujuan penciptaan dunia: sebagai arena ujian. Perhiasan dunia (kekayaan, jabatan, kecantikan) bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menguji kualitas amal manusia. Ini menghubungkan dengan kisah pemilik dua kebun yang akan datang.

وَاِنَّا لَجَاعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًا

8. Wa innā lajā‘ilūna mā ‘alaihā ṣa‘īdan juruzā.
8. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya (tanah) menjadi tandus lagi kering.

Tafsir Ringkas: Setelah menjelaskan ujian dunia, Allah mengingatkan akan kefanaan perhiasan tersebut. Semuanya akan kembali menjadi tanah gersang dan tandus saat Kiamat, memperkuat pesan bahwa kenikmatan duniawi hanya sementara.

Blok 2: Kisah Ashabul Kahfi — Ujian Keimanan dan Waktu

Kisah Ashabul Kahfi adalah jawaban atas tantangan kaum Quraisy yang ingin menguji kebenaran kenabian Muhammad ﷺ dengan menanyakan tentang sekelompok pemuda yang tidur dalam gua selama ratusan tahun. Kisah ini mengajarkan pentingnya mempertahankan iman meskipun harus meninggalkan kehidupan duniawi.

اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا

9. Am ḥasibta anna aṣḥābal-kahfi war-raqīmi kānū min āyātinā ‘ajabā.
9. Apakah engkau mengira bahwa (kisah) Ashabul Kahfi dan Ar-Raqim termasuk di antara ayat-ayat Kami yang menakjubkan?

Tafsir Ringkas: Allah bertanya retoris kepada Nabi ﷺ (dan pembaca), mengingatkan bahwa meskipun kisah ini luar biasa, ia hanyalah salah satu dari ribuan tanda kebesaran Allah di alam semesta. Ar-Raqim diinterpretasikan oleh ulama sebagai nama anjing mereka, nama gunung, atau prasasti yang mencatat kisah mereka.

اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا

10. Iż awal-fityatu ilal-kahfi fa qālū rabbanā ātinā mil ladunka raḥmataw wa hayyi' lanā min amrinā rasyadā.
10. (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”

Tafsir Ringkas: Doa mereka menunjukkan prioritas spiritual. Mereka tidak meminta kekayaan atau kemenangan militer, tetapi meminta rahmat dan petunjuk (rasyada), menunjukkan bahwa mereka fokus pada keselamatan akhirat di tengah ancaman penguasa zalim yang memaksa mereka menyembah berhala.

فَضَرَبْنَا عَلٰٓى اٰذَانِهِمْ فِى الْكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًا

11. Fa ḍarabnā ‘alā āżānihim fil-kahfi sinīna ‘adadā.
11. Lalu Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama bertahun-tahun.

Tafsir Ringkas: 'Menutup telinga' adalah kiasan untuk menidurkan mereka dalam keadaan tidur nyenyak, di mana pendengaran (indera pertama yang merespons suara) mereka dinonaktifkan, memastikan mereka tidak terbangun oleh kebisingan dunia luar selama masa penantian yang panjang.

ثُمَّ بَعَثْنٰهُمْ لِنَعْلَمَ اَيُّ الْحِزْبَيْنِ اَحْصٰى لِمَا لَبِثُوْٓا اَمَدًا

12. Ṡumma ba‘aṡnāhum li na‘lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā.
12. Kemudian Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui manakah di antara dua golongan (yang berselisih) itu yang lebih tepat menghitung berapa lama mereka tinggal (di gua).

Tafsir Ringkas: Mereka dibangkitkan pada zaman di mana kebangkitan (setelah mati) menjadi perdebatan sengit. Kebangkitan mereka berfungsi sebagai bukti nyata kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali manusia pada Hari Kiamat.

وَلَبِثُوْا فِيْ كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا

25. Wa labisū fī kahfihim ṡalāṡa mi'atin sinīna wazdādū tis‘ā.
25. Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun, dan ditambah sembilan tahun.

Tafsir Ringkas: Durasi 300 tahun adalah menurut perhitungan matahari, dan tambahan 9 tahun adalah untuk menyelaraskannya dengan perhitungan bulan (300 tahun matahari setara dengan 309 tahun bulan). Angka ini menunjukkan bahwa waktu yang lama di mata manusia adalah hal mudah bagi Allah.

قُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوْاۗ لَهٗ غَيْبُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَبْصِرْ بِهٖ وَاَسْمِعْۗ مَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّۙ وَّلَا يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهٖٓ اَحَدًا

26. Qulillāhu a‘lamu bimā labiṡū, lahū gaibus-samāwāti wal-arḍi abṣir bihī wa asmi‘ mā lahum min dūnihī miw waliyyiw wa lā yusyriku fī ḥukmihī aḥadā.
26. Katakanlah (Muhammad), “Allah lebih mengetahui berapa lama mereka tinggal (di sana). Milik-Nyalah (semua) yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya! Tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Dan Dia tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu dalam menetapkan keputusan.”

Tafsir Ringkas: Penekanan utama dari akhir kisah ini adalah bahwa ilmu pengetahuan yang mutlak (terutama tentang waktu dan hal gaib) hanya milik Allah. Ini merupakan penutup yang sempurna terhadap perdebatan tentang detail cerita yang tidak relevan, mengalihkan fokus kembali kepada tauhid.

Blok 3: Pentingnya Kesabaran dan Kisah Dua Pemilik Kebun — Ujian Harta

Setelah Ashabul Kahfi yang mewakili ujian keimanan dan waktu, kini Allah beralih kepada ujian terbesar kedua bagi manusia: fitnah harta (kekayaan) dan kesombongan diri.

وَاتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖۗ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُوْنِهٖ مُلْتَحَدًا

27. Watlu mā ūḥiya ilaika min kitābi rabbik, lā mubaddila likalimātih, wa lan tajida min dūnihī multaḥadā.
27. Bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab Tuhanmu (Al-Qur’an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya, dan engkau tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia.

Tafsir Ringkas: Perintah ini menguatkan Nabi untuk terus menyampaikan wahyu. Ketetapan Allah tidak dapat diubah, dan hanya Allah tempat berlindung. Ini berfungsi sebagai jembatan antara kisah Ashabul Kahfi dengan perintah untuk berinteraksi dengan orang-orang miskin dan beriman.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

28. Waṣbir nafsaka ma‘allażīna yad‘ūna rabbahum bil-gadāti wal-‘asyiyyi yurīdūna wajhahū wa lā ta‘du ‘aināka ‘anhum, turīdu zīnatal-ḥayātid-dun-yā, wa lā tuṭi‘ man agfalnā qalbahu ‘an żikrinā wattaba‘a hawāhu wa kāna amruhū furuṭā.
28. Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari, dengan mengharap rida-Nya. Janganlah engkau palingkan pandanganmu dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya melewati batas.

Tafsir Ringkas: Ayat ini sangat penting, menegaskan bahwa nilai seseorang ditentukan oleh iman dan ketakwaan, bukan kekayaan. Nabi diperintahkan untuk tetap bersama orang-orang miskin yang tulus, dan menjauhi orang kaya yang sombong dan lupa diri (yang menjadi tokoh utama kisah kebun berikutnya).

Kisah Dua Kebun dan Kehancuran Harta (Ayat 32-44)

Kisah ini menceritakan dua orang yang memiliki kebun anggur dan kurma yang subur. Salah satunya sangat kaya namun sombong dan kufur nikmat, sementara yang lainnya miskin namun teguh dalam iman.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِاَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ اَعْنَابٍ وَّحَفَفْنٰهُمَا بِنَخْلٍ وَّجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا

32. Waḍrib lahum maṡalar rajulaini ja‘alnā li'aḥadihimā jannataini min a‘nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja‘alnā bainahumā zar‘ā.
32. Dan berikanlah kepada mereka (manusia) perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi salah seorang di antara keduanya dua kebun anggur dan Kami kelilingi keduanya dengan pohon-pohon kurma, di antara keduanya (kebun) Kami buatkan ladang.

Tafsir Ringkas: Ayat ini memulai perumpamaan kekayaan yang melimpah (fitnah kekayaan). Penggambaran kebun yang dikelilingi kurma dan di tengahnya ada ladang menunjukkan kesempurnaan dan keberkahan harta yang diberikan Allah kepada salah satu dari mereka.

قَالَ لَهٗ صَاحِبُهٗ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَنَا۠ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَّاَعَزُّ نَفَرًا

34. Qāla lahū ṣāḥibuhū wa huwa yuḥāwiruhū anā akṡaru minka mālaw wa a‘azzu nafarā.
34. Temannya (yang beriman) berkata kepadanya ketika bercakap-cakap dengannya, “Hartaku lebih banyak darimu dan pengikutku lebih kuat.”

Tafsir Ringkas: Ini adalah puncak dari kesombongan. Orang kaya tersebut tidak hanya bangga dengan hartanya, tetapi juga dengan ‘nafar’ (kekuatan atau pengaruh) yang ia miliki, menunjukkan bahwa fitnah harta seringkali diikuti oleh fitnah kekuasaan sosial dan keangkuhan.

وَاُحِيْطَ بِثَمَرِهٖ فَاَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلٰى مَآ اَنْفَقَ فِيْهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَا وَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُشْرِكْ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا

42. Wa uḥīṭa biṡamarihī fa aṣbaḥa yuqallibu kaffaihi ‘alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urūsyihā wa yaqūlu yā laitanī lam usyrik birabbī aḥadā.
42. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia bolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang ia roboh bersama penyangganya, dan dia berkata, “Aduhai, sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”

Tafsir Ringkas: Penyesalan datang terlambat. Kerugian total yang dideritanya tidak hanya bersifat materi tetapi juga spiritual. Hal yang paling disesali adalah kemusyrikan dan pengingkarannya terhadap nikmat Allah, yang ia sadari hanya ketika musibah melanda.

هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلّٰهِ الْحَقِّۗ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ عُقْبًا

44. Hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq. Huwa khairun ṡawābaw wa khairun ‘uqbā.
44. Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah, Tuhan yang Mahabenar. Dia adalah (Pemberi) balasan terbaik dan (Pemberi) akibat terbaik.

Tafsir Ringkas: Ayat ini menyimpulkan kisah: Ketika semua pertolongan duniawi hilang, hanya kekuasaan dan pertolongan Allah yang nyata dan hakiki. Ini mengajarkan bahwa sandaran sejati adalah kepada Sang Pencipta, bukan pada fana’nya hasil usaha manusia.

Blok 4: Perumpamaan Dunia dan Kengerian Hari Kiamat

Setelah membahas fitnah kekayaan, Allah mengingatkan lagi tentang sifat dunia yang sementara, mirip dengan hujan yang menyuburkan, namun segera layu dan kering.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَآءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ فَاَصْبَحَ هَشِيْمًا تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا

45. Waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dun-yā kamā'in anzalnāhu minas-samā'i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa'aṣbaḥa hasyīman tażrūhur-riyāḥ. Wa kānallāhu ‘alā kulli syai'im muqtadirā.
45. Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tafsir Ringkas: Perumpamaan ini adalah metafora yang kuat tentang kefanaan dunia. Kehidupan dunia, seindah apa pun, hanyalah seperti tanaman yang tumbuh subur setelah hujan, kemudian mengering, rapuh, dan diterbangkan angin. Ini menekankan bahwa hanya amal saleh yang kekal.

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

46. Al-mālu wal-banūna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā.
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (al-bāqiyātuṣ-ṣāliḥāt) lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Tafsir Ringkas: Ini adalah ayat kunci yang memisahkan prioritas. Harta (fitnah kebun) dan anak adalah perhiasan sementara, tetapi amal saleh yang abadi (seperti zikir, salat, dan sedekah) memiliki nilai kekal di sisi Allah. Ayat ini menjadi penutup filosofis untuk fitnah kekayaan.

Blok 5: Kisah Nabi Musa dan Khidr — Ujian Ilmu dan Kesabaran

Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu Allah jauh lebih luas dari ilmu manusia, bahkan ilmu seorang Nabi. Ini adalah ujian terhadap kesombongan intelektual, menekankan pentingnya kerendahan hati dan kesabaran dalam mencari hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk.

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰىٓ اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا

60. Wa iż qāla mūsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluġa majma‘al-baḥraini au amḍiya ḥuqubā.
60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.”

Tafsir Ringkas: Nabi Musa melakukan perjalanan panjang untuk mencari sumber ilmu yang lebih tinggi, yang merupakan isyarat kerendahan hati seorang Nabi. Majma’al-Baḥrain (pertemuan dua lautan) adalah titik geografis atau metaforis di mana ilmu lahiriah (Musa) bertemu dengan ilmu batiniah (Khidr).

قَالَ اَرَءَيْتَ اِذْ اَوَيْنَآ اِلَى الصَّخْرَةِ فَاِنِّيْ نَسِيْتُ الْحُوْتَۗ وَمَآ اَنْسٰنِيْهُ اِلَّا الشَّيْطٰنُ اَنْ اَنْ اَذْكُرَهٗۚ وَاتَّخَذَ سَبِيْلَهٗ فِى الْبَحْرِ عَجَبًا

63. Qāla ara'aita iż awainā ilaṣ-ṣakhrati fa innī nasītul-ḥūt, wa mā ansānīhu illasy-syaiṭānu an ażkurah, wattakhaża sabīlahū fil-baḥri ‘ajabā.
63. Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu itu, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa selain setan, agar aku tidak mengingatnya. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh.”

Tafsir Ringkas: Hilangnya ikan yang dibawa dan mengambil jalannya sendiri ke laut adalah tanda yang dijanjikan Allah sebagai penanda lokasi Khidr berada. Ikan yang hidup kembali adalah mukjizat kecil yang menunjukkan kekuasaan Allah, sekaligus penanda bagi Musa.

قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

66. Qāla lahū mūsā hal attabi‘uka ‘alā an tu‘allimani mimmā ‘ullimta rusydā.
66. Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) kebenaran yang telah diajarkan kepadamu?”

Tafsir Ringkas: Permintaan Musa menunjukkan adab seorang murid kepada guru. Ia meminta Khidr mengajarkannya 'rusydā' (petunjuk yang lurus), yaitu ilmu yang berasal dari sisi Allah yang berbeda dari syariat yang dipegang Musa.

قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا

67. Qāla innaka lan tastaṭī‘a ma‘iya ṣabrā.
67. Dia (Khidr) menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.”

Tafsir Ringkas: Khidr segera memperingatkan Musa tentang ujian kesabaran yang akan dihadapinya. Ilmu Khidr melibatkan keputusan yang tampak jahat atau merugikan secara lahiriah, dan Musa (seorang Nabi Syariat) harus menahan diri dari intervensi.

Tiga Ujian dan Hikmahnya (Ayat 71-82)

Khidr melakukan tiga tindakan yang melanggar hukum syariat Musa, masing-masing menyimpan hikmah agung:

Ujian I: Merusak Kapal (Ayat 71-78)

Khidr melubangi perahu orang miskin. Hikmahnya: Perahu itu akan disita oleh raja zalim yang mengambil setiap perahu yang utuh. Dengan dilubangi, perahu itu diselamatkan dari perampasan, meskipun harus diperbaiki kemudian. Ini adalah bentuk kerugian kecil untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Ujian II: Membunuh Anak Muda (Ayat 74-78)

Khidr membunuh seorang anak laki-laki. Hikmahnya: Anak itu kelak akan menjadi kafir, durhaka kepada kedua orang tuanya yang beriman, dan mendorong mereka ke dalam kesesatan. Allah menggantinya dengan anak lain yang lebih baik dan lebih berbakti. Ini adalah contoh pengetahuan takdir Allah yang melampaui pandangan manusia.

Ujian III: Memperbaiki Dinding (Ayat 77-82)

Khidr membangun kembali dinding yang hampir roboh tanpa imbalan. Hikmahnya: Di bawah dinding itu tersimpan harta milik dua anak yatim yang saleh. Jika dinding roboh, harta itu akan diambil penduduk desa yang pelit. Khidr melakukannya sebagai rahmat dari Allah, untuk memastikan harta itu aman hingga anak-anak tersebut dewasa.

قَالَ هٰذَا فِرَاقُ بَيْنِيْ وَبَيْنِكَۚ سَاُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيْلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

78. Qāla hāżā firāqu bainī wa bainik. Sa'unabbi'uka bita'wīli mā lam tastaṭi‘ ‘alaihi ṣabrā.
78. Dia (Khidr) berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu takwil (makna) dari perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sanggup bersabar atasnya.”

Tafsir Ringkas: Perpisahan ini menandakan akhir dari pelajaran. Khidr kemudian menjelaskan bahwa semua perbuatannya dilakukan atas perintah Allah, bukan kehendaknya sendiri. Kisah ini mengajarkan bahwa di balik musibah dan kesulitan, seringkali terdapat hikmah dan kebaikan yang belum kita pahami.

Blok 6: Kisah Dzulqarnain — Ujian Kekuasaan dan Kelemahan Manusia

Kisah Dzulqarnain (Si Pemilik Dua Tanduk/Masa) adalah ujian keempat, yaitu ujian kekuasaan. Kisah ini menunjukkan bagaimana seorang raja yang adil menggunakan kekuasaan dan sumber daya yang diberikan Allah untuk menegakkan keadilan dan membantu kaum yang tertindas, sambil tetap rendah hati dan bersandar pada kehendak Ilahi.

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِۗ قُلْ سَاَتْلُوْ عَلَيْكُمْ مِّنْهُ ذِكْرًا

83. Wa yas'alūnaka ‘an żil-qarnain. Qul sa'atlū ‘alaikum minhu żikrā.
83. Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu sebagian kisahnya.”

Tafsir Ringkas: Pertanyaan tentang Dzulqarnain, seperti Ashabul Kahfi, adalah bagian dari ujian yang diajukan oleh kaum musyrikin atas nasihat Ahli Kitab. Allah memerintahkan Nabi untuk menceritakan kisah ini sebagai bukti kenabiannya.

اِنَّا مَكَّنَّا لَهٗ فِى الْاَرْضِ وَاٰتَيْنٰهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا

84. Innā makkannā lahū fil-arḍi wa ātaināhu min kulli syai'in sababā.
84. Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di bumi, dan telah Kami berikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.

Tafsir Ringkas: Allah memberikan Dzulqarnain kekuasaan (tamkin) dan sarana (sabab) untuk menjalankan tujuannya. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari Allah, dan seorang pemimpin yang baik menggunakannya untuk kebaikan, bukan kesombongan.

Tiga Perjalanan Dzulqarnain

Dzulqarnain melakukan tiga perjalanan yang melambangkan jangkauan kekuasaan dan keadilan ilahiah:

Perjalanan I: Ke Barat (Tempat Terbenam Matahari) — Ayat 85-88

Dzulqarnain menemukan kaum yang lemah di tempat matahari terbenam (ujung barat wilayahnya). Ia dihadapkan pada pilihan: menghukum mereka atau berbuat baik. Ia memutuskan untuk menghukum yang zalim dan memberi balasan baik kepada yang berbuat kebajikan.

Perjalanan II: Ke Timur (Tempat Terbit Matahari) — Ayat 89-91

Di Timur, Dzulqarnain menemukan kaum yang tidak memiliki penutup dari matahari (hidup sangat primitif). Ia menangani mereka dengan adil dan meninggalkan mereka dengan petunjuk, menunjukkan bahwa kekuasaannya mencakup pendidikan dan manajemen masyarakat yang berbeda.

Perjalanan III: Ke Utara/Antara Dua Gunung (Menghadapi Ya’juj dan Ma’juj) — Ayat 92-99

Ini adalah bagian paling penting, berhubungan langsung dengan fitnah akhir zaman. Dzulqarnain sampai di suatu tempat antara dua gunung di mana ia bertemu kaum yang mengeluh tentang Ya’juj dan Ma’juj (Gog dan Magog), dua kaum yang suka merusak di bumi.

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

94. Qālū yā żal-qarnaini inna ya'jūja wa ma'jūja mufsidūna fil-arḍi fahal naj‘alu laka kharjan ‘alā an taj‘ala bainanā wa bainahum saddā.
94. Mereka berkata, “Wahai Zulkarnain! Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj selalu berbuat kerusakan di bumi. Maka bolehkah kami memberikan imbalan (upah) kepadamu agar engkau membuatkan dinding (penghalang) antara kami dan mereka?”

Tafsir Ringkas: Kaum tersebut menawarkan upah, tetapi Dzulqarnain menolaknya, menunjukkan ketulusan dan keikhlasannya dalam menggunakan kekuasaannya demi Allah. Ia hanya meminta bantuan tenaga dan bahan untuk membangun benteng.

فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا

97. Fa maṣṭā‘ū ay yaẓharūhu wa mastaṭā‘ū lahū naqbā.
97. Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat pula melubanginya.

Tafsir Ringkas: Dinding yang terbuat dari besi dan tembaga cair itu sangat kokoh. Dinding ini menjadi penanda bahwa kerusakan besar (fitnah Ya'juj dan Ma'juj) ditunda hingga waktu yang ditetapkan Allah, yaitu menjelang Hari Kiamat. Ini adalah salah satu tanda besar yang akan muncul setelah Dajjal.

قَالَ هٰذَا رَحْمَةٌ مِّنْ رَّبِّيْۚ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ رَبِّيْ جَعَلَهٗ دَكَّاۤءَۚ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّيْ حَقًّا

98. Qāla hāżā raḥmatum mir rabbī, fa iżā jā'a wa‘du rabbī ja‘alahū dakkā', wa kāna wa‘du rabbī ḥaqqā.
98. Dia (Zulkarnain) berkata, “Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh.” Dan janji Tuhanku itu benar.

Tafsir Ringkas: Meskipun Dzulqarnain yang membangun, ia mengembalikannya kepada rahmat Allah. Ia sadar bahwa benteng itu tidak abadi; ia akan hancur ketika janji Allah (dekatnya Hari Kiamat) tiba. Ini menunjukkan puncak kerendahan hati dalam kekuasaan.

Blok 7: Peringatan Keras bagi Orang Rugi dan Penutup

Ayat-ayat penutup Surat Al Kahfi memberikan peringatan kepada mereka yang menyia-nyiakan hidupnya di dunia, meskipun mereka merasa telah berbuat baik. Ayat-ayat ini menjadi kesimpulan filosofis dari keempat kisah fitnah.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا

103. Qul hal nunabbi'ukum bil-akhsarīna a‘mālā.
103. Katakanlah (Muhammad), “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?”

Tafsir Ringkas: Pertanyaan retoris ini menarik perhatian pada kerugian terbesar: orang yang beramal, tetapi amalnya tidak diterima karena niatnya salah atau imannya rusak. Ini adalah inti peringatan bagi fitnah ilmu dan kekayaan yang membuat manusia sombong.

اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

104. Allażīna ḍalla sa‘yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun‘ā.
104. Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Tafsir Ringkas: Ini merujuk pada orang yang rajin beribadah atau beramal sosial, tetapi mereka melakukannya di atas pondasi tauhid yang salah (seperti orang kafir yang berbuat baik, atau orang yang riya'). Mereka rugi karena niat dan keyakinan mereka cacat.

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

109. Qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa lau ji'nā bimiṡlihī madadā.
109. Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Tafsir Ringkas: Ayat ini menegaskan kebesaran dan keluasan ilmu Allah, yang tidak terbatas. Menggunakan lautan sebagai tinta adalah metafora untuk menunjukkan bahwa tidak ada makhluk yang mampu mengukur atau mencakup pengetahuan Ilahi.

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا

110. Qul innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid. Fa man kāna yarjū liqā'a rabbihī falya‘mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi‘ibādati rabbihī aḥadā.
110. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan (dengan sesuatu pun) dalam beribadah kepada Tuhannya.

Tafsir Ringkas: Ayat penutup ini adalah ringkasan sempurna dari seluruh pesan Al-Qur’an dan Surat Al Kahfi: tauhid (Allah Maha Esa) dan amal saleh yang ikhlas. Inilah dua kunci utama untuk selamat dari segala bentuk fitnah dunia dan mencapai kebahagiaan abadi.

Analisis Mendalam Empat Fitnah Utama dalam Al Kahfi

Para ulama tafsir kontemporer sering mengaitkan keempat kisah dalam Al Kahfi dengan empat fitnah besar yang akan dibawa oleh Dajjal di akhir zaman. Memahami korelasi ini adalah kunci untuk mendapatkan perlindungan dari surat ini.

1. Ashabul Kahfi: Mengatasi Fitnah Agama (Iman)

Ashabul Kahfi mewakili sekelompok pemuda yang dihadapkan pada fitnah paling mendasar: dipaksa meninggalkan iman mereka. Solusi mereka adalah ‘uzlah (mengasingkan diri) dan kembali kepada Allah. Dalam konteks Dajjal, fitnah agama Dajjal sangat besar; ia mengklaim sebagai Tuhan. Perlindungan dari kisah ini adalah menjauhi tempat-tempat fitnah dan menjaga tauhid murni, sebagaimana pemuda Ashabul Kahfi mencari perlindungan di gua.

2. Dua Kebun: Mengatasi Fitnah Harta (Kekayaan)

Kisah ini mengajarkan bahaya kesombongan yang timbul dari kekayaan. Orang kaya lupa bahwa kekayaan adalah ujian dan bisa lenyap seketika. Dajjal akan menggunakan fitnah harta; ia akan membawa kemakmuran palsu, memerintahkan langit untuk hujan, dan bumi untuk menumbuhkan tanaman. Solusinya adalah menyadari kefanaan dunia (ayat 45-46) dan bersyukur dengan selalu mengaitkan nikmat pada kehendak Allah (mengucapkan Mā Syā’allāh Lā Quwwata Illā Billāh).

3. Musa dan Khidr: Mengatasi Fitnah Ilmu

Nabi Musa, seorang Nabi Ulul Azmi, ditunjukkan bahwa ada ilmu yang lebih tinggi, ilmu batin yang hanya diketahui oleh Khidr atas izin Allah. Fitnah ilmu adalah merasa cukup dengan pengetahuan diri sendiri, yang memicu kesombongan intelektual. Dajjal akan menampilkan mukjizat dan ilmu sihir yang luar biasa. Solusinya adalah kerendahan hati dalam mencari ilmu (sikap Musa kepada Khidr) dan sabar menerima takdir yang tampak buruk, karena pasti ada hikmah di baliknya.

4. Dzulqarnain: Mengatasi Fitnah Kekuasaan

Dzulqarnain menunjukkan bagaimana kekuasaan harus digunakan: untuk melayani, bukan menguasai. Ia adil, tidak menerima upah, dan mengembalikan semua keberhasilan kepada Tuhannya. Dajjal adalah representasi kekuasaan tiranik tertinggi di akhir zaman. Solusinya adalah menggunakan kekuatan, jabatan, atau pengaruh yang dimiliki dengan ikhlas (tidak mencari keuntungan duniawi) dan selalu mengingat bahwa kekuasaan hanya milik Allah, yang akan menghancurkan tembok Ya’juj dan Ma’juj pada waktu yang telah ditetapkan.

Panduan Membaca Surat Al Kahfi dengan Transliterasi Latin

Bagi pembaca yang belum mahir membaca teks Arab, transliterasi Latin berfungsi sebagai jembatan untuk membantu pelafalan. Namun, penting untuk dicatat bahwa transliterasi Latin tidak mampu menangkap semua nuansa pelafalan (Makharijul Huruf) dan hukum tajwid Arab yang sempurna. Oleh karena itu, transliterasi harus digunakan sebagai alat bantu, sambil terus berusaha mempelajari teks Arab aslinya.

Prinsip Dasar Transliterasi (Latinnya)

Dengan mengikuti transliterasi yang disediakan di atas, pembaca dapat secara bertahap membiasakan diri dengan melodi dan struktur kalimat Qur'ani, menjadikannya langkah awal yang efektif menuju pembacaan fasih dalam bahasa Arab.

***

Surat Al Kahfi, dengan 110 ayatnya yang kaya akan hikmah, berfungsi sebagai peta jalan menuju keselamatan. Keempat kisahnya tidak hanya merangkum sejarah Nabi-Nabi terdahulu, tetapi juga mempersiapkan setiap mukmin menghadapi tantangan paling berat yang akan terjadi di akhir zaman. Keutamaan membaca surat ini pada hari Jumat adalah pengingat spiritual mingguan yang menguatkan tauhid, mengingatkan akan kefanaan harta, pentingnya kerendahan hati dalam ilmu, dan keadilan dalam kekuasaan. Mengamalkan maknanya adalah kunci utama untuk mendapatkan perlindungan Allah dari segala bentuk fitnah yang merusak.

🏠 Homepage