Kitab suci Al-Qur’an menghadirkan petunjuk melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui pasangan surah yang saling melengkapi dan menguatkan. Surat Asy-Syams (Matahari) dan Surat Al-Lail (Malam) adalah dua permata kecil yang bersemayam dalam Juz Amma, menawarkan pelajaran mendalam tentang dualitas fundamental dalam penciptaan dan moralitas manusia. Kedua surah ini, yang diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, memiliki benang merah yang sangat kuat: demonstrasi agung atas polaritas alam semesta—terang dan gelap, siang dan malam—yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk memahami polaritas moral dalam diri manusia—kebaikan dan keburukan, takwa dan kefasikan.
Melalui sumpah-sumpah kosmik yang menakjubkan dan narasi yang ringkas namun padat, Allah SWT mengajak manusia untuk merenungkan fenomena alam sebagai cermin bagi kondisi spiritual mereka. Inti dari kedua surah ini bukanlah hanya deskripsi fisik tentang matahari dan malam, melainkan penegasan bahwa kesuksesan abadi (al-falāh) sepenuhnya bergantung pada satu hal: penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Analisis mendalam terhadap Asy-Syams dan Al-Lail mengungkapkan sebuah sistem etika yang terstruktur, di mana setiap pilihan tindakan manusia akan menentukan lintasan takdirnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Surat Asy-Syams (Surah ke-91) adalah surat yang dimulai dengan serangkaian sumpah yang paling indah dan kuat dalam Al-Qur’an. Sumpah ini tidak hanya berfungsi sebagai penarik perhatian, tetapi juga sebagai bukti bahwa apa yang akan disampaikan setelahnya adalah sebuah kebenaran mutlak yang ditopang oleh hukum-hukum penciptaan yang sempurna. Terdapat total sebelas sumpah yang melingkupi langit, bumi, dan jiwa manusia.
Surah ini dibuka dengan empat sumpah yang membentuk pasangan-pasangan dualistik yang sempurna:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya (bumi). Dan malam apabila menutupinya (dengan gelap).”
Sumpah pertama, “Demi Matahari dan cahayanya di pagi hari (wa dhuḥāhā),” menunjuk pada sumber energi, terang, dan kehidupan. Matahari adalah simbol dari kejelasan, keterbukaan, dan realitas yang tak terbantahkan. Dhuḥāhā secara khusus merujuk pada puncak sinarnya, waktu ketika cahaya telah sempurna dan bayangan mulai memendek. Ini adalah kondisi di mana segala sesuatu menjadi jelas terlihat.
Sumpah kedua, “Dan bulan apabila mengiringinya (idhā talāhā),” menggambarkan bulan yang cahayanya berasal dari pantulan matahari. Bulan adalah pengikut, penanda waktu, dan penerang di kegelapan. Konsep ‘mengiringi’ (talāhā) menunjukkan keteraturan kosmik yang ketat; bulan mengikuti matahari dalam siklus yang sempurna, menunjukkan bahwa alam semesta diatur dengan perhitungan presisi, bukan kebetulan.
Sumpah ketiga, “Dan siang apabila menampakkannya (idhā jallāhā),” dan sumpah keempat, “Dan malam apabila menutupinya (idhā yaghsyāhā),” melengkapi dualitas waktu. Siang (al-nahār) adalah waktu kegiatan, penampakan, dan kejelasan. Malam (al-lail) adalah waktu istirahat, penutupan, dan misteri. Pola ini—terang diikuti oleh gelap, dan gelap diikuti oleh terang—adalah bukti abadi atas kekuasaan Sang Pencipta yang mengatur siklus kehidupan dan kematian.
“Dan langit serta pembinaannya (yang menakjubkan). Dan bumi serta penghamparannya.”
Sumpah kelima dan keenam mengalihkan fokus dari siklus waktu ke dimensi ruang. Langit (as-samā’) disumpahkan bersama dengan konstruksinya (mā banāhā), menunjukkan kemegahan, ketinggian, dan stabilitasnya tanpa tiang. Ini adalah bukti kekuatan arsitektur Ilahi yang melampaui pemahaman manusia.
Kemudian, sumpah bumi (al-arḍ) disandingkan dengan penghamparannya (mā ṭaḥāhā). Kata ṭaḥāhā mengandung arti "menghamparkan", "meratakan", atau "meluaskan", memberikan kesan bahwa bumi disiapkan secara khusus untuk dihuni manusia dan menumbuhkan kehidupan. Keseimbangan antara langit yang tinggi dan bumi yang terhampar ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta adalah sebuah entitas yang diciptakan dengan tujuan dan keseimbangan yang sempurna.
Setelah enam sumpah kosmik, surah mencapai puncaknya dengan sumpah yang paling penting, sumpah atas subjek utama surah ini: jiwa manusia.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
Sumpah ketujuh, “Demi jiwa (nafs) serta penyempurnaannya (mā sawwāhā),” menunjukkan bahwa jiwa manusia bukanlah entitas yang cacat, melainkan telah diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dan seimbang. Manusia memiliki potensi penuh.
Ayat berikutnya adalah inti filosofis surah: “Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan (fujūrahā) dan ketakwaan (taqwāhā).” Ini adalah konsep ‘ilham’ (inspirasi) yang unik. Allah tidak memaksa, tetapi menanamkan pengetahuan bawaan (fitrah) tentang perbedaan antara kebaikan dan keburukan. Setiap individu, sejak lahir, dibekali dengan kemampuan membedakan (furqān) kedua jalan ini. Ini menegaskan kebebasan berkehendak dan tanggung jawab moral manusia.
Pernyataan sumpah-sumpah kosmik yang luar biasa itu kemudian diarahkan kepada kesimpulan yang mutlak:
“Sungguh beruntunglah (qad aflaḥa) orang yang menyucikannya (jiwa itu).” Kata al-falāḥ (keberuntungan) dalam konteks ini berarti kemenangan abadi, keselamatan, dan mencapai tujuan tertinggi eksistensi. Tazkiyah (penyucian) adalah proses aktif membersihkan jiwa dari kotoran dosa, kesombongan, dan hawa nafsu, serta menghiasinya dengan sifat-sifat ketakwaan. Proses ini membutuhkan usaha yang berkelanjutan.
Sebaliknya, “Dan sungguh merugilah (qad khāba) orang yang mengotorinya (dassāhā).” Kata dassāhā mengandung makna menyembunyikan, menenggelamkan, atau menutup potensi suci jiwa di bawah lapisan-lapisan dosa. Orang yang merugi adalah mereka yang tahu jalan takwa, namun memilih untuk menimbun jiwa mereka dengan kefasikan, menyembunyikan fitrah mereka yang suci.
Hubungan antara sumpah kosmik dan kesimpulan moral ini sangatlah mendalam. Sebagaimana matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi mematuhi hukum-hukum Allah secara sempurna (keteraturan alam), manusia juga harus mematuhi hukum moral (keteraturan jiwa) yang telah diilhamkan padanya. Jika alam semesta kacau balau karena ketidakpatuhan, manusia pun akan hancur jika jiwanya kacau balau karena kefasikan.
Untuk memberikan contoh nyata tentang bagaimana kekotoran jiwa (tadsiyah) berujung pada kehancuran, Asy-Syams mengakhiri dengan narasi singkat tentang kaum Tsamud, umat Nabi Saleh AS.
“Kaum Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena kedurhakaannya (biṭaghwāhā), ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka, ‘(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.’ Mereka mendustakannya dan menyembelihnya, maka Tuhan mereka menimpakan kehancuran atas mereka disebabkan dosa mereka, lalu Dia meratakan mereka. Dan Dia tidak takut terhadap akibatnya.”
Kisah ini merangkum seluruh proses tadsiyah. Kaum Tsamud mendustakan bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena ṭaghwā—melampaui batas dan durhaka. Kedurhakaan mereka mencapai puncaknya ketika mereka secara kolektif setuju untuk membunuh mukjizat unta betina yang dikirim Allah sebagai ujian. Perhatikan penggunaan kata ‘bangkit orang yang paling celaka (asqāhā)’—ini menunjukkan bahwa meskipun hanya satu orang yang mengeksekusi, keputusan itu adalah cerminan dari hati nurani kolektif yang telah tercemar.
Penyembelihan unta itu adalah simbol penolakan total terhadap kebenaran yang jelas. Mereka memilih kefasikan daripada takwa yang telah diilhamkan kepada mereka. Konsekuensinya: kehancuran total (fadamdama ‘alayhim) yang meratakan mereka. Ayat terakhir, “Dan Dia tidak takut terhadap akibatnya,” adalah penutup yang kuat, menegaskan bahwa hukuman Allah adalah keadilan mutlak yang tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau pandangan siapapun.
Dari Asy-Syams, kita belajar bahwa kebenaran (seperti Matahari) selalu ada, dan nasib manusia ditentukan oleh apakah mereka memilih untuk menyucikan jiwa mereka agar dapat menerima cahaya itu, atau mengotorinya hingga tertutup oleh kegelapan kefasikan.
Konsep tazkiyah yang diperkenalkan oleh Asy-Syams bukan sekadar nasihat moral, tetapi sebuah imperatif keberadaan. Jika alam semesta berputar pada sumbu keteraturan (sunnatullah), maka kehidupan spiritual manusia harus berputar pada sumbu tazkiyah. Proses tazkiyah mencakup tiga dimensi utama:
Dengan demikian, Asy-Syams menetapkan premis bahwa kesadaran moral (fitrah) adalah anugerah, tetapi pemanfaatan anugerah tersebut untuk mencapai al-falāh adalah usaha yang menjadi tanggung jawab mutlak individu. Kekalahan (khaybah) kaum Tsamud adalah pengingat bahwa potensi besar yang tidak dimanfaatkan akan berbalik menjadi bumerang kehancuran.
Struktur linguistik surat Asy-Syams sendiri adalah keajaiban. Tujuh sumpah awal menciptakan sebuah rantai paralelisme yang luar biasa. Setiap elemen kosmik dipasangkan dengan fungsinya: Matahari (sumber) dengan sinarnya (fungsi); Bulan (pantulan) dengan pengiringannya (aksi); Siang (kejelasan) dengan penampakan (efek); Malam (ketertutupan) dengan penutupan (efek). Pola ini berlanjut pada Langit dan pembangunannya, Bumi dan penghamparannya, hingga mencapai puncak pada Jiwa dan penyempurnaannya. Pola ini secara retoris memaksa pendengar untuk mengakui bahwa keteraturan fisik yang mereka saksikan setiap hari adalah cermin bagi keteraturan moral yang harus mereka patuhi. Kegagalan untuk mengikuti pola moral berarti menolak arsitektur dasar alam semesta yang telah mereka saksikan keindahannya.
Sumpah pada Nafs (jiwa) dan Taswiyah (penyempurnaan) adalah sumpah puncak. Hal ini berarti bahwa Allah tidak bersumpah atas jiwa yang cacat atau belum lengkap, melainkan jiwa yang telah ‘disempurnakan’ dan siap untuk memilih. Tanggung jawab etis muncul dari kesempurnaan ciptaan. Kegagalan manusia bukan berasal dari kekurangan potensi, melainkan dari penyalahgunaan potensi tersebut. Ini adalah landasan teologis yang sangat kuat mengenai kebebasan berkehendak manusia (ikhtiyār).
Ketika kita merenungkan fujūrahā wa taqwāhā (kefasikan dan ketakwaannya), kita menyadari bahwa pengetahuan tentang baik dan buruk bukan hanya eksternal (wahyu), tetapi juga internal (ilham). Wahyu datang untuk memperkuat dan memandu ilham internal ini. Jika hati nurani (ilham) dibungkam oleh hawa nafsu dan kesombongan (fujur), maka petunjuk eksternal (rasul dan mukjizat unta) akan ditolak, sebagaimana yang terjadi pada Tsamud. Kegagalan mereka adalah tragedi kehendak bebas.
Surat Al-Lail (Surah ke-92) sering dilihat sebagai surat kembar yang melengkapi Asy-Syams. Jika Asy-Syams berfokus pada dualitas kosmik (siang/malam) sebagai landasan untuk memahami dualitas moral (taqwa/fujur), maka Al-Lail berfokus pada dualitas usaha (sa’y) dan dualitas balasan (surga/neraka). Al-Lail secara eksplisit menunjukkan konsekuensi praktis dari pilihan tazkiyah atau tadsiyah yang telah dibahas dalam Asy-Syams.
Al-Lail dimulai dengan sumpah yang lebih ringkas, namun berpusat pada polaritas waktu dan jenis kelamin, yang pada gilirannya mencerminkan polaritas amal manusia.
“Demi malam apabila menutup (cahaya), dan siang apabila terang benderang. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan (beraneka ragam).”
Sumpah atas Malam (al-Lail) dan Siang (an-Nahār) mengingatkan kita kembali pada Asy-Syams, menekankan bahwa di balik dualitas waktu yang teratur ini, terdapat ruang bagi aktivitas manusia yang berbeda. Malam yang menutupi adalah simbol ketenangan dan keredupan, sedangkan siang yang terang benderang adalah simbol kejelasan dan gerakan.
Sumpah ketiga, “Dan penciptaan laki-laki dan perempuan (mā khalaqa adh-dhakara wal-unṡā),” menunjukkan dualitas fundamental lain dalam kehidupan, yaitu gender. Tafsir klasik memahami ini sebagai penekanan bahwa manusia, meskipun terbagi menjadi dua jenis, memiliki kesatuan asal-usul dan tujuan spiritual yang sama.
Semua sumpah ini mengarah pada kesimpulan, “Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan (la syattā).” Jika alam dan manusia diciptakan dalam dualitas yang teratur, maka tindakan manusia (sa’y) dalam bingkai dualitas moral (takwa/fujur) akan menghasilkan hasil yang sangat berbeda. Kata syattā berarti berbeda, terpisah, atau beraneka ragam. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan yang sama sekali berbeda, dan konsekuensinya pun akan terpisah secara radikal.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia berbeda-beda, Al-Lail kemudian merinci dua kategori utama usaha (jalan hidup) yang menentukan nasib abadi.
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya balasan) yang terbaik (Al-Husna), maka Kami akan memudahkannya menuju jalan kemudahan (Yusrā).”
Tiga karakteristik utama yang mendefinisikan seorang yang bertakwa dan usahanya adalah:
Bagi orang-orang ini, balasannya adalah Yusrā (kemudahan). Allah berjanji akan memudahkan jalan mereka, baik dalam ibadah, urusan dunia, maupun saat menghadapi kematian. Ini adalah hasil langsung dari tazkiyah: jiwa yang bersih menemukan segala kesulitan menjadi mudah karena ia fokus pada tujuan yang lebih tinggi.
“Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah), serta mendustakan (adanya balasan) yang terbaik, maka Kami akan memudahkannya menuju jalan kesukaran (Usrā).”
Tiga ciri yang mencerminkan jalan tadsiyah (pengotoran jiwa) adalah:
Bagi mereka, balasannya adalah ‘Usrā (kesukaran atau kesulitan). Ironisnya, karena mereka memilih jalan yang sulit (kikir dan sombong), Allah membiarkan dan mempermudah mereka di atas kesulitan itu. Ini bukan kemudahan yang positif, tetapi kemudahan menuju kehancuran, di mana setiap langkah mereka menuju tujuan duniawi semakin menjauhkan mereka dari keselamatan abadi.
Ayat 11-13 memperingatkan bahwa harta dan kekayaan duniawi sama sekali tidak akan berguna ketika seseorang telah jatuh ke dalam jurang kehancuran. “Dan tidaklah berguna baginya hartanya apabila ia telah jatuh (ke dalam neraka).” Harta, yang menjadi obsesi mereka, tidak mampu menyelamatkan mereka. Allah menegaskan bahwa petunjuk adalah hak-Nya mutlak, dan akhirat serta dunia adalah milik-Nya.
“Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk. Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia.” Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun manusia diberi kebebasan memilih, otoritas dan tujuan akhir ada pada Allah. Pilihan yang bijak adalah mengikuti petunjuk yang datang dari Pemilik segalanya.
Perbedaan antara ‘memberi’ (A‘ṭā) dan ‘kikir’ (Bakhila) dalam Surat Al-Lail adalah perbedaan mendasar dalam orientasi jiwa. Memberi adalah indikator jiwa yang telah mengalami *tazkiyah*, di mana individu tersebut memahami bahwa ia hanyalah pengelola harta, bukan pemilik mutlak. Tindakan memberi memutus rantai keterikatan material yang membelenggu jiwa. Ini bukan hanya tentang jumlah yang diberikan, tetapi *niyyah* (niat) di baliknya. Memberi yang didasari takwa dan kepercayaan pada *Al-Husna* adalah memberi yang tulus mencari wajah Allah.
Sebaliknya, kekikiran (bukhul) adalah penyakit jiwa yang muncul dari rasa *istighna* (merasa cukup tanpa Allah). Orang kikir menimbun harta karena ia merasa harta tersebut adalah sumber keamanan utamanya, menggantikan keyakinan kepada jaminan rezeki dari Allah. Kekikiran adalah manifestasi penolakan terhadap Al-Husna—mengapa harus memberi, jika tidak yakin akan adanya balasan yang lebih baik dan kekal? Kekikiran bukan hanya menahan harta; ia menahan diri dari rahmat dan kasih sayang Ilahi. Ini adalah perwujudan kegagalan tazkiyah yang membawa pada kegelapan ('Usrā).
Konsep *Yusrā* (kemudahan) dan *‘Usrā* (kesukaran) juga perlu diulas secara mendalam. Kemudahan yang dijanjikan bagi orang bertakwa bukanlah bebas dari cobaan duniawi, melainkan kemudahan dalam menghadapi cobaan tersebut. Hati mereka tenang, keputusan mereka jelas, dan tujuan mereka teguh. Sedangkan kesukaran yang dijanjikan bagi orang yang sombong (Istighna) adalah kesulitan spiritual. Meskipun mereka mungkin sukses secara materi, hati mereka selalu gelisah, dan di akhirat, kesulitan itu menjadi permanen, yaitu neraka.
Surat Al-Lail ditutup dengan penegasan balasan yang sangat kontras bagi kedua kelompok ini.
“Maka Aku peringatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka). Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (al-asyqā), yaitu yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling. Dan akan dijauhkan darinya orang yang paling bertakwa (al-atqā), yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk menyucikan dirinya. Padahal tidak ada bagi seorang pun padanya suatu nikmat yang harus dibalas, kecuali mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar akan puas.”
Neraka digambarkan sebagai api yang menyala-nyala (nāran talaẓẓā). Orang yang paling celaka (al-asyqā)—yang sesuai dengan ‘orang yang mengotori jiwa’ dalam Asy-Syams dan ‘orang kikir’ dalam Al-Lail—adalah mereka yang akan memasukinya. Ciri khas mereka adalah mendustakan dan berpaling. Mendustakan adalah penolakan intelektual, dan berpaling (tawallā) adalah penolakan praktis, yaitu menolak untuk beramal.
Di sisi lain, orang yang paling bertakwa (al-atqā)—yang menyucikan diri—akan dijauhkan dari api itu. Ciri khas mereka adalah memberi harta mereka dengan tujuan spesifik: yatakaẓẓā (untuk menyucikan dirinya). Ini adalah tautan eksplisit kembali ke konsep tazkiyah dalam Asy-Syams.
Yang paling menakjubkan adalah penegasan tentang niat mereka: “Padahal tidak ada bagi seorang pun padanya suatu nikmat yang harus dibalas.” Artinya, amal mereka murni, tidak didasari oleh keinginan membalas budi kepada manusia atau mencari keuntungan duniawi, melainkan semata-mata “mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi (ibtighā’a wajhi rabbihil-a’lā).” Inilah definisi tertinggi dari keikhlasan (ikhlas).
Janji penutup, “Dan kelak dia benar-benar akan puas (wa lasawfa yarḍā),” adalah janji yang jauh lebih besar daripada sekadar surga. Ini adalah janji keridaan dan kepuasan absolut. Orang bertakwa akan merasa puas dengan balasan yang diberikan Allah, yang melebihi segala bayangan dan harapan mereka.
Kedua surah ini, meskipun singkat, menciptakan sebuah pelajaran teologis dan etis yang lengkap. Mereka saling menguatkan dalam berbagai aspek, dari penggunaan sumpah kosmik hingga penentuan nasib abadi.
Asy-Syams menggunakan dualitas alam (Matahari dan Malam; Siang dan Gelap) untuk memperkenalkan dualitas moral internal (Takwa dan Fujur). Alam berfungsi sebagai analogi yang stabil. Al-Lail menerima premis dualitas moral ini dan mengembangkannya menjadi dualitas aksi (Memberi dan Kikir), yang menghasilkan dualitas takdir (Yusrā dan ‘Usrā).
| Konsep | Asy-Syams (Penyucian) | Al-Lail (Aksi) |
|---|---|---|
| Akar Masalah | Potensi Fujur (Kefasikan) | Bakhil (Kekikiran) dan Istighna (Kesombongan) |
| Solusi Inti | Tazkiyah (Penyucian Jiwa) | A‘ṭā (Memberi) dan Taqwa (Ketaatan) |
| Konsekuensi Negatif | Khāba (Kerugian) & Kehancuran (Tsamud) | ‘Usrā (Kesukaran) & Neraka Talazhā |
| Konsekuensi Positif | Aflaḥa (Kemenangan Abadi) | Yusrā (Kemudahan) & Keridaan Abadi (Yarḍā) |
Melalui perbandingan ini, kita melihat bahwa *tazkiyah* (Asy-Syams) adalah landasan teoretis dan spiritual, sementara 'memberi' dan 'bertakwa' (Al-Lail) adalah implementasi praktisnya. Seseorang tidak bisa mengklaim menyucikan jiwanya jika ia kikir, menimbun harta, dan menolak petunjuk. Kekikiran adalah bukti nyata bahwa jiwa telah dikuasai oleh kegelapan dan sifat fujur, yang disumpahkan dalam Asy-Syams.
Asy-Syams memberikan contoh historis melalui kisah Tsamud. Kegagalan Tsamud terjadi karena bi-ṭaghwāhā (kedurhakaan mereka), yang merupakan hasil dari kegagalan kolektif dalam tazkiyah. Kaum yang celaka ini (asyqāhā) adalah model bagi al-asyqā (orang yang paling celaka) dalam Al-Lail, yang mendustakan dan berpaling. Ini menunjukkan bahwa celaka di akhirat (Al-Lail) adalah akibat langsung dari memilih tadsiyah dan ṭaghwā (Asy-Syams).
Tsamud menolak mukjizat yang jelas. Orang kikir dan sombong menolak janji yang jelas (Al-Husna). Kedua penolakan ini memiliki akar yang sama: jiwa yang terlanjur keras karena mengutamakan kepuasan diri dan kekuasaan duniawi di atas ketaatan kepada Ilahi.
Dua surah ini berfungsi sebagai panduan yang sangat praktis dan mendasar bagi pembentukan karakter. Fokus utama mereka adalah menuntun individu untuk membuat keputusan etis yang benar di tengah pilihan yang berlimpah (syattā).
Surat Asy-Syams mengingatkan kita bahwa kita diciptakan sempurna dan sudah dilengkapi dengan kompas moral (ilham fujur wa taqwa). Tugas pertama seorang mukmin adalah mengenali ilham ini, tidak menenggelamkannya. Ini adalah fondasi bagi muhasabah (introspeksi) harian. Seorang mukmin tidak bisa berdalih bahwa ia tidak tahu mana yang benar dan salah; karena kebenaran, sebagaimana matahari, telah diilhamkan ke dalam dirinya.
Al-Lail mengajarkan bahwa aksi yang menentukan keberuntungan abadi adalah aksi yang tidak didasari oleh motif balasan manusia. Niat harus murni mencari wajah Allah (ibtighā’a wajhi rabbihil-a’lā). Memberi (sedekah, waktu, ilmu) menjadi tes utama keikhlasan. Jika seseorang memberi hanya untuk dipuji (riya) atau untuk mendapatkan imbalan sosial, tindakan tersebut kehilangan nilai tazkiyah-nya dan menjadi amal duniawi yang tidak membawa pada Yusrā abadi.
Salah satu dosa terbesar yang diangkat Al-Lail adalah *istighna*—merasa tidak butuh Allah. Di era materialisme modern, kecenderungan untuk merasa cukup dengan kemampuan finansial, teknologi, atau kekuasaan sendiri adalah manifestasi *istighna* yang berbahaya. Ini mematikan rasa takwa karena menghilangkan ketergantungan (tawakkul) kepada Sang Pencipta. Jalan menuju ‘Usrā sering kali diaspal oleh keyakinan palsu akan kemandirian mutlak.
Konsekuensi dari tazkiyah adalah kemudahan (Yusrā). Kemudahan ini mencakup kemudahan dalam memahami agama, kemudahan dalam beramal saleh, dan ketenangan jiwa di tengah badai. Sebaliknya, orang yang memilih jalan kesukaran (‘Usrā) akan mendapati hidupnya penuh kecemasan, kebingungan, dan keputusasaan spiritual, meskipun harta berlimpah. Ini adalah peringatan bahwa keberuntungan sejati tidak diukur oleh indikator eksternal, melainkan oleh kondisi internal jiwa.
Implikasi dari ayat “Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan (innsa‘yakum lasyattā)” adalah fondasi doktrin pertanggungjawaban personal dalam Islam. Ayat ini menegaskan bahwa meskipun kita hidup di bawah langit yang sama, di atas bumi yang sama, dan tunduk pada siklus siang dan malam yang sama, jalan hidup spiritual kita terbagi menjadi jalur-jalur yang benar-benar terpisah. Hal ini menolak fatalisme; manusia bukanlah robot, tetapi subjek moral yang tindakannya memiliki bobot metafisik yang menentukan destinasi abadi.
Dalam konteks tafsir, para ulama menekankan bahwa perbedaan ini muncul dari perbedaan *niyyah* (niat) dan *i’tiqad* (keyakinan). Kedua surah ini mengajarkan bahwa niat dan keyakinan akan termanifestasi dalam tindakan nyata (memberi atau menahan, takwa atau fujur). Misalnya, dua orang mungkin sama-sama memberi sedekah, tetapi yang satu melakukannya karena keyakinan pada *Al-Husna* (balasan terbaik), sementara yang lain melakukannya demi reputasi duniawi. Tindakan eksternal mungkin sama, tetapi sa’y (usaha) mereka, yang diukur dari niat terdalam, adalah *syattā* (berbeda secara radikal).
Fakta bahwa Allah SWT bersumpah atas Malam, Siang, Laki-laki, dan Perempuan untuk memperkenalkan perbedaan usaha ini adalah isyarat bahwa keragaman (pluralitas) adalah hukum alam. Namun, keragaman ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa keragaman etis hanya memiliki dua ujung ekstrem: *falāḥ* atau *khaybah*. Dualitas alam semesta (terang/gelap) menunjukkan bahwa tidak ada area abu-abu dalam masalah fundamental etika jiwa; seseorang harus menyucikan jiwanya atau mengotorinya.
Surat Asy-Syams dan Al-Lail, yang sering dibaca berurutan, berfungsi sebagai latihan spiritual. Pembaca dipaksa untuk merenungkan: Di manakah posisi jiwaku saat ini? Apakah aku mengikuti jalur yang membawa pada tazkiyah dan yusrā, ataukah aku telah menenggelamkannya dalam fujur, istighna, dan ‘usrā? Jawaban atas pertanyaan ini tidak ditemukan dalam kekayaan atau posisi sosial, tetapi dalam kualitas tindakan yang didorong oleh keyakinan pada janji abadi, *Al-Husna*.
Proses penyucian jiwa yang diamanatkan dalam Asy-Syams adalah perjuangan tanpa akhir melawan fujūr. Kefasikan (fujūr) adalah dorongan jiwa yang menyimpang, yang akan terus berupaya membuat manusia kikir dan sombong (*bakhila wa istaghnā*), seperti yang dijelaskan dalam Al-Lail. Oleh karena itu, takwa bukan sekadar kondisi statis, melainkan perjuangan dinamis, sebuah 'usaha' (sa'y) yang terus menerus melawan kecenderungan negatif yang telah diilhamkan (diperkenalkan) ke dalam jiwa.
Keindahan kedua surah ini terletak pada kepadatan linguistiknya. Setiap kata dipilih dengan presisi tinggi untuk menyampaikan makna yang berlapis. Penggunaan kata kunci tertentu, seperti tazkiyah, falah, asyqā, dan atqā, menghubungkan dua narasi ini menjadi satu kesatuan retoris.
Dalam Asy-Syams, digunakan kata Nafs (jiwa) yang disumpahi dengan Taswiyah (penyempurnaan). Ini adalah penekanan pada potensi positif. Kontrasnya, Al-Lail memperkenalkan dua jenis manusia yang dihasilkan dari pilihan jiwa: Al-Asyqā (yang paling celaka) dan Al-Atqā (yang paling bertakwa). Penggunaan bentuk superlatif ('paling') menunjukkan bahwa pilihan moral yang diambil bukan hanya baik atau buruk, tetapi mencapai puncak ekstrem dalam salah satu kategori. Tidak ada ruang untuk kemalasan moral; setiap orang pada akhirnya akan menjadi salah satu yang "paling" dalam kebaikan atau keburukan.
Teknik Muqābalah (kontras) mendominasi kedua surah. Pasangan-pasangan kontras ini tidak hanya mempermudah pemahaman tetapi juga menegaskan bahwa pilihan hidup adalah bipolar:
Pola kontras yang konsisten ini memaksa pembaca untuk menyadari bahwa alam semesta beroperasi berdasarkan hukum sebab-akibat yang teguh, dan hukum moral manusia juga demikian. Sebagaimana siang pasti diikuti malam, maka tazkiyah pasti diikuti falāh (kemenangan).
Ayat penutup Al-Lail, yang menjelaskan bahwa orang bertakwa memberi hanya untuk mencari Wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi, adalah salah satu ungkapan tertinggi tentang keikhlasan dalam Al-Qur’an. Frasa Ibtighā’a Wajhi Rabbihil-A’lā (mencari wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi) menunjukkan bahwa target mereka bukanlah surga itu sendiri, melainkan Sang Pemberi Surga. Ini adalah pencapaian tertinggi spiritualitas, di mana setiap tindakan adalah ungkapan cinta dan kerinduan kepada Pencipta, bukan sekadar kalkulasi untung rugi.
Surat Asy-Syams dan Al-Lail diturunkan pada periode Mekah awal, ketika umat Islam masih sedikit dan menghadapi penindasan. Konten kedua surah ini sangat sesuai dengan kebutuhan komunitas yang teraniaya tersebut.
Sumpah-sumpah kosmik (Matahari, Bulan, Langit, Bumi) berfungsi untuk mematahkan keyakinan musyrikin Mekah yang menyembah berhala. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya melalui fenomena yang paling agung yang mereka saksikan setiap hari. Ini adalah demonstrasi yang logis bahwa Pencipta yang mampu mengatur kosmos secara sempurna pasti memiliki hak mutlak untuk mengatur moralitas manusia.
Di Mekah, orang-orang yang masuk Islam sering kehilangan harta dan status sosial. Mereka diperingatkan untuk tetap memberi (a‘ṭā) meskipun mereka miskin, dan untuk menjauhi kekikiran (bakhila) yang merupakan penyakit kaum kaya Mekah yang menentang Nabi Muhammad SAW. Al-Lail memberikan jaminan bahwa kerugian materi yang dialami karena memberi di jalan Allah akan diganti dengan Al-Husnā dan Yusrā yang jauh lebih besar.
Kisah Tsamud dalam Asy-Syams memberi pelajaran bagi kaum mukminin Mekah bahwa meskipun minoritas yang benar, mereka harus menjauhi kedurhakaan kolektif yang diwakili oleh pemimpin-pemimpin Quraisy. Kisah ini menegaskan bahwa nasib individu dan masyarakat ditentukan oleh pilihan moral, bukan oleh kekuatan militer atau kekayaan.
Kedua surah ini mengajarkan bahwa medan pertempuran terbesar bagi manusia bukanlah di luar, melawan musuh yang terlihat, melainkan di dalam, melawan kecenderungan untuk kikir dan sombong (bakhila wa istaghnā) yang merupakan manifestasi dari fujūr. Kemenangan sejati adalah kemenangan internal: menyucikan jiwa hingga mencapai tingkat al-atqā, yang hanya memberi demi keridaan Yang Maha Tinggi, dan yang dijanjikan kepuasan abadi.
Secara keseluruhan, Surat Asy-Syams dan Surat Al-Lail menyajikan sebuah kurikulum spiritual yang lengkap, dimulai dari pengenalan potensi jiwa (Asy-Syams) hingga manifestasi praktis potensi tersebut dalam tindakan nyata (Al-Lail), dan diakhiri dengan pembalasan yang abadi. Keteraturan kosmik yang disumpahkan menjadi saksi bagi keadilan Ilahi yang sempurna dalam menilai setiap usaha (sa'y) yang berbeda-beda. Manusia diundang untuk menyelaraskan diri mereka dengan keteraturan kosmik melalui keteraturan moral. Ketika jiwa dibersihkan dari tadsiyah dan dihiasi dengan tazkiyah, ia akan menemukan kemudahan (Yusrā) yang dijanjikan, dan pada akhirnya, keridaan Ilahi yang mutlak. Inilah inti dari pesan universal yang disematkan dalam dua surah kembar, cahaya dan malam, dalam Al-Qur'an.
Penelitian mendalam terhadap rangkaian surah-surah pendek ini menunjukkan bahwa pesan-pesan utama Islam—tauhid, tanggung jawab moral, dan hari pembalasan—diulang dan diperkuat melalui lensa yang berbeda namun saling terikat. Asy-Syams berfokus pada potensi internal dan penyebab kehancuran (Tsamud), sementara Al-Lail berfokus pada aksi eksternal dan konsekuensi abadi (Neraka/Surga). Keduanya adalah peta jalan menuju Falah, yang hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa yang ikhlas. Kegagalan Tsamud dalam menahan kedurhakaan mereka adalah cermin kegagalan individu dalam mengendalikan kekikiran dan kesombongan, yang pada akhirnya menuntun pada api Talazhā yang menyala-nyala.
Keagungan retoris Al-Qur'an dalam dua surah ini terletak pada kemampuannya untuk mengambil fenomena alam yang paling biasa—Matahari, Bulan, Malam, Siang—dan mengubahnya menjadi bukti metafisik yang tak terbantahkan. Fenomena ini adalah tanda-tanda (ayat) yang menunjuk ke dalam diri manusia. Jika Anda dapat melihat keindahan dan ketertiban dalam pancaran sinar matahari, Anda harus mampu menemukan dan menumbuhkan keindahan dan ketertiban dalam jiwa Anda sendiri. Dan jika Anda menyadari betapa kegelapan malam menutupi bumi, Anda harus berhati-hati agar kegelapan kefasikan tidak menutupi cahaya fitrah dalam hati Anda.
Oleh karena itu, setiap pembaca dan perenung Surah Asy-Syams dan Al-Lail secara otomatis dihadapkan pada sebuah pilihan eksistensial: menjadi agen kegelapan yang kikir dan sombong, atau menjadi agen cahaya yang memberi dan bertakwa. Pilihan inilah yang membedakan sa’y manusia dan menentukan arah perjalanan menuju Yang Maha Tinggi.