Setelah pengembaraan panjang melalui Surah Al-Kahfi, yang sarat dengan empat kisah sentral mengenai ujian keimanan—ujian agama (Ashabul Kahfi), ujian harta (pemilik dua kebun), ujian ilmu (Musa dan Khidir), dan ujian kekuasaan (Dzulqarnain)—kita memasuki babak baru yang lebih fokus pada tema Rahmah (Kasih Sayang) Ilahi. Surat yang langsung mengikuti Al-Kahfi adalah Surah Maryam, surah kesembilan belas dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Transisi ini bukan kebetulan; ia menunjukkan bahwa setelah melewati badai cobaan dan tantangan hidup, seorang mukmin akan selalu menemukan pelabuhan Rahmat dan Keajaiban Allah.
Surah Maryam adalah salah satu surah Makkiyah yang paling indah dan menyentuh. Dinamakan demikian karena Surah ini menceritakan secara rinci dan unik kisah Maryam binti Imran, satu-satunya wanita yang namanya diabadikan sebagai nama surah dalam Al-Qur'an. Ia datang untuk menegaskan bahwa kekuasaan Allah (Tauhid Rububiyyah) tidak terbatas pada hukum sebab-akibat yang kita kenal, melainkan meluas hingga mencakup mukjizat yang melampaui logika duniawi. Ini adalah surat yang secara sempurna mendamaikan hati yang resah dan menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah mungkin bagi Yang Maha Pengasih.
Surah Maryam dibangun di atas tiga poros utama yang saling terkait:
Surah Maryam dimulai dengan huruf-huruf tunggal (Muqatta'at): Kaf Ha Ya 'Ain Shad (كهيعص). Para mufassir menjelaskan bahwa lima huruf ini mengandung isyarat kepada Rahmah Ilahi dan kisah-kisah utama dalam surah ini—Kaf merujuk pada Karamah (kemuliaan), Ha merujuk pada Hidayah (petunjuk), Ya merujuk pada Yad (kekuatan), 'Ain merujuk pada Ilm ('ilmu), dan Shad merujuk pada Shidq (kebenaran). Segera setelah itu, surah beralih ke kisah Nabi Zakariya.
Kisah ini merupakan manifestasi pertama dari Rahmat Allah. Zakariya adalah seorang Nabi yang sudah sangat tua, dan istrinya mandul. Ia khawatir setelah kepergiannya, tidak ada yang akan melanjutkan tugas spiritualnya menjaga mihrab dan mengajarkan Kitab. Dalam kesunyian mihrab, ia memanjatkan doa yang tulus dan tersembunyi. Keindahan doanya termuat dalam pengakuan penuh akan kelemahan fisik dirinya:
"Dia (Zakariya) berkata, 'Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah, dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.'" (19:4)
Penggunaan kata ‘asysyiba’ (uban) dan deskripsi kelemahan tubuh menunjukkan bahwa dari segi fisik, harapan untuk memiliki anak secara alami telah sirna total. Namun, Nabi Zakariya menunjukkan adab tertinggi dalam doa: meskipun tubuhnya lemah, harapannya kepada Allah tidak pernah lemah. Ini adalah pelajaran besar bagi setiap mukmin yang merasa putus asa secara logistik duniawi.
Allah mengabulkan doanya bukan hanya dengan memberinya seorang anak, tetapi juga dengan memberinya nama khusus, Yahya, yang belum pernah digunakan sebelumnya. Yahya berarti "Dia Hidup" atau "Dia Menghidupkan," yang secara simbolis menunjukkan bahwa melalui dia, kehidupan spiritual Zakariya dihidupkan kembali.
Tanda kehamilan Yahya bukanlah perubahan fisik pada istri Zakariya, melainkan ketidakmampuan Zakariya untuk berbicara selama tiga malam—sebagai isyarat dan ujian. Ini menunjukkan bahwa mukjizat Allah terkadang datang dengan bentuk yang tak terduga, menuntut sabar dan kepatuhan diam-diam sebelum kegembiraan besar datang. Yahya tumbuh menjadi Nabi yang saleh, dibekali hikmah dan ketakwaan sejak kecil, menjadi manifestasi sempurna dari Rahmat Ilahi.
Kisah ini mengajarkan bahwa Rahmat Allah tidak dibatasi oleh usia, kondisi, atau pandangan masyarakat. Jika pintu-pintu sebab-akibat duniawi tertutup, pintu Rahmat Ilahi selalu terbuka bagi mereka yang berdoa dengan ketulusan yang mendalam. Ini adalah fondasi spiritual yang mempersiapkan pembaca untuk menerima kisah mukjizat yang lebih besar, yaitu kisah Maryam.
Kisah Maryam binti Imran adalah inti dari Surah Maryam, sebuah narasi yang didedikasikan untuk membersihkan nama beliau dari fitnah sejarah, sekaligus menancapkan prinsip Tauhid dalam mukjizat kelahiran luar biasa.
Maryam, yang dikenal sebagai wanita suci yang mengabdikan diri di Baitul Maqdis, memutuskan untuk mengasingkan diri ke tempat yang jauh (makana syarqiyya). Para ulama tafsir berpendapat bahwa pengasingan ini dilakukan untuk meningkatkan ibadah dan menjaga kesucian dari hiruk pikuk manusia. Dalam kesendirian, Allah mengutus Jibril alaihissalam dalam rupa manusia sempurna (Basyaran Sawiyya).
Reaksi Maryam mencerminkan ketakwaan paripurna. Ia langsung mencari perlindungan kepada Allah Yang Maha Pengasih (ar-Rahman) jika pria di hadapannya memiliki niat buruk. Jibril kemudian menjelaskan misinya: ia diutus untuk menganugerahkan padanya seorang putra yang suci.
"Dia (Jibril) berkata, 'Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menganugerahkan padamu seorang anak laki-laki yang suci.'" (19:19)
Jawaban Maryam, yang bertanya bagaimana mungkin ia hamil sementara tidak ada sentuhan pria, membuka jalan bagi penjelasan mengenai keajaiban mutlak kekuasaan Allah. Penciptaan Isa adalah ayat (tanda) bagi umat manusia, dan merupakan ketetapan yang telah diputuskan. Proses kehamilan itu sendiri dipaparkan dengan ringkas dan penuh makna: melalui tiupan ruh dari Allah (Ruuhun minna).
Setelah mengandung, Maryam merasakan sakit yang luar biasa dan rasa malu yang menghantui, sehingga ia berandai-andai mati sebelum kejadian ini. Ini menunjukkan beban psikologis dan sosial yang harus ditanggungnya sebagai wanita suci yang tiba-tiba hamil tanpa suami. Dalam puncak keputusasaannya, Allah memberinya kenyamanan ganda di bawah pohon kurma kering:
Dua mukjizat ini—air dan makanan—adalah simbol dukungan material dan spiritual yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang dalam kesulitan. Perintah untuk tidak berbicara (diam berpuasa bicara) adalah strategi ilahi untuk memindahkan pembelaan Maryam kepada putranya sendiri.
Ketika Maryam kembali ke kaumnya, mereka langsung menuduhnya melakukan perbuatan keji, mengingatkan akan kesucian keluarga Harun dan Imran. Maryam, sesuai perintah, hanya menunjuk kepada bayi Isa. Inilah puncak mukjizat. Sang bayi Isa a.s. berbicara, membela ibunya, dan mengumumkan misinya:
"Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikanku seorang Nabi." (19:30)
Pidato pertama Isa ini memuat tiga pilar Tauhid:
Kisah ini menutup diskusi mengenai Isa dengan penegasan bahwa Isa hanyalah Nabi dan Rasul Allah. Ayat-ayat berikutnya dengan tegas menolak konsep "ketuhanan" Isa yang kelak dikembangkan oleh sebagian kaumnya.
Kisah Maryam adalah bukti paling jelas bahwa Tuhan tidak terikat oleh biologi. Jika Zakariya adalah bukti bahwa Allah mampu menciptakan kehidupan dari ketiadaan potensi (usia tua dan kemandulan), maka Maryam adalah bukti bahwa Allah mampu menciptakan kehidupan dari ketiadaan pasangan (tanpa ayah). Kedua kisah ini secara sinergis memperkuat Tauhid Rububiyyah.
Setelah dua kisah keajaiban kelahiran, Surah Maryam beralih ke kisah Nabi Ibrahim a.s., yang dikenal sebagai Khalilullah (Kekasih Allah). Kisah Ibrahim di sini tidak berfokus pada hijrah besarnya, melainkan pada dialognya yang penuh kasih sayang dan argumentatif dengan ayahnya, Azar (yang menyembah berhala).
Ibrahim memulai dakwahnya kepada ayahnya dengan panggilan penuh hormat, "Yaa Abati" (Wahai Ayahku), meskipun ayahnya berada dalam kesesatan yang nyata. Dialog ini mengajarkan adab berdakwah: menggunakan argumen logis dan disampaikan dengan kelembutan, bahkan ketika menghadapi penolakan yang paling keras.
Ibrahim mempertanyakan secara retoris, mengapa sang ayah menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memberikan manfaat sedikit pun. Ini adalah dakwah rasional terhadap berhala. Ia juga menawarkan ilmu dan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya, bukan dari dirinya sendiri.
"Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus." (19:43)
Namun, Azar menolak dengan ancaman pengusiran dan rajam. Meskipun ditolak dan diancam, Ibrahim menutup dialog dengan doa yang menjanjikan keselamatan dan permohonan ampun bagi ayahnya—sebelum ia menyadari bahwa sang ayah memang ditetapkan sebagai musuh Allah (sebagaimana dijelaskan di surah lain).
Ketika Ibrahim diusir, ia tidak putus asa. Ia berjanji akan memohonkan ampunan dan memohon kepada Allah agar ia tidak terpisah dari Rahmat-Nya. Allah kemudian membalas pengorbanan Ibrahim dengan menganugerahkan kepadanya keturunan yang luar biasa, Ishaq dan Ya’qub, yang semuanya dijadikan Nabi, dan menjadikan mereka subjek dari Rahmah Ilahi yang besar. Kisah Ibrahim ini menanamkan konsep bahwa Rahmah Ilahi menyertai kesabaran dalam berdakwah, meskipun dakwah itu ditolak oleh keluarga terdekat.
Surah Maryam melanjutkan dengan rangkuman cepat tentang tiga Nabi agung lainnya: Musa, Harun, dan Ismail, dan Idris. Tujuan dari rangkaian kisah ini adalah untuk menunjukkan konsistensi risalah Tauhid dari satu generasi Nabi ke generasi berikutnya.
Musa (a.s.) dideskripsikan sebagai mukhlasan (orang yang dipilih dan disucikan), yang dipanggil di sisi kanan Bukit Thur. Harun (a.s.) diberikan sebagai Nabi pendamping dari Rahmat Allah (Rahmah minna), bukan semata-mata dari kekuasaan Musa. Ini menekankan bahwa bantuan terbesar yang diterima seorang Nabi berasal dari Kasih Sayang Allah, bukan dari kecerdasan taktis manusia.
Ismail (a.s.) disoroti dengan sifatnya yang utama: Shodiqul Wa’di (orang yang menepati janji). Karakteristik ini menunjukkan pentingnya integritas moral dalam kenabian. Ia selalu memerintahkan keluarganya untuk salat dan zakat, dan ia adalah sosok yang diridhai oleh Tuhannya. Ini adalah penekanan bahwa Tauhid harus diiringi dengan konsistensi dalam ibadah praktis.
Idris (a.s.) disebutkan secara singkat dengan pujian bahwa ia adalah orang yang sangat benar dan Allah mengangkatnya ke tempat yang tinggi (makana 'aliyya). Ini adalah dorongan bagi mukmin bahwa kebenaran dan kesabaran dalam ketaatan akan menghasilkan kehormatan tertinggi di sisi Allah.
Setelah memuji para Nabi, Surah Maryam memberikan peringatan keras. Generasi setelah para Nabi tersebut mulai menyimpang, meninggalkan salat, dan mengikuti syahwat mereka. Mereka akan menghadapi kesesatan (Ghayya), sebuah lembah di neraka.
Namun, dalam tradisi Surah Maryam, peringatan ini selalu diiringi dengan pintu Rahmat yang terbuka. Pengecualian diberikan kepada mereka yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Mereka akan memasuki Surga, dan tidak akan dianiaya sedikit pun.
Ayat-ayat ini menyimpulkan dengan deskripsi Surga—Taman 'Adn, yang dijanjikan oleh ar-Rahman kepada hamba-Nya yang saleh. Janji-janji Allah adalah pasti, dan setiap kenikmatan di sana datang dari Rahmat-Nya, bukan sekadar imbalan atas amal (karena amal kita terbatas).
Bagian terakhir surah ini kembali ke inti dari risalah Qur'ani: penegasan hari Kebangkitan (Kiamat) dan penolakan keras terhadap dogma Syirik, terutama klaim bahwa Allah memiliki seorang anak (waladan).
Kaum musyrikin seringkali meragukan hari Kebangkitan dengan bertanya bagaimana mungkin tulang belulang yang telah hancur bisa dihidupkan kembali. Allah menjawab dengan mengingatkan manusia akan penciptaan pertama mereka—dahulu mereka adalah sesuatu yang sama sekali tidak ada. Jika Allah mampu menciptakan dari ketiadaan, menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada jauh lebih mudah bagi-Nya.
Peringatan tentang Kiamat diikuti dengan gambaran Neraka Jahanam. Setiap manusia, baik mukmin maupun kafir, pasti akan melewati Neraka. Ini adalah ketetapan pasti dari Tuhanmu. Namun, Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa, dan meninggalkan orang-orang zalim dalam kondisi tersungkur di dalamnya. Ini adalah manifestasi keadilan yang diiringi dengan Rahmah bagi yang beriman.
Puncak teologis Surah Maryam adalah kecaman terhadap mereka yang mengatakan bahwa ar-Rahman telah mengambil seorang anak (waladan). Ayat-ayat ini menggunakan bahasa yang sangat kuat, menggambarkannya sebagai kejahatan yang begitu besar hingga hampir-hampir langit terbelah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh karena kegeraman terhadap klaim tersebut.
"Dan mereka berkata, 'Tuhan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman) mengambil seorang anak.' Sungguh, kamu telah mendatangkan sesuatu yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karenanya, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mengklaim untuk Yang Maha Pengasih seorang anak." (19:88-91)
Mengapa klaim ini begitu mengerikan? Karena bertentangan langsung dengan sifat Ash-Shamad (Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu) dan Tauhid Uluhiyyah. Allah, Yang Maha Sempurna dan Tidak Membutuhkan apa pun, tidak mungkin memiliki keterbatasan biologis atau kebutuhan untuk pewaris. Ini adalah penegasan kembali bahwa Isa, Yahya, dan bahkan Maryam hanyalah hamba yang mulia. Allah adalah Satu, Ahad, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Meskipun peringatan tentang neraka begitu tegas, surah ditutup dengan sekali lagi menekankan Rahmat. Surah Maryam menegaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang mudah dipahami agar Nabi Muhammad dapat memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang membangkang.
Surah ini mengakhiri dengan pemandangan akhirat yang damai bagi para mukmin: Rahmat dan Mawaddah (Cinta). Allah akan menanamkan cinta dan penerimaan di antara orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah puncak ketenangan, di mana iman dan perbuatan baik menghasilkan kedamaian abadi, yang semuanya diwujudkan melalui kemurahan Yang Maha Pengasih.
Surah Maryam menawarkan pelajaran multi-dimensi yang melampaui kisah-kisah historis. Tema sentralnya adalah bagaimana Rahmat Allah menembus ruang dan waktu, mengatasi batasan alam, dan memanifestasikan kehendak-Nya yang mutlak.
Pengulangan nama Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dalam Surah Maryam jauh lebih sering dan mendalam dibandingkan banyak surah lainnya. Kata ini muncul lebih dari 16 kali, menyoroti bahwa setiap mukjizat dan setiap ketetapan, bahkan peringatan Kiamat, berakar pada kasih sayang-Nya. Maryam mencari perlindungan kepada Ar-Rahman; Isa menegaskan bahwa Allah-lah yang menetapkan salat dan zakat sebagai bentuk rahmat. Ini mengajarkan bahwa pondasi akidah dan ibadah kita harus berlandaskan pemahaman mendalam akan Rahmat Ilahi.
Surah ini mengajarkan bahwa iman harus melampaui logika sebab-akibat. Kelahiran Yahya dan Isa adalah studi kasus bahwa Allah beroperasi di atas hukum fisika yang Dia ciptakan sendiri. Bagi seorang mukmin, tidak ada yang namanya 'mustahil' jika Allah telah berkehendak. Ini memberikan kekuatan luar biasa dalam menghadapi tantangan hidup yang tampaknya tidak memiliki solusi duniawi.
Surah Maryam adalah Piagam Pembelaan Ilahi terhadap kehormatan seorang wanita, Maryam. Ini menegaskan kedudukan tinggi Maryam, yang menjadi teladan kesabaran, kesucian, dan kepatuhan. Allah sendiri yang menanggung pembelaan atas namanya, mengajarkan umat Islam untuk menghormati dan menjaga kehormatan wanita-wanita suci.
Baik Zakariya maupun Maryam menemukan Rahmat Allah dalam kondisi khalwah (kesendirian). Zakariya berdoa dalam kesunyian mihrab; Maryam menerima kabar gembira ketika mengasingkan diri. Ini menekankan pentingnya introspeksi, ibadah yang tersembunyi, dan doa yang tulus, jauh dari pandangan dan penilaian manusia.
Peringatan terhadap generasi yang datang setelah para Nabi yang menyia-nyiakan salat dan mengikuti syahwat adalah pelajaran abadi. Salat (Shalah) adalah tiang agama dan tolok ukur konsistensi. Meninggalkan salat adalah langkah pertama menuju Ghayya (kesesatan) dan Neraka. Surah Maryam menghubungkan konsistensi ibadah praktis langsung dengan konsekuensi akhirat.
Ayat-ayat penolakan klaim anak bagi Allah menunjukkan betapa seriusnya Syirik di mata Tuhan. Ini bukan sekadar perbedaan teologis, melainkan kejahatan kosmik yang mengancam keharmonisan alam semesta. Surah Maryam menuntut setiap mukmin untuk membersihkan akidahnya dari segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan kekosongan segala sesuatu kecuali Allah Yang Maha Esa.
Dalam konteks kehidupan akhirat, Surah Maryam menjanjikan bahwa orang-orang yang beriman akan mendengarkan "Salaam" (kedamaian) dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Di surga, tidak ada kata-kata sia-sia, melainkan hanya kedamaian. Ini menekankan nilai dari ucapan yang baik dan berfaedah (qaulan salama) di dunia ini sebagai investasi untuk kebahagiaan di akhirat.
Meskipun Surah Maryam penuh dengan Rahmah, ia tidak mengabaikan ancaman bagi yang ingkar. Gambaran tentang hari Kiamat dan Neraka berfungsi sebagai pendorong (targhib wa tarhib) untuk memanfaatkan waktu di dunia ini. Pengetahuan bahwa semua akan melewati jembatan (sirath) menunjukkan bahwa keselamatan hanya dapat dicapai melalui takwa yang konsisten.
Melalui jalinan kisah para Nabi—dari harapan Zakariya, kesucian Maryam, pembelaan Isa, ketaatan Ibrahim, hingga keteladanan Musa dan Ismail—Surah Maryam secara utuh menyajikan gambaran tentang kekuatan kehendak Ilahi dan luasnya Rahmat-Nya. Bagi mereka yang baru saja menyelesaikan Surah Al-Kahfi dengan segala ujiannya, Surah Maryam berfungsi sebagai penawar dan penegasan bahwa setiap kesulitan akan selalu diimbangi dengan Kasih Sayang Allah yang tak terbatas.
Struktur Surah Maryam terbagi menjadi dua bagian besar yang seimbang: bagian pertama (kisah para Nabi) dan bagian kedua (penegasan doktrinal dan peringatan Kiamat). Keseimbangan ini penting. Kisah-kisah (seperti Zakariya dan Maryam) membangun fondasi emosional dan bukti empiris mukjizat. Sementara itu, bagian doktrinal (bantahan klaim waladan) membangun fondasi teologis yang kokoh. Surah ini secara efektif menggunakan narasi untuk mendukung dogma, menjadikannya salah satu surah yang paling persuasif dalam Al-Qur'an.
Secara linguistik, Surah Maryam memiliki irama dan sajak yang khas (fawasil) yang sangat indah dan mendalam, yang konon bahkan membuat menangis orang-orang non-Muslim yang pertama kali mendengarkannya. Misalnya, penggunaan huruf yang lembut dan sajak yang berakhiran panjang ('a' dan 'iyya') menciptakan suasana ketenangan dan keagungan, sangat cocok dengan tema Rahmat dan keajaiban yang disajikan.
Contohnya, ayat-ayat yang menggambarkan Maryam di tempat pengasingan menggunakan kata-kata yang mengalir lembut: "Makana syarqiyya," "Ruhuna fatasawwa," "Basyaran sawiyya." Irama ini menenangkan hati dan menegaskan bahwa di balik peristiwa yang mengejutkan terdapat keindahan dan ketetapan Ilahi.
Ayat terakhir surah menjanjikan Mawaddah (rasa cinta yang mendalam) bagi mereka yang beriman. Ini adalah Rahmah yang dimanifestasikan dalam hubungan sosial. Seorang mukmin tidak hanya menerima Rahmat di akhirat, tetapi juga merasakan Rahmat dalam bentuk kasih sayang dan penerimaan di antara sesama mukmin di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa Surah Maryam tidak hanya berfokus pada hubungan vertikal (hamba dan Tuhan), tetapi juga horizontal (hamba dengan hamba).
Secara keseluruhan, Surah Maryam adalah puncak dari pengajaran bahwa kekuasaan Allah (Qudratullah) adalah mutlak, kasih sayang-Nya (Rahmah) adalah tak terbatas, dan tuntutan-Nya (Tauhid) adalah fundamental. Setelah melalui ujian-ujian iman dalam Al-Kahfi, Surah Maryam membekali pembaca dengan keyakinan yang diperlukan untuk menghadapi realitas dunia dengan penuh pengharapan dan ketaatan.
Jika Al-Kahfi berfokus pada pertanyaan dan jawaban seputar misteri duniawi (harta, ilmu, kekuasaan), Surah Maryam berfokus pada misteri spiritual (keajaiban kelahiran, mukjizat kenabian). Kedua surah ini bekerja bersama untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang Kekuasaan Allah: Dia mampu menciptakan keajaiban di dalam gua dan di bawah pohon kurma, dan Dia mampu memberikan ilmu kepada Khidir serta hikmah kepada Yahya sejak kecil. Keduanya adalah bukti tak terbantahkan akan Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Dengan demikian, perjalanan spiritual dari kegelapan (ujian) menuju cahaya (Rahmat) mencapai puncaknya di dalam Surah Maryam. Ia adalah panggilan untuk melepaskan segala bentuk keraguan, memeluk keyakinan mutlak, dan menyadari bahwa di setiap sudut kehidupan, Rahmat Ar-Rahman senantiasa hadir dan mencakup segala sesuatu.
Surah Maryam berdiri tegak sebagai monumen keindahan narasi dan ketegasan teologis dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya kumpulan cerita para Nabi, melainkan sebuah seruan universal kepada hati manusia untuk mengakui kelemahan diri di hadapan Keagungan Allah dan untuk senantiasa mencari perlindungan di bawah naungan Rahmat-Nya.
Bagi pembaca yang merenungkan ayat-ayatnya, Surah Maryam menawarkan ketenangan, jaminan bahwa doa akan dikabulkan, dan pengingat yang menyentuh bahwa setiap kesulitan akan diiringi oleh kemudahan dan mukjizat yang tak terduga. Ia mengukuhkan kembali bahwa kemuliaan tertinggi adalah menjadi ‘Abdullah (hamba Allah) yang tulus, sebagaimana ditegaskan oleh Isa a.s. dalam pidato pertamanya. Dalam setiap kisah yang disajikan—dari doa Zakariya yang tersembunyi hingga penderitaan Maryam yang termulia—kita menemukan blueprint untuk hidup yang didominasi oleh harapan, kesabaran, dan ketaatan kepada Yang Maha Pengasih.