Surat Tabbat (Al-Masad): Analisis Mendalam, Konteks, dan Tafsir Kehancuran Abadi

Surah Al-Masad, yang lebih dikenal dalam kajian sejarah Islam dengan nama ‘Surat Tabbat’, merupakan salah satu surah terpendek namun paling eksplisit dan tegas dalam Al-Qur’an. Surah ini secara langsung ditujukan kepada salah satu musuh paling gigih dalam sejarah kenabian, Abu Lahab, paman Rasulullah ﷺ, beserta istrinya, Ummu Jamil. Keberadaan surah ini bukan sekadar ancaman, melainkan juga sebuah proklamasi kenabian dan nubuat ilahi yang sempurna, menjamin kehancuran total bagi mereka yang menentang kebenaran setelah menerima bukti yang terang benderang. Kajian ini akan menggali setiap aspek surah yang agung ini, dari konteks historis yang melatarbelakanginya hingga analisis linguistik mendalam dan implikasi teologisnya yang abadi.

I. Definisi dan Konteks Historis Wahyu

Surah Al-Masad (Gugusan Serabut) adalah surah ke-111 dalam mushaf Utsmani. Selain Al-Masad, ia juga dikenal sebagai Surah Abi Lahab (Ayah Api), atau Surah Tabbat (Telah Binasalah), merujuk pada kata pembukanya yang kuat. Surah ini tergolong surah Makkiyah, yang diturunkan pada fase awal dakwah di Makkah, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai terang-terangan menyerukan tauhid dan menantang sistem kepercayaan pagan Quraisy.

Asbabun Nuzul: Peringatan di Bukit Safa

Penyebab turunnya surah ini (Asbabun Nuzul) diriwayatkan dengan sangat jelas dan merupakan salah satu peristiwa penting yang menandai dimulainya dakwah secara terbuka. Ketika Allah menurunkan firman-Nya, "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (QS. Asy-Syu’ara: 214), Rasulullah ﷺ menaiki Bukit Safa di Makkah. Beliau mulai berseru kepada kabilah-kabilah Quraisy, memanggil mereka satu per satu. Tradisi ini dilakukan untuk memberikan pengumuman yang sangat penting, seringkali mengenai bahaya yang akan datang.

Setelah orang-orang Quraisy berkumpul, Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku beritahu bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong." Kemudian, Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."

Reaksi Abu Lahab (nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muttalib) adalah reaksi yang paling keras dan tercela. Padahal, Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad ﷺ dari garis ayah. Dengan wajah penuh kebencian, ia berdiri dan berteriak: "Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?" Dalam riwayat lain disebutkan ia sambil melempar batu. Tindakan dan ucapan inilah yang segera memicu turunnya Surah Tabbat, di mana Allah membalikkan kutukan tersebut kembali kepadanya dengan ketegasan ilahi. Tindakan Abu Lahab tersebut bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik terhadap misi kenabian di hadapan seluruh kabilah Makkah.

Keistimewaan dan Ketegasan Surah

Surah Tabbat menonjol karena dua alasan utama. Pertama, ia adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur’an yang menyebut nama musuh secara spesifik. Ini menunjukkan betapa seriusnya kejahatan dan permusuhan Abu Lahab terhadap Islam dan keponakannya sendiri. Kedua, surah ini memberikan nubuat yang pasti mengenai nasib akhir Abu Lahab dan istrinya di dunia dan di akhirat. Nubuat ini adalah salah satu mukjizat kenabian, karena surah ini diturunkan beberapa tahun sebelum kematian Abu Lahab, namun dalam rentang waktu tersebut, dia tidak pernah memeluk Islam—sehingga membuktikan kebenaran firman Allah secara mutlak.

II. Tafsir Mendalam Ayat Per Ayat (Linguistik dan Makna)

Untuk mencapai pemahaman komprehensif, kita harus membedah setiap kata dalam lima ayat Surah Al-Masad, menimbang makna etimologis, konteks teologis, dan pandangan para mufasir klasik.

Ayat 1: Proklamasi Kehancuran

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
(Tabbat yadā Abī Lahabīw wa tabb)

Terjemah: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Analisis Kata ‘Tabbat’ (تَبَّتْ): Kehancuran Total

Kata ‘Tabbat’ berasal dari akar kata ‘Tabba’ (تَبَّ), yang berarti binasa, merugi, terputus, atau celaka. Ini adalah kata yang sangat kuat, melampaui sekadar "kutukan." Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa ‘Tabab’ adalah kerugian yang mengarah pada kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat.

Para mufasir menekankan bahwa ini adalah sebuah nubuat. Walaupun Abu Lahab hidup dalam kemewahan di Makkah, kehancuran spiritual dan moralnya telah terjadi. Di masa depan, kehancuran fisiknya akan menyusul, baik melalui kematian yang mengenaskan maupun melalui azab akhirat.

Simbol Nyala Api dan Kehancuran LAHAB Ilustrasi sederhana nyala api yang melambangkan Lahab dan azab yang dijanjikan.

Ayat 2: Kesia-siaan Harta dan Usaha

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
(Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab)

Terjemah: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.

Analisis Kata ‘Māluhū’ dan ‘Mā Kasab’

Ayat ini menyentuh dua pilar yang paling disombongkan oleh orang-orang Quraisy: harta (māl) dan hasil usaha (kasaba). Abu Lahab adalah orang yang kaya dan memiliki status sosial yang tinggi. Ia menyangka bahwa kekayaan dan kekuasaannya dapat melindunginya dari azab Allah atau bahkan menghentikan dakwah Nabi Muhammad ﷺ.

Kombinasi kedua penafsiran ‘kasab’ menunjukkan bahwa totalitas eksistensi Abu Lahab—kekayaan materinya, usahanya, dan bahkan keluarganya—telah dicap tidak berharga oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Ayat 3: Nasib di Akhirat

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
(Sa-yaṣlā nāran dhāta Lahab)

Terjemah: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (bernyala-nyala).

Analisis ‘Sa-yaṣlā’ dan ‘Nāran dhāta Lahab’

Ayat ini adalah janji dan kepastian mengenai hukuman akhiratnya.

Ayat 4: Istri Abu Lahab dan Siksaannya

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
(Wamra'atuhū ḥammālatal ḥaṭab)

Terjemah: Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar.

Analisis ‘Wamra'atuhū ḥammālatal ḥaṭab’

Istri Abu Lahab adalah Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan, dan dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ia juga seorang penentang keras Nabi Muhammad ﷺ dan merupakan pasangan yang serasi bagi suaminya dalam hal permusuhan terhadap Islam.

Ḥammālatal ḥaṭab (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ): "Pembawa kayu bakar" juga memiliki penafsiran ganda:

Penting untuk dicatat, ketika ayat ini turun, Ummu Jamil sangat marah. Diriwayatkan bahwa ia datang mencari Nabi sambil membawa batu, bersumpah untuk menyerangnya. Namun, Allah menghalanginya melihat Nabi yang saat itu duduk bersama Abu Bakar, sehingga ia hanya bertanya kepada Abu Bakar tentang keberadaan Nabi Muhammad ﷺ dan mengutuknya, lalu pergi. Ini menunjukkan kekuasaan Allah dalam melindungi rasul-Nya bahkan ketika musuh telah dipersonifikasikan dalam Surah yang baru saja diturunkan.

Ayat 5: Siksaan Akhirat yang Spesifik

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
(Fī jīdihā ḥablum mim masad)

Terjemah: Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipintal).

Analisis ‘Ḥablum mim masad’

Ayat terakhir ini memberikan detail yang spesifik dan mengerikan mengenai siksaan Ummu Jamil di neraka.

Siksaan ini adalah balasan yang tepat: karena di dunia ia memikul beban kayu bakar (fitnah dan hasutan) dan memanggulnya untuk dilemparkan ke jalan Nabi, maka di akhirat ia akan memanggul tali sabut panas di lehernya, yang menyeretnya ke neraka. Ini adalah perwujudan fisik dari penghinaan dan kesia-siaan usahanya di dunia.

Simbol Tali Sabut Masad MASAD Ilustrasi sederhana serat tali yang saling berpilin melambangkan Masad.

III. Keajaiban Nubuat dan Implikasi Teologis

Surah Tabbat adalah bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Sifat surah ini sebagai nubuat yang terpenuhi menjadikannya salah satu argumen terkuat bagi kebenahan Al-Qur’an.

Keajaiban Kenabian yang Terpenuhi

Ayat-ayat ini menjamin bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak akan pernah beriman, melainkan mereka pasti akan mati dalam kekafiran dan memasuki neraka. Surah ini diturunkan di Makkah, bertahun-tahun sebelum kematian Abu Lahab.

Sebagai manusia normal, Abu Lahab sebenarnya memiliki kesempatan untuk menggagalkan surah ini. Ia hanya perlu mengklaim keimanan, bahkan jika hanya pura-pura (munafik), untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an salah. Namun, sepanjang sisa hidupnya, meskipun tekanan politik dan militer kaum Muslimin meningkat, Abu Lahab tetap teguh dalam kekafirannya. Dia meninggal dalam keadaan yang sangat hina dan buruk, tak lama setelah Perang Badar, menderita penyakit menular yang membuat orang-orang menjauhinya (Adasa, sejenis bisul yang mematikan). Jenazahnya ditinggalkan selama tiga hari hingga akhirnya dikuburkan secara tergesa-gesa oleh anak-anaknya dengan cara disiram batu dari jarak jauh.

Kenyataan bahwa Abu Lahab tidak pernah mengucapkan Syahadat hingga akhir hayatnya mengukuhkan Surah Tabbat sebagai nubuat ilahi yang definitif. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Allah bersifat absolut dan melampaui kehendak bebas manusia yang telah memilih jalan kekufuran secara sadar.

Konsep Kehendak Bebas dan Penetapan

Lalu, bagaimana surah ini berhubungan dengan konsep kehendak bebas (ikhtiyar)? Surah Tabbat tidak menghilangkan kehendak bebas Abu Lahab, melainkan mengkonfirmasi bahwa berdasarkan pengetahuan Allah yang maha mengetahui tentang pilihan yang akan diambil Abu Lahab (yaitu penolakan permanen), nasibnya telah ditetapkan. Abu Lahab memilih untuk terus menentang kebenaran dan Allah hanya memberitakan konsekuensi dari pilihan tersebut. Hidayah adalah milik Allah, dan Allah menariknya dari mereka yang menolaknya dengan kesombongan dan permusuhan yang ekstrim.

Kisah ini menjadi peringatan keras bahwa kedekatan biologis dengan Nabi Muhammad ﷺ (sebagai paman) tidak akan menyelamatkan seseorang. Yang menentukan adalah iman dan amal perbuatan, bukan garis keturunan atau status sosial.

IV. Detail Tambahan dari Tafsir Klasik

Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Surah Tabbat, kita harus mempertimbangkan bagaimana mufasir besar seperti Imam At-Tabari, Ibnu Kathir, dan Al-Qurtubi menjelaskan aspek-aspek minor yang memiliki dampak besar terhadap interpretasi moral dan hukum.

Penggunaan Kata ‘Yadā’ (Dua Tangan)

Imam At-Tabari menekankan bahwa penyebutan yadā (dual, kedua tangan) adalah kiasan untuk kekuasaan, kekuatan, dan potensi berbuat. Ketika Allah mengutuk kedua tangan Abu Lahab, artinya segala yang ia upayakan dan segala yang menjadi sumber kekuatannya akan terputus. Ini berbeda dengan sekadar menyebut ‘tangan’ (tunggal) yang mungkin merujuk pada perbuatan fisik semata. Mengutuk kedua tangannya adalah mengutuk seluruh sumber dayanya.

Al-Qurtubi menambahkan bahwa jika perbuatan yang dilakukan oleh tangan Abu Lahab, yaitu penolakan, telah binasa dan sia-sia, maka seluruh dirinya juga pasti akan binasa. Frasa ‘wa tabb’ yang mengikuti, mengunci makna bahwa kehancuran parsial (tangan) berujung pada kehancuran total (dirinya).

Signifikansi Harta dan ‘Kasaba’

Diskusi mengenai ‘mā kasab’ (apa yang dia usahakan/peroleh) menjadi sangat penting karena mencerminkan pandangan Islam terhadap kekayaan. Tafsir Ibnu Kathir mencatat bahwa Abu Lahab pernah berkata, “Jika perkataan keponakanku ini benar, maka aku akan menebus diriku dari azab akhirat dengan harta dan anak-anakku.” Ayat 2 turun untuk membantah kesombongan ini, menegaskan bahwa tidak ada daya tawar bagi kekayaan di hari perhitungan. Bahkan jika kekayaan itu halal, selama tidak digunakan di jalan Allah, ia tidak akan menyelamatkan pemiliknya dari kebenaran yang ditolak.

Penggunaan kata ‘kasab’ juga mengandung makna bahwa kekafiran Abu Lahab begitu mendalam sehingga bahkan amalan baik yang mungkin ia lakukan sebelum Islam (seperti menolong orang yang memerlukan atau menjaga Ka’bah) tidak dihitung sebagai penyelamat di hadapan permusuhannya yang begitu terang-terangan terhadap kenabian.

Ironi Lahab dan Api Neraka

Para mufasir menyoroti ironi nama Abu Lahab. Ini adalah contoh sempurna dari tawriyah (penggunaan kata dengan dua makna, satu jelas, satu tersembunyi/ironis). Dalam hidupnya, julukan ‘Ayah Api’ mungkin terdengar mulia. Namun, dalam konteks wahyu ini, julukan itu menjadi cap yang menandai takdir abadinya: ‘Nāran dhāta Lahab’. Api neraka adalah api yang ‘berapi’—suatu penekanan hiperbolik terhadap intensitas siksaan. Sifat api neraka tidak sama dengan api duniawi; ia adalah api yang tidak mematikan tetapi selalu menghanguskan dan menyiksa tanpa akhir.

Peran Ummu Jamil: Siksaan yang Sesuai dengan Kejahatan

Tafsir Al-Baghawi menjelaskan lebih jauh tentang ‘ḥammālatal ḥaṭab’ sebagai gambaran siksaan yang benar-benar sesuai dengan kejahatannya. Jika di dunia ia mengumpulkan kayu bakar fitnah untuk memanaskan permusuhan, di neraka ia akan dipaksa memikul kayu bakar yang sesungguhnya (atau benda menyerupai kayu bakar yang menyiksa) dan tali masad yang kasar, yang terbuat dari bahan paling rendah dan menjijikkan, akan menggantikan perhiasan mahalnya. Tali masad yang melilit lehernya juga sering ditafsirkan sebagai rantai besi yang menyeretnya di Neraka, sebagaimana rantai tersebut digunakan untuk menyeret beban di dunia.

Penghinaan ini bersifat total: fisik, sosial, dan spiritual. Kekuatan dan kekayaan suaminya gagal menyelamatkannya, dan status sosialnya sebagai wanita terhormat Quraisy dinistakan di akhirat.

V. Relevansi dan Pelajaran Abadi dari Surat Tabbat

Meskipun Surah Tabbat secara spesifik membahas dua individu di masa lalu, pesannya universal dan abadi. Ia mengajarkan beberapa prinsip fundamental dalam akidah dan etika Islam.

1. Keabadian Kebenaran Ilahi

Surah ini menegaskan kebenaran mutlak ajaran Rasulullah ﷺ. Musuh yang paling dekat dalam silsilah keluarga, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi penentang terbesar. Kehancuran yang dijanjikan Surah Tabbat berfungsi sebagai peringatan bahwa pertalian darah tidak memiliki nilai di hadapan kebenaran. Yang dihitung hanyalah keimanan dan ketakwaan.

2. Bahaya Sombong dan Fitnah

Dosa utama Abu Lahab adalah kesombongan dan penolakan kebenaran. Dosa Ummu Jamil adalah penyebaran fitnah (namimah) dan hasutan. Surah ini memberikan pelajaran keras tentang bahaya dua dosa tersebut. Fitnah, yang digambarkan sebagai "pembawa kayu bakar," adalah perbuatan yang paling merusak masyarakat dan spiritualitas seseorang, dan ganjarannya adalah api neraka.

Di era modern, di mana fitnah dan berita bohong dapat menyebar dengan kecepatan kilat melalui media sosial, analogi ‘pembawa kayu bakar’ menjadi semakin relevan. Setiap orang yang menyebarkan kebohongan atau hasutan untuk memicu konflik adalah pewaris sifat Ummu Jamil, dan peringatan dalam surah ini berlaku juga bagi mereka.

3. Hakikat Kekuatan Sejati

Surah Tabbat meruntuhkan ilusi bahwa kekayaan, kekuasaan, atau status sosial dapat memberikan perlindungan abadi. Kedua hal ini dinyatakan tidak berdaya (mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab) di hadapan ketetapan Allah. Kekuatan sejati terletak pada hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, bukan pada akumulasi harta duniawi.

Pelajaran ini sangat vital bagi umat manusia di setiap zaman: fokus pada amal saleh dan keimanan, karena pada akhirnya, hanya itu yang akan menyertai kita ke akhirat.

4. Kepastian Janji dan Ancaman Allah

Surah Tabbat adalah jaminan bahwa janji dan ancaman Allah adalah nyata. Jika kehancuran total Abu Lahab yang diramalkan telah terpenuhi dalam sejarah, maka janji surga bagi yang beriman dan ancaman neraka bagi yang ingkar juga pasti akan terwujud. Ini memotivasi mukmin untuk memperkuat akidah dan menjauhi perbuatan yang dapat mengantar mereka ke nasib yang sama.

Keunikan Surah Tabbat terletak pada sifatnya yang sangat personal, namun memiliki resonansi universal. Ia adalah sebuah monumen permanen yang didirikan oleh wahyu ilahi, memperingatkan setiap penentang kebenaran bahwa hasil akhir dari permusuhan mereka adalah kehancuran yang telah ditetapkan dan tidak terhindarkan.

VI. Pengulangan Inti Makna dan Penguatan Pesan

Untuk memastikan pesan Surah Tabbat tertanam kuat dan mendalam, penting untuk mengulang dan memperkuat inti dari tiga konsep kuncinya: Tabab, Lahab, dan Masad.

A. Penguatan Makna Tabbat (Kehancuran Total)

Konsep Tabbat tidak hanya berbicara tentang kegagalan di masa depan, tetapi juga keadaan spiritual yang sudah hancur. Ketika Al-Qur'an menyatakan "Tabbat yada Abi Lahabin," ini adalah vonis yang dijatuhkan di dunia, yang menegaskan bahwa seluruh keberadaan Abu Lahab telah kehilangan arti dan arah yang benar. Meskipun ia hidup, ia secara spiritual telah mati. Kehancuran yang dimaksud Allah ini bersifat multidimensi:

Setiap tindakan permusuhan yang ia lakukan, setiap kata yang ia ucapkan untuk mencela Islam, semua itu hanya menambah beban kegagalannya sendiri, mempertebal lapisan kehancuran yang telah ditakdirkan oleh pilihannya sendiri. Tabbat adalah peringatan bahwa permusuhan terhadap Islam adalah investasi yang buruk, yang hanya menghasilkan kerugian abadi.

B. Penguatan Makna Lahab (Api dan Takdir)

Nama Abu Lahab, ‘Ayah Api,’ menjadi sentral dalam narasi ini. Kesejajaran antara namanya dan nasibnya di ‘Nāran dhāta Lahab’ (Api yang bergejolak) adalah puncak retorika Al-Qur’an. Ini adalah konfirmasi bahwa manusia tidak dapat lari dari takdir yang ia pilih melalui perbuatannya. Jika seseorang menyukai api (permusuhan, kemarahan, dan fitnah), ia akan mendapatkan lebih banyak api. Api di sini adalah simbol dari murka ilahi yang tak terpadamkan.

Lebih jauh, Lahab adalah penunjuk spesifik. Neraka memiliki banyak tingkat dan jenis siksaan. Penyebutan Nāran dhāta Lahab menyiratkan siksaan khusus yang cocok dengan kejahatan Abu Lahab, yaitu penentangan terang-terangan dan keengganannya untuk bertobat, meskipun dia memiliki garis keturunan yang dekat dengan pembawa pesan. Api ini membakar bukan hanya daging, tetapi juga simbol kekayaannya, membuktikan bahwa materi tidak memiliki kuasa di akhirat.

C. Penguatan Makna Masad (Simbol Penghinaan)

Masad (tali sabut) adalah detail yang sangat kuat yang menekankan penghinaan yang akan diterima oleh Ummu Jamil. Ia adalah wanita terhormat yang memanggul fitnah. Balasannya adalah dipaksa memanggul beban yang tidak terhormat di neraka. Dalam tafsir yang sangat luas, Masad juga melambangkan sifat kekerasan dan ketidaknyamanan. Itu adalah bahan yang kasar, murah, dan menyakitkan. Ini adalah kontras yang ekstrem dengan perhiasan mewah yang ia kenakan di dunia, menekankan bahwa kemewahan duniawi akan diganti dengan penderitaan dan kehinaan abadi.

Rantai dari Masad yang melilit lehernya adalah simbol dari keterikatan abadi pada konsekuensi dosa-dosanya. Ia tidak akan bebas. Siksaan Ummu Jamil memberikan pelajaran penting: partisipasi aktif dalam permusuhan terhadap kebenaran, bahkan melalui lisan atau tindakan kecil seperti menyebar fitnah, memiliki konsekuensi yang sama mengerikannya dengan permusuhan fisik yang dilakukan oleh suaminya.

VII. Kesimpulan Totalitas Pesan

Surah Tabbat, meskipun ringkas dalam jumlah ayat, adalah sebuah babak dalam drama kosmik antara kebenaran dan kekafiran. Surah ini adalah salah satu manifestasi paling nyata dari keadilan ilahi. Ia diturunkan pada saat genting ketika Rasulullah ﷺ membutuhkan dukungan moral terbesar. Surah ini memberikan kepastian bahwa meskipun musuh-musuh Islam, dipimpin oleh kerabat terdekat, berusaha memadamkan cahaya kebenaran, mereka sendirilah yang akan dibinasakan oleh api yang mereka nyalakan.

Melalui analisis terperinci dari setiap kata—dari Tabbat (kehancuran upaya), Māluhū wa Mā Kasab (kesia-siaan harta dan anak), Lahab (api takdir), hingga Masad (rantai kehinaan)—kita melihat bahwa Al-Qur’an tidak hanya menyampaikan ancaman, tetapi juga menjabarkan mekanisme balasan yang adil, di mana siksaan akhirat secara sempurna mencerminkan kejahatan yang dilakukan di dunia.

Pesan akhir Surah Tabbat bersifat tegas dan abadi: bagi mereka yang secara arogan dan gigih menolak kebenaran setelah ia diumumkan dengan jelas, tidak ada harta, status, atau hubungan duniawi yang akan memberikan perlindungan dari ketetapan Allah yang maha adil. Kehancuran telah ditetapkan bagi mereka yang memilih jalan permusuhan abadi.

Setiap Muslim yang merenungkan Surah ini diajak untuk melihat keajaiban nubuatnya dan mengambil pelajaran spiritual: bahwa yang terpenting adalah ketaatan kepada Allah dan menjauhi sifat-sifat buruk Abu Lahab dan Ummu Jamil—yaitu kesombongan, penolakan, dan penyebaran fitnah.

VIII. Sudut Pandang Hukum (Fiqh) dan Hikmah

Dari Surah Tabbat, para ulama fiqh dan ushul fiqh mengambil beberapa pelajaran penting yang melampaui sekadar kisah sejarah. Salah satunya adalah mengenai konsep ‘Ta’yidun Nubuwwah’ (Penegasan Kenabian) dan hubungan antara kekafiran yang terang-terangan dengan hukum sosial.

Penegasan Hukuman Bagi Musuh Nyata

Surah ini, dengan menyebut nama, menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, menyebut musuh secara spesifik dalam konteks wahyu adalah sah dan diperlukan untuk menetapkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Ini memberikan legitimasi teologis terhadap pengucilan (tabarru’) dari musuh-musuh Allah yang paling keras, bahkan jika mereka adalah kerabat dekat. Tindakan Abu Lahab adalah lebih dari sekadar ketidakpercayaan; itu adalah permusuhan yang diwujudkan dalam tindakan publik yang menyakitkan. Oleh karena itu, hukumannya juga harus diumumkan secara publik dan eksplisit.

Konsep Perhiasan dan Tali Masad

Penghinaan yang diterima Ummu Jamil melalui tali Masad memiliki implikasi terhadap pandangan Islam tentang keterikatan berlebihan pada dunia. Perhiasan dan kemewahan (yang diwakili oleh lehernya) menjadi alat siksaan di akhirat. Ulama tafsir melihat ini sebagai peringatan bahwa wanita, khususnya yang memiliki kekayaan, harus berhati-hati agar perhiasan mereka tidak menjadi simbol kesombongan yang mengalihkan mereka dari kewajiban spiritual. Kontras antara kalung emas dunia dengan tali sabut kasar neraka adalah metafora yang kuat tentang kesia-siaan dunia.

Peran Pasangan dalam Keimanan

Surah ini menggambarkan Abu Lahab dan istrinya sebagai pasangan dalam kekafiran (kufur). Mereka saling mendukung dalam permusuhan mereka. Ini mengajarkan bahwa pasangan hidup memiliki peran krusial dalam menentukan nasib spiritual seseorang. Jika suami dan istri bersekutu dalam kejahatan, mereka akan berbagi hukuman. Sebaliknya, di banyak kisah Al-Qur’an lainnya, pasangan yang saleh akan saling membantu menuju surga.

IX. Kajian Mendalam Tentang Makna ‘Yadā’ dan Kekuasaan

Kembali ke ayat pertama: Tabbat yadā Abī Lahabīw wa tabb. Fokus pada ‘tangan’ (yadā) tidak boleh dipandang remeh. Tangan dalam konteks sastra dan hukum Arab memiliki dimensi yang sangat luas. Ini bukan hanya tentang memegang benda atau melempar batu; ia melambangkan kuasa eksekutif dan finansial.

Dalam hukum Quraisy, tangan adalah simbol sumpah dan perjanjian. Ketika Abu Lahab mengutuk Nabi, dia menggunakan kekuatan verbal dan sosial yang dimilikinya. Dengan mengutuk kedua tangannya, Allah secara efektif menyatakan bahwa perjanjian, sumpah, dan kekuasaan finansial yang digunakan Abu Lahab untuk melawan Islam telah dinistakan dan dihancurkan oleh sumber kekuatan yang lebih tinggi. Ini adalah deklarasi kedaulatan Tuhan atas setiap kekuasaan duniawi.

Lebih dari itu, yadā juga sering digunakan untuk merujuk pada pemberian. Abu Lahab menahan diri dari memberikan bantuan apa pun kepada Nabi dan kaum Muslimin yang tengah menderita, dan bahkan menggunakan tangannya untuk menyakiti. Karena ia menolak untuk memberikan dukungan dan kemurahan hati, tangannya dikutuk untuk binasa, menyiratkan bahwa ia akan kehilangan segala kemampuan untuk menolong dirinya sendiri di hari akhirat.

X. Analogi Kontemporer untuk Masad dan Lahab

Surah Tabbat tetap relevan karena karakter yang digambarkannya selalu ada di setiap era. Meskipun Abu Lahab telah tiada, sifat Abu Lahab dan Ummu Jamil terus berulang.

Abu Lahab Modern: Kesombongan Materi

Abu Lahab modern adalah siapa pun yang menggunakan kekayaan, platform media, atau jabatan tinggi mereka untuk menindas kebenaran dan mengejek agama. Mereka yang percaya bahwa uang mereka dapat membeli kekebalan dari hukum moral atau ilahi adalah pewaris spiritual Abu Lahab. Ayat ‘Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab’ berfungsi sebagai pengingat bagi para tiran dan oligarki kontemporer: segala investasi yang dibangun atas penindasan dan penolakan kebenaran akan runtuh dan tidak memiliki nilai di hari akhirat. Kekuatan mereka hanyalah ilusi yang fana.

Ummu Jamil Modern: Toxic Positivity dan Slander

Ummu Jamil modern adalah mereka yang menggunakan pengaruh sosial atau komunikasi untuk menyebarkan fitnah (kayu bakar) dan memanaskan api kebencian di masyarakat. Dalam konteks digital, ini adalah para penyebar hoax, troll yang destruktif, dan mereka yang menggunakan keindahan atau status sosial mereka untuk membenarkan tindakan merusak. Mereka mungkin tampak glamor di luar (kebalikan dari tali Masad), tetapi di dalamnya mereka membawa bahan bakar bagi konflik sosial.

Hukuman Masad adalah hukuman bagi mereka yang menggunakan lidah dan jaringan sosial untuk menghancurkan orang lain. Tali yang kasar, menyakitkan, dan memalukan adalah balasan yang adil bagi fitnah yang menyakitkan. Hal ini memberikan bobot etis yang luar biasa pada tanggung jawab kita dalam berbicara dan berbagi informasi.

XI. Tafsir Profetik Mengenai Kematian Abu Lahab

Kematian Abu Lahab sendiri merupakan pelengkap tragis dan nyata dari nubuat Surah Tabbat. Setelah kekalahan Quraisy di Badar, di mana putranya, Utbah bin Abi Lahab, ditawan dan kemudian dibebaskan, Abu Lahab jatuh sakit dengan penyakit menular mematikan yang disebut al-’Adasa atau al-Quba’ (sejenis wabah atau bisul yang sangat parah). Wabah ini, yang dianggap sangat menjijikkan dan menular, menyebabkan masyarakat Quraisy (yang sangat menghargai kebersihan) menjauhinya. Bahkan anak-anaknya takut untuk mendekati jenazahnya.

Akhirnya, setelah jenazahnya ditinggalkan selama beberapa hari, anak-anaknya menggali kubur dangkal, mendorong tubuhnya ke dalamnya dengan tongkat panjang, dan melempar batu dari jauh untuk menutupinya, demi menghindari kontak dengan penyakit itu. Kematian yang hina, tanpa upacara, terasing, dan dijauhi ini adalah manifestasi sempurna dari ‘kehancuran’ (tabab) yang dijanjikan dalam ayat pertama. Hartanya tidak berguna untuk mengobatinya, dan anak-anaknya (mā kasab) tidak mau mendekatinya untuk menghormati atau menguburkannya secara layak. Kehidupan duniawinya berakhir dengan cara yang sejalan seratus persen dengan ramalan Al-Qur’an.

XII. Penutup: Pengulangan Mutlak dan Keabadian Surat Tabbat

Surat Tabbat adalah deklarasi abadi. Setiap unsur di dalamnya—nama, julukan, pasangan, tindakan, dan balasan—berfungsi sebagai sistem peringatan yang terintegrasi. Ia mengajarkan tentang keadilan Allah yang merespons permusuhan ekstrem dengan ketetapan hukuman yang setara, detail, dan mutlak. Kita belajar bahwa kekafiran tidak hanya merusak hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga merusak setiap aspek kehidupan duniawi (harta, keluarga, status) hingga akhirnya mencapai kehancuran abadi.

Marilah kita renungkan Surah Al-Masad ini bukan hanya sebagai sejarah, tetapi sebagai cermin. Cermin di mana kita dapat melihat potensi kehancuran jika kita meniru sifat-sifat Abu Lahab dan Ummu Jamil: menggunakan karunia dan kekayaan untuk menentang kebenaran, menyebarkan hasutan, dan menganggap diri kebal dari keadilan ilahi. Tabbat yadā adalah seruan yang menantang kita semua untuk memastikan bahwa tangan dan usaha kita adalah untuk membangun, bukan untuk menghancurkan; untuk mendukung kebenaran, bukan untuk menyulut api fitnah. Sebab, janji kehancuran itu nyata, dan janji keselamatan bagi yang beriman pun demikian adanya.

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melindungi kita dari sifat-sifat yang merugi, dan menjadikan upaya kita sebagai usaha yang diridhai, bukan usaha yang berakhir dengan tabāb.

🏠 Homepage