Gambar ilustrasi semangat perjuangan dan ketenangan.
Surah Al-Baqarah, ayat 216 hingga 230, merupakan bagian penting dari Al-Qur'an yang memuat berbagai ajaran mendasar bagi umat Islam. Rangkaian ayat ini membahas dua tema utama yang sangat krusial: perintah jihad di jalan Allah dan berbagai aturan serta hikmah terkait pernikahan. Memahami kedua aspek ini memberikan gambaran utuh tentang keseimbangan antara kewajiban spiritual, perjuangan fisik, dan pembentukan keluarga yang harmonis dalam Islam.
"Telah diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini membuka pembahasan mengenai jihad. Penting untuk dipahami bahwa jihad dalam konteks ini bukan sekadar peperangan fisik, melainkan juga perjuangan menegakkan kebenaran, melawan hawa nafsu, dan menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang damai dan bijaksana. Allah menetapkan kewajiban ini dengan menyadari bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menghindari kesulitan dan mencari kesenangan. Namun, Allah mengajarkan bahwa apa yang tampak sulit bagi manusia bisa jadi merupakan kebaikan terbesar, dan sebaliknya, apa yang disukai bisa saja membawa celaka. Ayat ini menekankan pentingnya tawakal dan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk hikmah di balik setiap ketetapan-Nya.
Selanjutnya, ayat 217 membahas tentang perang di bulan haram, menjelaskan bahwa meskipun dilarang memerangi di bulan-bulan suci, namun jika musuh memulai peperangan, maka umat Islam diperbolehkan membalasnya. Ayat ini juga mengingatkan tentang bahaya fitnah dan kekafiran yang lebih besar daripada membunuh. Ayat 218 dan 219 berbicara tentang hak orang yang hijrah dan berjihad, serta bagaimana menggunakan harta rampasan perang (ghanimah) yang halal. Ayat 220 dan 221 lebih lanjut mengingatkan agar dalam setiap tindakan, termasuk perang dan membelanjakan harta, senantiasa berorientasi pada kemaslahatan umat dan meraih keridaan Allah, serta menjauhi kesesatan.
"Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, 'Haid adalah suatu kotoran (gangguan).' Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (istri) dalam masa haid; janganlah kamu mendekati mereka, sampai mereka suci (telah berhenti haid). Apabila mereka telah suci (mandi wajib), campurilah mereka sebagaimana Allah telah memerintahkan kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyukai orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)
Memasuki ranah pernikahan, ayat 222 memberikan panduan mengenai haid. Allah menjelaskan bahwa haid adalah kondisi alami yang membuat wanita dalam keadaan tidak suci, sehingga suami dilarang melakukan hubungan badan dengan istri yang sedang haid. Namun, ayat ini juga mengandung pesan harapan dan kesucian, yaitu bahwa setelah masa haid selesai dan wanita tersebut bersuci, maka hubungan suami istri dapat dilanjutkan sesuai tuntunan Allah. Ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan lahir dan batin dalam rumah tangga. Sementara itu, ayat 223 memberikan penegasan lebih lanjut bahwa istri adalah ladang (tempat bercocok tanam) bagi suami, dan suami bebas bercampur dengan istrinya kapan saja dan bagaimana pun caranya asalkan dilakukan dengan cara yang diridai Allah.
Ayat 224 melarang umat Islam bersumpah dengan nama Allah untuk tidak berjima' (hubungan badan) dengan istri. Ini adalah larangan yang tegas agar tidak terjadi penyalahgunaan sumpah dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Ayat 225 hingga 228 membahas secara rinci mengenai talak (perceraian), masa idah (masa tunggu bagi wanita setelah bercerai atau ditinggal mati suami), dan aturan-aturan terkaitnya. Ayat-ayat ini menunjukkan perhatian Islam terhadap perlindungan hak-hak semua pihak, baik suami, istri, maupun anak-anak, dalam proses perceraian, serta memberikan kesempatan untuk rujuk kembali selama masa idah belum habis, kecuali dalam kasus talak tiga.
Ayat 229 menjelaskan tentang talak dua kali. Setelah talak dua kali, suami memiliki pilihan untuk menahan istrinya dengan cara yang baik atau menceraikannya dengan baik pula. Jika suami menceraikan untuk ketiga kalinya, maka wanita tersebut tidak halal lagi bagi suaminya sampai ia dinikahi oleh pria lain dan kemudian bercerai atau ditinggal mati suaminya. Ayat 230 menegaskan bahwa jika suami telah mentalak tiga istrinya, maka wanita tersebut tidak halal lagi dinikahi oleh mantan suaminya kecuali setelah ia menikah dengan pria lain dan terjadi perpisahan (baik karena kematian atau talak) serta telah selesai masa idahnya. Ayat ini juga menekankan pentingnya berpisah dengan cara yang makruf (baik).
Secara keseluruhan, rangkaian ayat Al-Baqarah 216-230 mengajarkan umat Islam untuk senantiasa memiliki kesiapan berjuang di jalan Allah dengan segala konsekuensinya, sambil tetap menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan tuntunan syariat. Kesabaran, kebijaksanaan, kehati-hatian, dan niat yang tulus untuk mencari keridaan Allah adalah kunci dalam menghadapi berbagai ujian dan menjalankan ibadah, baik dalam konteks perjuangan maupun dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.