Representasi visual Gua Ashabul Kahfi dan Cahaya Ilmu Ilahi.
Surah Al-Kahfi memuat tiga kisah utama yang sarat dengan pelajaran mendalam, salah satunya adalah kisah heroik para pemuda yang dikenal sebagai Ashabul Kahfi (Penghuni Gua). Mereka adalah sekelompok pemuda beriman yang melarikan diri dari tirani penguasa zalim demi mempertahankan tauhid mereka. Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah, tetapi juga landasan teologis tentang keajaiban, kebangkitan, dan yang paling fundamental, kepasrahan total kepada ilmu Allah SWT.
Ayat ke-22 dari surah mulia ini menempati posisi krusial karena ia secara eksplisit membahas polemik yang timbul di kalangan manusia—baik pada masa kenabian Muhammad SAW maupun setelahnya—mengenai rincian spesifik kisah tersebut. Fokus utama ayat ini adalah jumlah pasti pemuda tersebut, sebuah detail yang di mata manusia mungkin penting, namun di mata Ilahi, fungsinya hanyalah sebagai ujian keimanan dan penanda batasan akal manusia.
Diskusi mengenai Al Kahfi 22 mengajak kita menyelami tafsir para ulama besar, menimbang perbedaan pendapat, dan yang terpenting, mengambil pelajaran tauhid yang hakiki: bahwa pengetahuan mutlak hanyalah milik Sang Pencipta semesta alam. Ayat ini mengajarkan kerendahan hati intelektual (tawadhu' ilmiyah) di hadapan keluasan ilmu-Nya.
Ayat yang menjadi inti pembahasan kita adalah sebagai berikut, yang mencerminkan tiga pandangan berbeda tentang jumlah Ashabul Kahfi, diikuti dengan penetapan otoritas pengetahuan mutlak:
Mereka (orang-orang yang berselisih) akan mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya." Dan (yang lain) mengatakan, "Lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan, "Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit." Karena itu, janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja, dan jangan engkau menanyakan tentang hal mereka (kepada ahli kitab) seorang pun.
Ayat ini berfungsi sebagai respons ilahi terhadap perdebatan yang terjadi di antara orang-orang (terutama Ahli Kitab) mengenai rincian kisah Ashabul Kahfi. Allah SWT menyajikan tiga pandangan yang umum beredar, dan kemudian memberikan panduan definitif tentang bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap hal-hal gaib seperti ini.
Ayat ini secara jelas mencantumkan tiga pendapat berbeda mengenai jumlah pemuda yang tertidur di dalam gua: tiga, lima, dan tujuh. Uniknya, Al-Qur'an menyertakan anjing mereka dalam hitungan tersebut, menunjukkan betapa pentingnya keberadaan hewan setia itu dalam narasi keseluruhan. Anjing ini, dalam banyak tafsir, dianggap sebagai simbol kesetiaan yang luar biasa, bahkan statusnya diabadikan bersama para wali Allah.
Ketika menyebutkan dua pendapat pertama (tiga dan lima), Allah SWT menambahkan frasa "رَجْمًا بِالْغَيْبِ" (rajman bil ghaib), yang berarti "terkaan terhadap yang gaib" atau "lemparan tanpa dasar." Ini adalah kritik keras terhadap upaya manusia untuk menebak-nebak hal yang berada di luar jangkauan indra dan ilmu mereka. Frasa ini menegaskan bahwa dua pandangan pertama (tiga dan lima) adalah spekulasi murni, tanpa landasan kuat yang valid, baik dari wahyu maupun saksi mata yang tepercaya.
Sebaliknya, ketika menyebutkan pandangan ketiga ("Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya"), frasa "رَجْمًا بِالْغَيْبِ" dihilangkan. Mayoritas mufassir, termasuk Ibnu Abbas dan Qatadah, berpendapat bahwa penghilangan frasa kritik tersebut mengindikasikan bahwa pandangan ketujuh inilah yang paling mendekati kebenaran, atau setidaknya, pendapat yang paling layak dipertimbangkan, meskipun pengetahuan mutlak tetap milik Allah. Meskipun demikian, tujuan utama ayat ini bukanlah untuk mengkonfirmasi angka tersebut, melainkan untuk mengalihkan fokus dari angka menuju sumber ilmu yang sesungguhnya.
Para ulama tafsir menghabiskan banyak tinta untuk membahas signifikansi penghilangan kritik pada pandangan ketujuh. Ada yang berpendapat, seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa memang jumlah mereka adalah tujuh. Namun, esensi teologisnya adalah bahwa meskipun ada petunjuk linguistik, kepastian absolut tidak pernah diberikan kepada kita, karena yang dikehendaki Allah adalah penyerahan penuh kepada otoritas-Nya.
Inilah puncak dari ayat Al Kahfi 22, titik di mana Al-Qur'an memotong semua perdebatan spekulatif dan menetapkan prinsip tauhid ilmu. Perintah "Katakanlah (Muhammad), 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka'" adalah penegasan bahwa masalah jumlah adalah murni perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Frasa ini adalah fondasi kerendahan hati para intelektual Muslim.
Pengetahuan tentang jumlah, durasi tidur, atau rincian spesifik lainnya dari kisah-kisah gaib Al-Qur'an bukanlah syarat sah keimanan. Yang dituntut adalah keimanan terhadap narasi inti—pelarian demi tauhid, perlindungan ilahi, dan keajaiban kebangkitan. Mencari tahu angka pastinya adalah menyibukkan diri dengan detail yang tidak membawa manfaat praktis dalam ibadah atau akidah.
Pernyataan ini bukan hanya jawaban untuk pertanyaan spesifik mengenai Ashabul Kahfi, tetapi juga merupakan kaidah umum dalam ajaran Islam: ketika kita menghadapi hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas dalam Al-Qur'an atau Sunnah sahih, sikap terbaik adalah mengembalikannya kepada Allah. Sikap ini menghindarkan umat dari perpecahan yang tidak perlu dan mengarahkan energi spiritual pada amal saleh.
Ayat Al Kahfi 22 melanjutkan dengan pernyataan, "Tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit." Siapakah yang dimaksud dengan "sedikit" (qalīlun) ini? Para mufassir memiliki dua penafsiran utama:
Namun, dalam konteks modern, penafsiran yang paling kuat adalah bahwa "sedikit" merujuk pada orang-orang yang diberikan petunjuk ilahi, yang mana jumlah mereka sangatlah kecil dibandingkan mayoritas yang hanya bisa menebak. Pernyataan ini menegaskan bahwa ilmu autentik tentang hal gaib hanya diberikan kepada orang-orang pilihan, yang menunjukkan betapa terbatasnya akses manusia terhadap kebenaran mutlak.
Bagian akhir dari Al Kahfi 22 memuat dua larangan penting bagi Nabi Muhammad SAW (dan oleh karena itu, bagi umatnya):
Larangan Pertama: Perdebatan yang Berlebihan. Allah berfirman, "Karena itu, janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja." Kata tumari (berbantah) di sini merujuk pada perdebatan yang mendalam, keras, dan bertujuan untuk mencari pembenaran atas dasar spekulasi. Perdebatan jenis ini cenderung menjauhkan dari inti kisah dan menciptakan permusuhan yang tidak bermanfaat.
Pengecualian, "perbantahan lahir saja" (mira’an zhahiran), diinterpretasikan oleh ulama sebagai perdebatan yang bertujuan untuk menyampaikan apa yang telah diwahyukan oleh Al-Qur'an tanpa menyibukkan diri dengan rincian yang tidak disebutkan. Ini adalah perdebatan yang lembut, berdasarkan fakta wahyu, dan bertujuan untuk menyampaikan kebenaran, bukan untuk memaksakan pengetahuan yang belum pasti.
Larangan Kedua: Meminta Fatwa kepada Ahli Kitab. "Dan jangan engkau menanyakan tentang hal mereka (kepada ahli kitab) seorang pun." Larangan ini adalah pemutusan total dari ketergantungan pada sumber-sumber non-wahyu, khususnya Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang pada masa itu sering kali menjadi sumber informasi historis, namun informasi mereka telah bercampur dengan distorsi dan spekulasi.
Ayat ini berfungsi sebagai deklarasi kedaulatan informasi Islam. Al-Qur'an telah menyediakan narasi yang cukup, dan mencari rincian yang lebih dalam dari sumber luar hanya akan menambah keraguan dan kebingungan. Ini adalah pelajaran fundamental bahwa Al-Qur'an adalah sumber ilmu yang paling otentik dan paripurna, terutama dalam masalah gaib.
Larangan untuk menanyakan rincian kepada Ahli Kitab, yang pada dasarnya sering kali merupakan sumber dari pandangan tiga, lima, dan tujuh, menunjukkan bahwa perdebatan ini sejak awal dibangun di atas dasar yang lemah. Allah ingin umat Muslim fokus pada hikmah dan pelajaran tauhid, bukan pada data historis yang tidak esensial.
Kisah Al Kahfi 22 adalah salah satu ayat paling penting dalam Al-Qur'an yang mengajarkan adab terhadap ilmu gaib (adab al-ghaib). Tiga prinsip tauhid yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan harus diterapkan pada setiap aspek akidah dan ilmu pengetahuan seorang Muslim:
Pernyataan "Qul Rabbī A'lamu Bi'iddatihim" adalah pengakuan bahwa meskipun akal manusia mampu menganalisis, mengumpulkan data, dan berspekulasi (seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang menebak tiga atau lima), akal tetap memiliki batasan yang tidak dapat dilampaui. Rincian gaib, seperti jumlah pasti Ashabul Kahfi, dimensi alam barzakh, atau hakikat ruh, adalah di luar domain akal murni.
Ketika akal mencoba menerobos batasan ini tanpa petunjuk wahyu, ia hanya akan menghasilkan rajman bil ghaib (terkaan tanpa dasar). Ini bukan hanya kritik terhadap Ahli Kitab, tetapi juga peringatan bagi umat Islam agar tidak terlalu asyik dalam filsafat spekulatif yang tidak didukung oleh dalil yang kuat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditetapkan oleh wahyu, sementara spekulasi tentang gaib adalah pemborosan waktu dan energi.
Kesadaran akan batasan akal ini menumbuhkan tawadhu' (kerendahan hati). Seorang mukmin yang sejati, ketika dihadapkan pada misteri, tidak akan memaksakan jawabannya sendiri, melainkan akan berkata, "Allah lebih tahu." Inilah puncak etika ilmiah dalam Islam.
Mengapa Allah SWT tidak secara eksplisit menyebutkan jumlah mereka, padahal Dia mampu? Para mufassir kontemporer menjelaskan bahwa Allah ingin mengalihkan perhatian umat dari fokus pada detail yang tidak substantif menuju inti ajaran. Nilai sebuah kisah terletak pada pesan moral dan tauhidnya, bukan pada angka-angka atau nama-nama yang tidak disebutkan.
Jika jumlah mereka adalah tiga, lima, atau tujuh, inti kisah tetap sama: keimanan mereka diuji, mereka tertidur, dan mereka dibangkitkan. Perbedaan angka tersebut tidak mengubah pelajaran tentang kebangkitan (al-ba'ts) atau keimanan pada takdir. Oleh karena itu, perdebatan yang disinggung di Al Kahfi 22 dianggap sepele oleh Al-Qur'an, sebuah indikasi bahwa kita harus memprioritaskan ajaran yang memiliki dampak praktis terhadap iman dan amal.
Fokus yang berlebihan pada detail yang tidak perlu adalah jebakan yang dapat menjauhkan kita dari merenungkan makna hakiki. Ayat ini mengajarkan selektivitas dalam mencari ilmu: carilah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah, dan tinggalkan perdebatan tentang hal-hal yang tidak diwajibkan untuk diketahui.
Larangan untuk meminta fatwa kepada Ahli Kitab tentang Ashabul Kahfi memperkuat prinsip kedaulatan wahyu. Sebelum turunnya wahyu yang lengkap, Ahli Kitab mungkin memiliki klaim atas beberapa kisah sejarah nabi terdahulu. Namun, dengan turunnya Al-Qur'an, umat Islam memiliki sumber ilmu yang paling murni dan terperinci.
Jika Al-Qur'an memilih untuk tidak mengkonfirmasi sebuah detail, itu berarti detail tersebut tidak penting bagi umat. Mencari detail tersebut di sumber lain (yang rentan terhadap perubahan dan kesalahan) adalah menyalahi ajaran Al-Qur'an itu sendiri. Ayat Al Kahfi 22 menegaskan bahwa jika Al-Qur'an diam, kita harus diam; jika Al-Qur'an berbicara, kita harus mematuhinya.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa yang digunakan, terutama yang berkaitan dengan mekanisme perselisihan dan penyelesaiannya:
Secara harfiah, rajm berarti melempar atau merajam. Dalam konteks ilmu, ini berarti melemparkan dugaan atau spekulasi tanpa dasar yang kuat. Ketika digunakan untuk menggambarkan dua pendapat pertama (tiga dan lima), ini menunjukkan bahwa pandangan-pandangan tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang terverifikasi, melainkan hanya tebakan yang dilemparkan ke dalam kegelapan ketidaktahuan.
Penggunaan istilah ini dalam Al Kahfi 22 memberikan pelajaran metodologis: kita harus membedakan secara tajam antara ilmu yang didasarkan pada wahyu (ilmu naqli) atau bukti empiris (ilmu aqli) dengan spekulasi liar. Ilmu yang tidak terverifikasi tentang hal gaib adalah bahaya bagi akidah.
Ayat ini menggunakan kata tumari (dari akar kata mira’) untuk perdebatan, bukan jidal, meskipun keduanya berarti debat. Mira’ sering kali menyiratkan perdebatan yang mengandung keraguan dan berusaha untuk menimbulkan keraguan, atau perdebatan yang sia-sia dan membuang-buang waktu. Larangan ber-mira’ kecuali yang zhahiran (lahir/jelas) menunjukkan bahwa debat diizinkan hanya sebatas menyampaikan fakta yang jelas dan tidak perlu masuk ke dalam detail spekulatif yang tidak relevan.
Perdebatan yang diperbolehkan adalah yang membawa manfaat, yang didasarkan pada teks suci Al-Qur'an, dan yang tidak melibatkan upaya paksa untuk menggali rincian yang telah disembunyikan oleh Allah. Ini adalah adab seorang mukmin ketika berinteraksi dengan misteri ilahi.
Meskipun kita kembali kepada prinsip "Allah lebih tahu," penempatan pandangan tujuh orang (dengan anjingnya menjadi kedelapan) di bagian akhir tanpa label rajman bil ghaib telah memicu diskusi panjang. Beberapa ulama mengaitkan ini dengan keistimewaan angka tujuh dalam Islam (seperti tujuh putaran thawaf, tujuh lapis langit, dll.), yang mungkin menjadi petunjuk halus. Namun, perlu ditekankan bahwa petunjuk ini tidak pernah mencapai tingkat kepastian absolut (qat’i), tetapi hanya dugaan kuat (dhanni).
Sekali lagi, jika Allah ingin kita tahu pasti, Dia akan mengatakannya. Kenyataan bahwa Al-Qur'an menyajikan tiga opsi, memberikan kritik pada dua, dan kemudian menutupnya dengan pernyataan "Tuhanku lebih mengetahui," adalah penekanan abadi bahwa penyerahan diri (Islam) melibatkan penyerahan ilmu yang tak terjangkau oleh akal kita.
Penting untuk terus-menerus menekankan mengapa penyerahan ilmu (tafwidh al-ilmi) dalam konteks Al Kahfi 22 menjadi pelajaran yang sangat substansial. Ini bukan sekadar tentang jumlah pemuda, tetapi tentang cara seorang Muslim berinteraksi dengan setiap aspek ketidaktahuan.
Perselisihan tentang rincian kecil sering kali menjadi sumber perpecahan besar di kalangan umat. Jika umat sibuk berdebat apakah jumlah mereka tiga atau tujuh, energi yang seharusnya digunakan untuk memahami pesan moral dan mengaplikasikannya dalam kehidupan menjadi sia-sia. Allah ingin umat Muslim bersatu di atas pondasi wahyu yang jelas, dan meninggalkan hal-hal yang dapat memicu perpecahan spekulatif.
Ayat ini mengajarkan prioritas: yang utama adalah tauhid dan amal saleh. Perdebatan yang dilarang adalah perdebatan yang mengeras, yang didasarkan pada ego dan upaya memaksakan pengetahuan, alih-alih pada pencarian kebenaran yang tulus. Sikap “Qul Rabbī A'lamu” adalah penawar bagi kesombongan intelektual.
Keimanan pada hal gaib adalah pilar utama Islam. Kisah Ashabul Kahfi sendiri adalah peristiwa gaib, sebuah keajaiban yang melampaui hukum alam. Dengan membiarkan beberapa detail tersembunyi, Allah menguji seberapa kuat keimanan kita pada apa yang tidak kita lihat dan tidak kita ketahui secara pasti.
Ayat Al Kahfi 22 memposisikan Allah sebagai satu-satunya sumber otoritas ilmu. Jika kita menerima apa yang Dia wahyukan (inti kisah) dan menangguhkan penilaian kita pada apa yang Dia rahasiakan (jumlah pasti), maka akidah gaib kita menjadi kokoh. Kita tidak beriman hanya karena kita memahami semua rincian logistik, melainkan karena kita percaya pada kekuasaan Mutlak Sang Pencipta.
Bagi para ulama dan pelajar, Al Kahfi 22 adalah petunjuk etika. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang diakui keterbatasannya. Seorang alim (orang berilmu) harus berani berkata, "Saya tidak tahu," atau "Allah lebih tahu," ketika dihadapkan pada pertanyaan yang tidak ada jawabannya dalam sumber primer. Ini adalah tanda kedewasaan spiritual dan keilmuan.
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menegaskan bahwa perdebatan tentang jumlah mereka hanyalah upaya sia-sia, dan orang yang paling benar adalah mereka yang menangguhkan semua perdebatan tersebut dan menyerahkan pengetahuan kepada Allah. Penyerahan diri ini adalah cerminan dari kemurnian tauhid. Setiap kali muncul spekulasi, responsnya haruslah: “Rabbī A'lamu Bi'iddatihim.”
Ayat 22 ini tidak berdiri sendiri; ia adalah respons terhadap tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW dari orang-orang Quraisy yang disokong oleh Ahli Kitab. Tujuan utama pertanyaan mereka tentang Ashabul Kahfi dan durasi tidurnya (disebutkan di ayat 25) adalah untuk menguji kenabian Muhammad. Dengan memberikan jawaban yang tidak pasti mengenai jumlah, tetapi pasti mengenai sumber ilmu, Al-Qur'an menunjukkan bahwa pengetahuan Nabi berasal dari sumber Ilahi, bukan dari riwayat manusia.
Keindahan dari Al Kahfi 22 terletak pada cara ia mengubah sebuah pertanyaan ujian menjadi pelajaran tauhid. Pertanyaan tentang angka adalah jebakan; jawaban Ilahi mengarahkan kembali fokus pada otoritas Allah.
Konsep penangguhan pengetahuan (tafwidh) adalah filosofi utama dalam akidah. Dalam konteks Al Kahfi 22, penangguhan berarti mengakui secara eksplisit bahwa meskipun kita dapat memahami struktur bahasa Arab, konteks historis, dan implikasi moral dari sebuah ayat, kita tidak memiliki akses terhadap dimensi gaib yang dikecualikan oleh Allah SWT.
Ayat ini mengajarkan bahwa ada tiga tingkatan ilmu:
Kegagalan memahami batasan ini menyebabkan tasyaddud (ekstremisme) dan spekulasi teologis yang tidak sehat. Ayat Al Kahfi 22 berfungsi sebagai filter intelektual, menyaring obsesi terhadap hal-hal yang tidak penting. Seorang muslim yang bijak menyalurkan keingintahuannya ke ranah yang dapat dijangkau dan bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat, dan menyerahkan sisanya kepada Rabbul Alamin.
Sebuah detail yang sering diabaikan adalah penyebutan anjing mereka (kalbuhum) di setiap spekulasi jumlah. Anjing tersebut berfungsi sebagai penggenap hitungan. Ini mengajarkan bahwa bahkan makhluk yang secara syariat dianggap najis pun, jika memiliki kesetiaan luar biasa dalam membela keimanan, dapat memiliki tempat istimewa di sisi Allah, bahkan diabadikan dalam Al-Qur'an bersama para wali-Nya.
Penyebutan anjing ini menggarisbawahi keadilan Allah dan betapa menyeluruhnya ilmu-Nya. Allah tidak hanya tahu jumlah pemuda, tetapi Dia juga mengakui dan mencatat peran serta anjing yang menjaga mereka di ambang gua. Detail ini semakin menegaskan bahwa jika Allah mengetahui hal sekecil itu, mengapa kita harus membuang waktu memperdebatkan jumlah pemuda, padahal inti pelajaran sudah jelas?
Anjing tersebut, dalam narasi Al Kahfi 22, menjadi simbol bahwa hidayah Allah dapat mengenai siapa saja dan apa saja, bahkan seekor hewan yang melindungi orang-orang saleh. Keberadaannya dalam hitungan spekulatif menunjukkan bahwa ia adalah bagian tak terpisahkan dari mukjizat tersebut.
Jika seseorang mengabaikan nasihat yang terkandung dalam Al Kahfi 22, ia berisiko jatuh dalam beberapa kesalahan fundamental:
Oleh karena itu, ayat ini adalah benteng pertahanan bagi akidah, menjauhkan umat dari spekulasi yang tidak berguna dan mengembalikan fokus pada apa yang benar-benar esensial dalam pengamalan agama.
Setiap perdebatan yang muncul mengenai masalah yang tidak ditetapkan secara jelas oleh Al-Qur'an, baik itu mengenai rincian sejarah, batas-batas dimensi gaib, atau hal-hal lainnya, harus disikapi dengan pedoman tunggal dari Al Kahfi 22: "Qul Rabbī A'lamu Bi'iddatihim" (Katakanlah: Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka).
Pelaksanaan ajaran ini menuntut disiplin diri dan kejujuran ilmiah yang tinggi, mengakui bahwa puncak ilmu adalah pengakuan akan kebodohan di hadapan keluasan Ilmu Allah. Disiplin ini menciptakan komunitas yang damai, fokus pada amal, dan terhindar dari perdebatan yang memecah belah.
Semakin dalam kita merenungkan hikmah di balik ayat Al Kahfi 22, semakin jelas bahwa nilai kisah Ashabul Kahfi tidak terletak pada rincian sensasionalnya, melainkan pada pelajaran keimanan dan kepatuhan mutlak kepada wahyu. Kegigihan untuk mengetahui jumlah yang tepat adalah kegigihan yang bertentangan dengan maksud Ilahi. Maksud Ilahi adalah agar kita belajar tawadhu' dan menyerahkan segala urusan gaib kepada Yang Maha Mengetahui.
Penyebutan tiga opsi yang berbeda secara berurutan, dengan kritik yang disematkan pada dua opsi pertama, dan kemudian diakhiri dengan otoritas tunggal Allah, adalah sebuah strategi retorika yang luar biasa cerdas dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui semua spekulasi yang ada di benak manusia, namun Dia memilih untuk menolak validitas spekulasi tersebut, kecuali jika didukung oleh ilmu yang pasti dari-Nya.
Jika kita kembali meninjau ulang frasa "mira’an zhahiran" (perbantahan lahir saja), kita mengerti bahwa Allah memberikan ruang untuk diskusi yang terbuka dan jujur berdasarkan apa yang sudah jelas. Namun, diskusi tidak boleh berubah menjadi pertengkaran yang bersifat obsesif terhadap detail gaib yang tidak diungkapkan. Inilah batasan yang ditarik oleh Al-Qur'an bagi para pencari ilmu.
Filosofi yang diajarkan oleh Al Kahfi 22 adalah prinsip keseimbangan yang sempurna antara keingintahuan intelektual dan kepasrahan spiritual. Kita didorong untuk merenungkan dan mencari ilmu, namun pada titik tertentu, ketika pintu ilmu tertutup oleh tirai gaib, kita harus berlutut dalam tawadhu' dan berkata, "Allah lebih tahu." Sikap ini menyelamatkan akidah dari bahaya spekulasi teologis yang liar dan tidak berdasar, yang sering kali menjadi sumber perpecahan antar mazhab dan golongan dalam sejarah Islam.
Kepastian tentang ketiadaan kepastian (mengenai jumlah) adalah kepastian yang lebih berharga. Ini adalah pembebasan dari beban harus mengetahui segala sesuatu, dan penegasan bahwa kita hanyalah hamba yang terbatas di hadapan Ilmu Rabb semesta alam. Oleh karena itu, hikmah Al Kahfi 22 akan relevan sepanjang masa, selama masih ada manusia yang cenderung berspekulasi tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui. Ayat ini adalah seruan abadi menuju kerendahan hati dan kepasrahan total.
Perenungan mendalam terhadap ayat ini memandu kita untuk menggunakan akal kita secara maksimal dalam memahami tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah) di alam semesta, tetapi juga mendidik kita untuk berhenti di batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat. Batas ini, dalam konteks kisah Ashabul Kahfi, adalah masalah jumlah mereka dan anjingnya. Fokus kita harus selalu kembali kepada inti pelajaran moral dan tauhid: bahwasanya pertolongan Allah itu nyata, dan kebangkitan adalah sebuah keniscayaan.
Tingkat kedalaman ilmu yang diwakili oleh Al Kahfi 22 menuntut setiap individu muslim untuk menjadi pemikir yang kritis namun tunduk. Kritis dalam membedakan antara ilmu yang sahih dan spekulasi, dan tunduk dalam mengakui kedaulatan Allah atas semua pengetahuan yang tersembunyi. Inilah warisan terbesar yang ditinggalkan oleh ayat yang agung ini bagi seluruh umat manusia.
Ketika kita menghadapi pertanyaan yang sulit, yang memecah belah, dan yang tidak memiliki jawaban yang jelas dalam wahyu, maka Al Kahfi 22 menjadi panduan metodologis. Kita tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun mencari bukti definitif untuk hal yang tidak penting. Cukup dengan menukilkan apa yang jelas dari Al-Qur'an dan mengakhirinya dengan kepasrahan yang total. Ini adalah ajaran tentang efisiensi spiritual dan intelektual.
Kesimpulannya, Al Kahfi 22 bukanlah ayat yang hanya memberikan informasi; ia adalah ayat yang membentuk karakter. Ia mengajarkan kita untuk menjadi individu yang mutawadhi’ (rendah hati) di hadapan ilmu Allah, yang mudawwam (berpegang teguh) pada wahyu, dan yang mu’addib (beretika) dalam berdebat. Inilah esensi dari tauhid yang diajarkan melalui sebuah perdebatan kecil tentang angka dalam kisah agung.
Seluruh umat Islam, dari masa ke masa, dianjurkan untuk menjadikan Surah Al-Kahfi sebagai pegangan, dan secara khusus, ayat 22 ini sebagai kaidah emas dalam menghadapi setiap misteri dan setiap perdebatan yang mengancam keutuhan dan fokus spiritual mereka. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk dalam golongan yang menyerahkan ilmu gaib kepada-Nya.
Lagi dan lagi, penekanan harus diberikan pada pentingnya kalimat "Qul Rabbī A'lamu Bi'iddatihim". Frasa ini adalah perisai. Perisai yang melindungi akidah dari racun keraguan dan kesombongan. Tanpa perisai ini, seorang mukmin akan rentan terhadap godaan untuk menjadi seperti Ahli Kitab yang berspekulasi dan berdebat tanpa dasar ilmu yang kuat, bahkan setelah Nabi Muhammad SAW datang membawa wahyu yang paripurna. Kedatangan Al-Qur'an adalah penutup bagi semua spekulasi yang tidak perlu.
Kita dapat merenungkan bahwa jika Allah tidak ingin kita tahu jumlah mereka, itu pasti karena ada hikmah yang lebih besar. Hikmah itu mungkin adalah ujian kepatuhan kita, atau mungkin agar kita memahami bahwa fokus harusnya pada kualitas iman, bukan kuantitas jumlah. Sebuah kelompok kecil yang teguh beriman (seperti Ashabul Kahfi) lebih mulia di sisi Allah daripada mayoritas yang goyah. Angka tidaklah relevan; yang relevan adalah keteguhan hati (tsabat) mereka.
Setiap tafsir, setiap analisis linguistik, setiap penelusuran historis, pada akhirnya harus tunduk pada hukum tertinggi Al Kahfi 22: pengetahuan mutlak adalah hak prerogatif Allah. Tugas kita bukanlah memecahkan misteri yang tidak diwajibkan, melainkan menjalankan perintah yang telah diwahyukan, dan meneladani keteguhan iman para pemuda di dalam gua tersebut.
Dengan demikian, Al-Qur'an tidak hanya mengakhiri perdebatan tentang jumlah Ashabul Kahfi, tetapi juga menetapkan prinsip teologis yang melarang perdebatan yang sia-sia dan mengarahkan umat menuju inti ibadah dan keimanan. Inilah keajaiban dari susunan kata-kata Ilahi.
Surah Al-Kahfi ayat 22 adalah sebuah monumen bagi kerendahan hati intelektual. Ayat ini mengajarkan bahwa ilmu yang paling berharga adalah ilmu yang mengenal batasnya sendiri. Dalam menghadapi misteri, respons yang paling sempurna dan paling Islami adalah mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah SWT.
Kisah Ashabul Kahfi, dengan semua rincian yang diungkapkan dan dirahasiakan, berdiri sebagai pengingat abadi akan kekuasaan Allah yang melampaui logika manusia, dan sekaligus sebagai panduan praktis tentang bagaimana umat harus berinteraksi dengan hal-hal yang bersifat gaib. Mari kita ambil pelajaran dari Al Kahfi 22, membebaskan diri dari perdebatan yang tidak substansial, dan berfokus pada penguatan iman kita, sambil selalu mengingat bahwa Rabb kita adalah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.