Surah Al-Kahfi menempati posisi yang sangat istimewa dalam khazanah keilmuan Islam, dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal, serta kumpulan dari empat kisah besar yang penuh hikmah: Ashabul Kahfi, kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidr, dan kisah Dzulqarnain. Surah ini secara fundamental membahas berbagai bentuk fitnah (cobaan) yang dihadapi manusia di dunia: fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan.
Di tengah rangkaian narasi yang mengandung bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah yang mutlak, terselip sebuah ayat penting yang berfungsi sebagai komentar universal terhadap fitrah psikologis manusia, yaitu Surah Al-Kahfi Ayat 54. Ayat ini menjelaskan mengapa manusia sering kali gagal mengambil pelajaran dari bukti-bukti tersebut dan jatuh ke dalam kesesatan atau perselisihan yang tiada akhir.
Ayat 54 ini merupakan titik balik, sebuah refleksi Ilahi terhadap respon umat manusia setelah disajikan dengan segala bentuk perumpamaan dan bukti nyata (hujjah) dalam Al-Qur'an. Ini adalah pernyataan yang tajam tentang kecenderungan bawaan manusia yang seringkali lebih memilih perdebatan daripada penerimaan kebenaran.
Frasa awal, "wa laqad sharrafna fi hadzal Qur’an lin-nasi min kulli matsalin," berarti Allah telah membolak-balikkan atau menjelaskan secara rinci dan berulang-ulang di dalam Al-Qur'an ini dari segala macam perumpamaan. Kata Tashrif (membolak-balikkan) mengandung makna bahwa penjelasan tersebut tidak disampaikan dalam satu cara saja, melainkan diubah-ubah sudut pandangnya, disajikan dalam berbagai format (kisah, perintah, larangan, perumpamaan) agar sesuai dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Tujuannya adalah menghilangkan segala alasan bagi manusia untuk mengatakan bahwa mereka tidak mengerti atau tidak mendapatkan bukti yang memadai.
Ini menunjukkan betapa paripurnanya metode dakwah dan pendidikan yang digunakan oleh Al-Qur'an. Allah SWT telah memberikan segala yang diperlukan: bukti logis, contoh sejarah, peringatan, dan janji, namun respons dari mayoritas manusia seringkali mengecewakan.
Puncak dari ayat ini terletak pada kalimat penutup: "wa kānal-insānu akṡara syai'in jadalā," yang diterjemahkan sebagai, "Namun, manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." Kata kunci di sini adalah Jadal (جدل).
Secara bahasa, Jadal (perdebatan atau bantahan) berasal dari akar kata yang memiliki makna melilitkan, memilin, atau menguatkan tali. Dalam konteks verbal, ini berarti argumen yang kuat, yang dijalin sedemikian rupa untuk mengalahkan lawan atau mempertahankan pandangan. Dalam konteks Al-Qur'an, Jadal tidak selalu negatif, namun dalam konteks ayat 54 ini, dan penekanan pada "aktsara syai'in" (paling banyak), nuansanya cenderung negatif.
Penyebutan manusia sebagai "aktsara syai'in jadalan" (paling banyak membantah dari segala sesuatu) adalah sebuah kritik mendalam terhadap penyalahgunaan akal dan kebebasan berkehendak yang dianugerahkan Allah. Jika dibandingkan dengan makhluk lain, seperti malaikat yang patuh tanpa membantah, atau hewan yang bertindak berdasarkan insting, manusia memiliki kemampuan unik untuk menerima bukti logis namun menggunakan kemampuan logikanya justru untuk menolak bukti tersebut.
Sifat membantah ini seringkali dimotivasi oleh:
Gambar 1: Ilustrasi Sifat Jadal, Pertemuan Argumen yang Keras
Ayat 54 tidak muncul tiba-tiba. Ia datang setelah Allah mengisahkan perumpamaan tentang pemilik dua kebun (ayat 32-44). Kisah tersebut adalah contoh klasik bagaimana manusia, ketika diberi kekayaan dan nikmat, menggunakan akalnya untuk menyombongkan diri dan membantah kebenaran hari Kiamat, bukannya bersyukur. Ketika temannya mengingatkannya, ia berdebat dan menolak bukti nyata di hadapannya. Ayat 54 kemudian menyimpulkan: inilah sifat dasar manusia; mereka telah diperingatkan melalui kisah ini dan kisah lainnya, namun mereka tetap memilih membantah.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang komprehensif, kita perlu melihat bagaimana para mufassir besar menafsirkan keutamaan manusia dalam membantah ini dan apa implikasinya bagi eksistensi manusia.
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa Allah memberikan akal kepada manusia sebagai alat untuk memahami kebenaran (hujjah). Namun, sifat Jadal menunjukkan bahwa manusia sering menggunakan kekuatan akal yang sama untuk menghasilkan keraguan (syubhat) dan merangkai argumen yang canggih untuk mempertahankan kesalahan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah akal.
Kecenderungan membantah ini menjadi bukti dari kelemahan internal manusia: ia tahu kebenaran tetapi tidak mampu atau tidak mau mengikutinya karena terhalang oleh kepentingan pribadi atau hawa nafsu. Perdebatan yang berlebihan menjadi tirai yang menutupi mata hati dari cahaya petunjuk.
Sifat membantah yang paling fundamental dalam sejarah kosmik adalah perdebatan Iblis dengan Allah ketika diperintahkan sujud kepada Adam. Iblis menggunakan logika perbandingan yang cacat (tanah vs. api) untuk membantah perintah yang jelas (QS. Al-A'raf: 12). Sifat ini—menggunakan logika untuk menolak wahyu—menjadi warisan buruk yang ditularkan kepada manusia yang sombong. Ayat 54 secara implisit mengingatkan bahwa ketika manusia berdebat melawan kebenaran yang jelas, mereka mengadopsi karakteristik Iblis.
Ayat lain dalam Al-Qur'an (seperti QS. Ghafir: 56) menyebutkan bahwa orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah hanya didorong oleh kesombongan yang tidak akan pernah mencapai tujuannya. Artinya, perdebatan yang dimaksud dalam Al-Kahfi 54 adalah perdebatan yang:
Al-Kahfi membahas fitnah ilmu melalui kisah Nabi Musa dan Khidr. Musa, sebagai nabi yang berilmu, menunjukkan sifat yang secara manusiawi ingin tahu dan ingin menantang tindakan Khidr. Meskipun tujuannya mulia (mencari ilmu), interaksi ini mengajarkan bahwa bahkan dalam pencarian ilmu, diperlukan kerendahan hati mutlak. Jika seorang Nabi pun harus menahan diri dari membantah (bertanya berulang kali) tindakan yang ia belum pahami, apalagi manusia biasa ketika dihadapkan pada wahyu Ilahi yang kebenarannya pasti.
Ayat 54 berfungsi sebagai peringatan: Jangan biarkan kekuatan akal dan kemampuan berdebat Anda menghalangi Anda untuk tunduk pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mutlak.
Sifat *jadal* yang dikritik oleh Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada perdebatan teologis besar, tetapi termanifestasi dalam banyak aspek kehidupan modern dan kontemporer.
Di era digital, kita melihat manifestasi paling ekstrem dari sifat ini. Media sosial telah menjadi arena perdebatan yang tak berkesudahan (*aktsara syai'in jadalan*). Orang-orang, meskipun dihadapkan pada data, fakta, dan informasi yang diverifikasi, seringkali lebih memilih untuk mempertahankan sudut pandang mereka sendiri. Ini sering kali didorong oleh ego yang terikat pada identitas online.
Kecepatan informasi dan anonimitas memperburuk kondisi ini, mengubah perdebatan yang seharusnya konstruktif menjadi pertengkaran yang merusak, di mana tujuan utamanya adalah mempermalukan lawan (ghalaba) daripada mencari kebenaran (haqq).
Dalam konteks yang lebih luas, sifat membantah ini terlihat dalam penolakan terhadap prinsip-prinsip moral universal yang selaras dengan fitrah manusia dan ajaran wahyu. Ketika kemudahan dan kesenangan duniawi dijadikan standar, manusia akan menggunakan kekuatan nalar dan retorika mereka untuk membenarkan tindakan yang secara eksplisit dilarang oleh wahyu. Ini adalah puncak dari 'jadal' yang destruktif, di mana manusia berani menantang batasan yang ditetapkan oleh Penciptanya.
Dalam ranah politik, *jadal* yang berlebihan menghambat kemajuan. Jika para pihak hanya berfokus pada memenangkan argumen (bukan menyelesaikan masalah), masyarakat akan terjebak dalam lingkaran perselisihan yang sia-sia. Hal ini relevan dengan peringatan dalam kisah Dzulqarnain, di mana ia mampu membangun solusi karena rakyatnya mau mendengarkan dan bekerja sama, bukan membantah.
Karena ayat 54 menyoroti kelemahan universal ini, maka hikmahnya adalah bagaimana manusia dapat mengendalikan dan mengarahkan kekuatan argumennya ke arah yang positif, atau bagaimana cara menghentikan perdebatan yang sia-sia.
Obat utama untuk sifat membantah yang didorong oleh kesombongan adalah tawadhu' (kerendahan hati). Jika seseorang menyadari bahwa ilmunya terbatas dan bahwa semua kebenaran pada akhirnya datang dari Allah, maka ia akan lebih mudah mengakui kesalahan atau menerima argumen yang lebih baik. Dalam perdebatan, kerendahan hati berarti siap mengatakan, "Saya tidak tahu," atau "Saya mungkin salah."
Perdebatan yang baik harus diubah tujuannya dari "menang" menjadi "mencari kebenaran." Ulama-ulama terdahulu mengajarkan bahwa ketika Anda berdebat dengan seseorang, Anda harus berharap kebenaran muncul, baik melalui lidah Anda maupun lidah lawan Anda. Ini menghilangkan unsur ego dan hawa nafsu dari proses diskusi.
Ayat 54 dimulai dengan menyebutkan bahwa Allah telah menyajikan "bermacam-macam perumpamaan." Ketika kita merasa terjebak dalam perdebatan tanpa akhir, solusinya adalah kembali merenungi dan memahami perumpamaan dalam Al-Qur'an. Kisah-kisah Al-Kahfi adalah cermin yang menyajikan hasil akhir dari berbagai perilaku manusia; dengan merenungkannya, kita tidak perlu membantah, karena hasilnya sudah jelas ditunjukkan.
Dalam banyak situasi, obat terbaik untuk *jadal* yang merusak adalah diam. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Ketika perdebatan sudah melenceng dari pencarian kebenaran menuju pertengkaran ego, menghentikannya adalah tindakan yang lebih bijaksana dan lebih disukai di sisi Allah.
Gambar 2: Mencari Hikmah Melalui Perenungan
Untuk memahami kedalaman 5000 kata dalam konteks ayat ini, kita harus melihat *jadal* sebagai konflik abadi antara kepatuhan (taslim) terhadap wahyu dan pemberontakan nalar yang dikuasai ego. Allah telah mendirikan pondasi hukum dan moralitas yang sempurna. Setiap kali manusia memilih membantah, ia mencoba untuk menempatkan akal parsialnya di atas akal universal Ilahi.
Sifat jadal erat kaitannya dengan konsep Nafs al-Ammarah bis-Su’ (jiwa yang cenderung memerintahkan kejahatan). Jiwa yang sombong ini tidak ingin tunduk, bahkan ketika dihadapkan pada kebenaran yang membebaskan. Oleh karena itu, *jadal* yang negatif adalah salah satu gejala utama dari jiwa yang sakit. Proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) adalah proses menghilangkan kebutuhan untuk selalu benar dan menggantinya dengan keinginan untuk selalu berada di pihak kebenaran.
Seorang Muslim yang berjuang melawan sifat *jadal* yang buruk berarti ia sedang berjuang melawan godaan untuk membela keegoannya. Ini adalah jihad internal yang esensial, sebagaimana diindikasikan oleh Nabi Musa dalam kisahnya di mana ia harus belajar menahan diri dari interogasi yang berlebihan.
Mengapa Allah menekankan bahwa Dia telah menjelaskan "bermacam-macam perumpamaan" (min kulli matsalin)? Perumpamaan (matsal) berfungsi sebagai jembatan antara yang abstrak dan yang konkret. Mereka dirancang untuk menembus hati, bukan hanya logika.
Secara sosiologis, komunitas yang didominasi oleh semangat *jadal* yang negatif akan menjadi komunitas yang terpecah-belah (furqah). Persatuan (ittihad) hanya dapat terwujud jika ada kesediaan dasar untuk tunduk pada prinsip-prinsip yang telah disepakati atau yang diwahyukan. Jika setiap individu merasa perlu membantah setiap poin dan menolak otoritas kebenaran, maka tatanan sosial dan spiritual akan runtuh. Ayat 54 adalah peringatan untuk menjaga kohesi umat dari bahaya perselisihan intelektual yang merusak.
Ayat 54 tidak dimaksudkan untuk melarang diskusi atau penelitian ilmiah; sebaliknya, ia menetapkan batasan etika. Diskusi yang produktif memerlukan disiplin, etika, dan landasan niat yang benar.
Para ulama telah merumuskan Adab Al-Jadal yang ketat, yang jika dilanggar, perdebatan akan jatuh ke dalam kategori yang dicela oleh Ayat 54:
Bantahan manusia sering kali diarahkan tidak hanya kepada wahyu tetapi juga kepada sunnatullah, yaitu hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah. Misalnya, ketika manusia berdebat tentang konsekuensi dari kerusakan lingkungan atau keadilan sosial, meskipun tanda-tanda (ayat) kehancuran sudah jelas. Ayat 54 mencakup jenis perdebatan ini, di mana manusia membantah bukti empiris dan logis yang sudah terpampang nyata, karena takut akan konsekuensi moral atau perubahan perilaku yang dituntut oleh bukti tersebut.
Surah Al-Kahfi Ayat 54 adalah sebuah diagnosis abadi tentang kelemahan mendasar dalam diri manusia. Allah telah menyajikan seluruh spektrum perumpamaan—dari kisah masa lalu, keajaiban penciptaan, hingga pedoman hukum—untuk memandu manusia menuju kebenaran. Namun, anugerah akal dan lidah yang diberikan, alih-alih digunakan untuk bersyukur dan memahami, seringkali malah disalahgunakan untuk melancarkan perdebatan yang tiada akhir, yang dipicu oleh kesombongan dan keengganan untuk tunduk.
Peringatan dalam ayat ini mengajak setiap individu untuk melakukan introspeksi mendalam: Apakah energi intelektual dan kemampuan verbal kita diarahkan untuk mencari bukti kebenaran, atau sekadar memenangkan pertempuran ego? Jalan keluar dari jeratan *jadal* yang merusak adalah melalui kerendahan hati, penerimaan terhadap batasan ilmu kita, dan pengakuan mutlak terhadap otoritas wahyu Ilahi. Hanya dengan demikian, manusia dapat lepas dari gelar 'makhluk yang paling banyak membantah' dan mencapai derajat keimanan yang sejati.
Refleksi atas ayat ini menjadi sangat relevan di zaman ini, di mana banjir informasi memicu konflik argumentatif yang tak henti. Kesadaran bahwa kita secara kodrati cenderung membantah adalah langkah pertama untuk mengendalikan kecenderungan tersebut dan mengarahkan hati kita pada penerimaan terhadap petunjuk yang telah dijelaskan berulang kali oleh Al-Qur'an.