Penyingkapan Misteri Al-Kahfi Ayat 9: Kisah Abadi Ashabul Kahfi

Pintu Gua Tempat Persembunyian
Ilustrasi gua, tempat perlindungan dan titik awal keajaiban Ilahi.

Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat istimewa, sering kali dibaca pada hari Jumat sebagai perlindungan dari berbagai fitnah, khususnya fitnah terbesar di akhir zaman, yaitu Dajjal. Struktur surah ini dibangun di atas empat kisah utama yang melambangkan empat jenis ujian: ujian keimanan (Ashabul Kahfi), ujian harta (pemilik dua kebun), ujian ilmu (Musa dan Khidr), dan ujian kekuasaan (Dzulqarnain).

Di antara empat pilar kisah tersebut, narasi Ashabul Kahfi—para Pemuda Penghuni Gua—menjadi pembuka yang menarik perhatian. Kisah ini mengajarkan tentang pengorbanan, peneguhan tauhid, dan keajaiban kekuasaan Allah yang melampaui logika duniawi. Titik sentral dari perkenalan kisah ini, yang menimbulkan rasa takjub dan kekaguman, terangkum dalam ayat kesembilan.

Latar Belakang dan Konteks Wahyu Al-Kahfi Ayat 9

Pewahyuan Surah Al-Kahfi datang pada periode Makkah, saat Rasulullah ﷺ dan para sahabat menghadapi tekanan dan penganiayaan yang luar biasa. Kisah-kisah di dalamnya diturunkan sebagai jawaban atas tantangan yang diajukan oleh kaum musyrikin Quraisy, yang bersekongkol dengan cendekiawan Yahudi dari Madinah. Mereka mengajukan tiga pertanyaan yang dianggap mustahil dijawab oleh seorang nabi yang tidak memiliki pendidikan formal: Siapakah Ashabul Kahfi, siapakah Dzulqarnain, dan apakah hakikat roh?

Ayat 9 muncul setelah pengantar surah yang menekankan pujian kepada Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an, yang lurus, sebagai peringatan keras bagi orang-orang kafir dan kabar gembira bagi orang-orang mukmin (Ayat 1-8). Setelah menggambarkan keindahan dan keabadian pahala bagi orang beriman, Al-Qur'an kemudian langsung menyajikan kisah tersebut, seolah-olah mengatakan, "Lihatlah keajaiban yang telah Kami tunjukkan di masa lalu."

Analisis Lafaz dan Terjemah Al-Kahfi Ayat 9

Ayat 9 secara harfiah berbunyi, dan penafsirannya membawa kita pada pemahaman mendalam tentang keagungan kisah ini:

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
Terjemah Kementerian Agama RI: "Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya Ashabul Kahfi dan Ar-Raqīm itu, mereka termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?"

Pemahaman terhadap ayat ini sangat bergantung pada dua komponen kunci: Ashabul Kahfi dan Ar-Raqīm. Pertanyaan retoris yang diajukan di awal ayat, "Am hasibta..." (Apakah engkau mengira?), berfungsi untuk menepis anggapan bahwa peristiwa ini adalah sesuatu yang istimewa luar biasa dibandingkan dengan kekuasaan Allah yang lain.

Allah seolah-olah berkata kepada Rasul-Nya dan umat manusia, "Apakah kalian berpikir bahwa tidur panjang Ashabul Kahfi selama ratusan tahun itu adalah satu-satunya keajaiban yang Kami miliki? Sesungguhnya, seluruh alam semesta, penciptaan langit, bumi, dan kehidupan itu sendiri adalah keajaiban yang jauh lebih agung." Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang, memastikan bahwa manusia tidak membatasi kekaguman mereka hanya pada kisah ini, tetapi mengakui bahwa setiap ciptaan adalah manifestasi dari kekuasaan-Nya.

Kontroversi Tafsir Ar-Raqīm

Salah satu poin linguistik paling penting dalam Ayat 9 adalah kata Ar-Raqīm (الرَّقِيمِ). Para mufassir memiliki beberapa pendapat signifikan mengenai makna kata ini, yang menunjukkan kedalaman dan keragaman penafsiran Al-Qur'an:

1. Raqīm sebagai Nama Tempat atau Lembah

Beberapa ulama berpendapat bahwa Ar-Raqīm adalah nama lembah, desa, atau bahkan gunung tempat gua itu berada. Dalam konteks ini, penyebutan Ar-Raqīm berfungsi sebagai penjelas geografis untuk membedakan gua tersebut dari gua-gua lainnya.

2. Raqīm sebagai Prasasti atau Papan Tertulis

Ini adalah pendapat yang paling masyhur dan diterima luas. Kata Raqm (رقم) berarti tulisan, ukiran, atau catatan. Ar-Raqīm merujuk pada sebuah prasasti atau papan yang terbuat dari batu atau logam, yang berisi nama-nama para pemuda tersebut, kisah singkat mereka, atau alasan mereka melarikan diri dari raja yang zalim.

Jika Raqīm adalah prasasti, maka ayat tersebut menekankan pentingnya dokumentasi sejarah kisah ini, memastikan bahwa keajaiban iman mereka tidak akan hilang ditelan waktu, melainkan terukir abadi.

3. Raqīm sebagai Nama Anjing (Qitmir)

Sebagian kecil mufassir, meskipun kurang populer, menghubungkan Raqīm dengan nama anjing yang menemani para pemuda, yaitu Qitmir. Namun, secara linguistik, hubungan ini lemah karena kata Raqīm lebih kuat merujuk pada objek tertulis.

Bagaimanapun interpretasinya, penyebutan Ar-Raqīm dalam Ayat 9 menunjukkan bahwa kisah ini tidak hanya tentang "pemuda gua," tetapi juga tentang "sesuatu yang dicatat atau diukir," menandakan bahwa peristiwa ini memiliki makna monumental yang harus diabadikan.

Kekuatan Iman di Balik Gua: Kisah Awal Ashabul Kahfi

Ayat 9 memberikan jembatan dari pengantar surah menuju narasi utama. Untuk memahami mengapa kisah ini dianggap "menakjubkan," kita harus merenungkan konteks sosial dan spiritual para pemuda tersebut.

Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan seorang raja yang kafir dan zalim, yang dikenal sebagai Raja Decius (beberapa riwayat menyebut Diocletian atau lainnya). Raja ini memaksa rakyatnya untuk menyembah berhala dan menindas siapa pun yang berpegang teguh pada tauhid—kepercayaan kepada satu Tuhan.

Keberanian Mengikrarkan Tauhid

Para pemuda ini bukanlah orang biasa. Mereka berasal dari kalangan bangsawan atau pejabat tinggi istana, yang seharusnya menikmati kemewahan dan kekuasaan. Namun, ketika keimanan mereka diuji, mereka memilih untuk meninggalkan segala kenyamanan duniawi. Ayat-ayat berikutnya (Ayat 13-14) menegaskan kualitas spiritual mereka:

"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata, 'Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru tuhan selain Dia. Sesungguhnya jika kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang melampaui batas.'"

Tindakan mereka "berdiri" (قَامُوا) di hadapan raja yang zalim adalah manifestasi keberanian luar biasa. Ini bukan sekadar pengakuan iman di hati, melainkan proklamasi publik yang berisiko tinggi. Di tengah masyarakat yang homogen dalam kekafiran, mereka menjadi suara minoritas yang memperjuangkan kebenaran tunggal.

Keputusan untuk Hijrah Spiritual

Menyadari bahwa lingkungan mereka tidak lagi kondusif untuk mempraktikkan tauhid—bahkan mengancam nyawa dan iman mereka—mereka mengambil keputusan radikal: hijrah. Hijrah ini bukan hanya perpindahan fisik, tetapi perpindahan spiritual; meninggalkan gemerlapnya dunia menuju isolasi demi memurnikan ibadah.

Ayat 10 mencatat doa mereka saat hendak memasuki gua:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Mereka memohon dua hal: rahmat dari sisi Allah (*rahmatan min ladunka*) dan petunjuk yang benar dalam urusan mereka (*rashadan*). Ini menunjukkan tingkat tawakkul (ketergantungan) yang tinggi. Mereka tidak meminta makanan, air, atau perlindungan fisik, melainkan perlindungan spiritual dan bimbingan langsung dari Ilahi.

Keajaiban Ilahi: Tidur dan Manipulasi Waktu

Setelah pengantar dari Ayat 9 dan doa mereka di Ayat 10, Allah SWT mengabulkan permintaan mereka dengan cara yang luar biasa, yakni dengan menidurkan mereka selama 309 tahun. Inilah inti dari keajaiban yang membuat kisah ini "menakjubkan" bagi pendengar pada masa pewahyuan.

Mekanisme Tidur Ajaib (Ayat 11-12)

Ayat-ayat berikutnya menjelaskan detail fisik dari tidur mereka:

  1. Penutupan Pendengaran: Allah menutup pendengaran mereka (ضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ), yang merupakan indra yang paling rentan terhadap gangguan luar. Dengan demikian, suara apa pun di luar gua tidak akan membangunkan mereka.
  2. Posisi Tubuh: Mereka diletakkan dalam posisi tidur yang melindungi tubuh mereka dari kerusakan, sambil dibolak-balikkan oleh Allah dari sisi kanan ke sisi kiri (Ayat 18). Ini adalah mekanisme biologis pencegahan borok (luka baring), menunjukkan perhatian Ilahi terhadap detail terkecil.
  3. Perlindungan Matahari: Ayat 17 menjelaskan bagaimana Allah mengatur pergerakan matahari. Ketika matahari terbit, sinarnya menjauhi gua ke sebelah kanan, dan ketika terbenam, sinarnya meninggalkan mereka ke sebelah kiri. Mereka berada di dalam celah gua (فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ), memastikan suhu tetap stabil dan mereka tidak terpapar panas yang dapat merusak.

Keajaiban ini, yang diawali dengan pertanyaan retoris Ayat 9, berfungsi sebagai bukti nyata kemampuan Allah untuk mengendalikan waktu dan materi demi melindungi hamba-hamba-Nya yang teguh dalam keimanan.

Perbandingan dengan Ayatullah Lain

Mengapa Allah memulai kisah ini dengan pertanyaan retoris: "Apakah kalian mengira ini adalah keajaiban yang paling menakjubkan?" Jawabannya terletak pada tujuan Surah Al-Kahfi secara keseluruhan: membuktikan kekuasaan Allah yang Mahakuasa. Kejadian lain yang lebih menakjubkan meliputi:

Jika Allah mampu menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, menidurkan sekelompok pemuda selama tiga abad adalah hal yang mudah. Pesan utama Ayat 9 adalah untuk menempatkan mukjizat tersebut dalam perspektif yang benar: itu hanyalah salah satu dari banyak tanda kebesaran-Nya, yang tidak boleh membuat manusia takjub hingga melupakan keajaiban eksistensi itu sendiri.

Refleksi Filosofis dan Spiritual dari Ayat 9

Kisah Ashabul Kahfi, yang dibuka oleh Ayat 9, menawarkan pelajaran mendalam yang melampaui narasi historis. Ini adalah cerminan tentang hubungan antara manusia, waktu, dan keimanan.

Gulungan Kitab Suci dan Pengetahuan الْكَهْفِ الرَّقِيمِ عَجَبًا
Visualisasi Ar-Raqīm, prasasti abadi yang mencatat kisah Ashabul Kahfi.

1. Kekuatan Iman yang Mengisolasi

Ashabul Kahfi memilih isolasi fisik untuk mencapai kemurnian spiritual. Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan bahwa ketika lingkungan sosial menjadi terlalu korup, mempertahankan iman mungkin memerlukan langkah drastis: menjauh dari sumber fitnah, baik itu secara fisik maupun spiritual (misalnya, menjauhkan diri dari media atau pergaulan yang merusak). Gua (Kahf) adalah metafora bagi tempat berlindung dari godaan duniawi.

Mereka memahami bahwa lingkungan yang zalim dapat mencemari jiwa. Dengan memasuki gua, mereka melakukan pengorbanan yang ekstrem, menyerahkan kehidupan normal mereka demi menyelamatkan hati mereka. Ayat 9 mengingatkan kita bahwa keputusan ini, meskipun ekstrem, adalah manifestasi dari iman yang teguh, bukan sekadar pelarian.

2. Waktu Sebagai Ujian Ilahi

Tidur selama 309 tahun merupakan dimensi waktu yang luar biasa. Allah menunjukkan bahwa waktu—yang bagi manusia adalah variabel mutlak—sepenuhnya berada di bawah kendali-Nya. Dalam sekejap mata, waktu 309 tahun dilalui. Ketika mereka bangun, mereka hanya merasa tertidur sebentar (sehari atau setengah hari).

Pelajaran waktu ini sangat relevan dengan akhir zaman dan fitnah Dajjal, yang juga akan memanipulasi waktu dan ruang. Dengan menceritakan kisah Ashabul Kahfi, Al-Qur'an mempersiapkan hati mukmin untuk menerima konsep bahwa Allah mampu menangguhkan atau mempercepat realitas temporal. Hal ini memperkuat keyakinan akan Hari Kiamat, di mana ribuan tahun kehidupan dunia terasa seperti sekejap.

3. Konsep Tauhid dan Keputusasaan

Ayat 9 dan konteksnya mengajarkan bahwa dalam keputusasaan yang ekstrem—ketika satu-satunya pilihan adalah mati atau murtad—solusi datang dari dimensi yang tidak terduga. Para pemuda ini tidak memiliki rencana B; mereka hanya memiliki Allah. Mereka meyakini bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta tidak akan membiarkan hamba-Nya yang teguh binasa.

Tidurnya mereka adalah intervensi langsung (Ayaatuna - tanda-tanda Kami) yang luar biasa. Hal ini memperkuat ajaran bahwa pertolongan Allah datang bagi mereka yang tidak menyerah pada tekanan duniawi dan tetap memegang teguh keyakinan, bahkan jika itu berarti harus bersembunyi di balik bebatuan. Mereka memilih Allah di atas kehidupan, dan Allah menghadiahkan mereka dengan kehidupan dan nama abadi.

Kedalaman Linguistik dan Penafsiran Lanjutan

Untuk mencapai pemahaman menyeluruh tentang narasi yang diperkenalkan Ayat 9, kita perlu menggali lebih dalam pada setiap kata kunci yang membangun kisah ini.

Kata Kunci: عَجَبًا (Ajaban - Menakjubkan)

Penggunaan kata *‘Ajaban* (keajaiban/menakjubkan) dalam bentuk pertanyaan retoris ini sangat penting. Dalam bahasa Arab, kata ini menunjukkan sesuatu yang sangat aneh, luar biasa, atau tidak terduga. Dengan menanyakan, "Apakah engkau mengira bahwa kisah ini adalah keajaiban Kami yang paling menakjubkan?" Allah mengubah sudut pandang pendengar.

Ini adalah teknik retorika untuk merendahkan mukjizat tersebut dibandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan. Jika manusia menganggap peristiwa 309 tahun tidur sebagai keajaiban terbesar, bagaimana dengan penciptaan bintang-bintang yang berjarak miliaran tahun cahaya, atau bagaimana dengan misteri roh yang ditanyakan oleh kaum Quraisy? Segala sesuatu adalah tanda kebesaran (Ayaat), dan tidak ada satu pun yang lebih menakjubkan dari yang lain, kecuali dalam pandangan terbatas manusia.

Implikasi Fiqih dan Sunnah

Meskipun Ayat 9 adalah naratif, Surah Al-Kahfi secara keseluruhan memiliki implikasi praktis yang besar dalam sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Anjuran membaca Surah Al-Kahfi setiap Jumat, menurut banyak hadits, adalah untuk melindungi dari empat fitnah besar yang diwakili oleh empat kisah dalam surah:

  1. Ashabul Kahfi (Ayat 9): Melindungi dari fitnah agama (keimanan).
  2. Pemilik Dua Kebun (Ayat 32): Melindungi dari fitnah harta dan kesombongan.
  3. Musa dan Khidr (Ayat 60): Melindungi dari fitnah ilmu dan pengetahuan yang dangkal.
  4. Dzulqarnain (Ayat 83): Melindungi dari fitnah kekuasaan dan jabatan.

Kisah Ashabul Kahfi, sebagai kisah pembuka, menjadi fondasi perlindungan terhadap fitnah agama. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan manusia, betapapun zalimnya (Raja Decius), tidak dapat mengalahkan kehendak Ilahi. Dengan membaca ayat ini, mukmin diingatkan untuk memprioritaskan iman di atas kehidupan, yang merupakan bekal utama menghadapi fitnah Dajjal yang puncaknya adalah godaan untuk menggadaikan akidah demi kenyamanan dunia.

Penutup dan Kekekalan Kisah

Kisah yang dimulai dengan Ayat 9 ini ditutup dengan kebangkitan para pemuda tersebut dan penemuan mereka oleh masyarakat yang sudah beriman (Ayat 20-22). Kebangkitan mereka menjadi bukti nyata bagi masyarakat saat itu—yang sedang berselisih tentang kebangkitan dan Kiamat—bahwa Allah mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematian.

Ashabul Kahfi dan Ar-Raqīm, yang disebutkan dalam Ayat 9, bukan hanya kisah masa lalu; ia adalah pelajaran abadi, sebuah mercusuar yang menuntun umat Islam melewati badai kezaliman dan godaan. Allah menidurkan mereka bukan hanya untuk melindungi mereka, tetapi juga untuk memberikan tanda (Ayat) yang jelas bagi generasi berikutnya bahwa iman sejati, ketika ditegakkan, akan selalu dipertahankan oleh tangan kekuasaan Ilahi, bahkan melalui manipulasi waktu dan ruang.

Renungan kita terhadap Ayat 9 seharusnya memicu bukan hanya kekaguman pada keajaiban tidur 309 tahun, tetapi kekaguman yang lebih besar terhadap Dzat yang mampu melakukan hal itu, Dzat yang sama yang menciptakan setiap detail di alam semesta. Ini adalah undangan untuk melampaui keajaiban spesifik ini dan mengakui bahwa seluruh eksistensi adalah manifestasi menakjubkan dari Kemahakuasaan Allah SWT.

Ekspansi Mendalam Tafsir Ayat 9 dan Konteks Awal Surah

Untuk memahami sepenuhnya dampak dari Al-Kahfi Ayat 9, perlu diperiksa bagaimana ayat ini terkait erat dengan delapan ayat sebelumnya. Surah Al-Kahfi dimulai dengan pujian (حمد) kepada Allah, yang merupakan tema kuat yang berulang dalam seluruh Al-Qur'an. Ayat 1 hingga 8 menyiapkan pembaca untuk menerima narasi luar biasa. Puji-pujian ini menekankan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang lurus (قَيِّمًا), tanpa kebengkokan, berfungsi sebagai peringatan dan kabar gembira.

Hubungan Ayat 9 dengan Ayat 7 dan 8

Ayat 7 dan 8 membahas ujian duniawi: "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering." (Al-Kahfi: 7-8).

Ayat 9 ("Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya Ashabul Kahfi dan Ar-Raqīm itu, mereka termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?") muncul sebagai aplikasi praktis dari ujian yang dijelaskan di Ayat 7 dan 8. Para pemuda gua adalah contoh konkret dari orang-orang yang menolak perhiasan dunia dan memilih perbuatan baik (mempertahankan tauhid), meskipun itu berarti menghadapi tanah yang tandus (gua) dan meninggalkan kenikmatan hidup.

Dengan kata lain, sebelum menceritakan kisah mereka, Allah mengingatkan bahwa kisah ini adalah konsekuensi logis bagi mereka yang lulus ujian perhiasan bumi. Keajaiban tidur mereka adalah hadiah bagi kesetiaan mereka dalam menghadapi ujian tersebut.

Analisis Linguistik Mendalam: Pertanyaan Retoris

Penggunaan kata penghubung أَمْ (Am) yang berarti "apakah" atau "atau" dalam Ayat 9 menunjukkan transisi cepat dari tema umum ke narasi spesifik. Ini adalah pertanyaan yang mengundang kontemplasi. Secara tata bahasa, penggunaan 'Am di sini sering diartikan sebagai *'Am Munqati'ah*, yang menandakan perpindahan topik dan bisa diterjemahkan sebagai "Bahkan" atau "Ataukah."

Jika diterjemahkan sebagai "Ataukah engkau mengira...", ini menunjukkan bahwa peristiwa tidur 309 tahun, betapapun spektakulernya, seharusnya tidak mengalihkan perhatian dari keajaiban Al-Qur'an itu sendiri (yang dibahas di awal surah) atau dari keajaiban penciptaan yang lebih luas.

Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menekankan bahwa tujuan dari pertanyaan ini adalah untuk mengurangi kekaguman yang berlebihan terhadap mukjizat tersebut. Kekaguman harus diarahkan kepada Allah, bukan pada mekanisme mukjizatnya.

Keterangan Rinci Mengenai Ar-Raqīm

Tidak ada kesepakatan mutlak di kalangan mufassir tentang makna Raqīm, dan keragaman ini sendiri adalah sumber kekayaan tafsir. Kita perlu mengeksplorasi setiap sudut pandang secara ekstensif:

1. Raqīm sebagai Kitab Ilahi

Beberapa ulama, seperti Said bin Jubair, menafsirkan Ar-Raqīm sebagai kitab yang mencatat nasib dan nama-nama para pemuda tersebut di sisi Allah, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Dalam konteks ini, penyebutan Raqīm berfungsi untuk menggarisbawahi bahwa kisah mereka telah diatur dan dicatat dalam ketetapan Ilahi (Lauh Mahfuzh).

2. Raqīm sebagai Catatan Sejarah

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Raqīm adalah sebuah lempengan batu yang diletakkan di mulut gua. Namun, perbedaan muncul mengenai kapan lempengan ini diletakkan. Apakah Raja Decius yang meletakkannya setelah para pemuda melarikan diri, ataukah orang-orang beriman yang menemukannya 309 tahun kemudian?

Penyebutan "Ashabul Kahfi dan Ar-Raqīm" menyiratkan bahwa keduanya (gua sebagai tempat berlindung, dan prasasti sebagai bukti keimanan) sama pentingnya dalam narasi keajaiban. Gua melindungi fisik mereka, sementara Raqīm melindungi kisah dan nama mereka dari kelupaan.

Detail Tambahan Kisah: Jumlah Pemuda dan Anjing

Meskipun Ayat 9 hanya memperkenalkan, detail kisah yang diungkapkan ayat-ayat selanjutnya sangat penting untuk menghargai keajaiban yang diperkenalkan Ayat 9.

Perdebatan tentang Jumlah Pemuda

Al-Qur'an sendiri mencatat adanya perbedaan pendapat di antara manusia mengenai jumlah pasti pemuda tersebut, dan kemudian Allah memberikan jawaban yang benar (atau setidaknya jawaban yang menutup perdebatan):

سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم

(Sebagian) akan mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya," dan (sebagian lain) mengatakan, "Lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib. Dan (sebagian lain lagi) mengatakan, "Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah, "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka..." (Al-Kahfi: 22)

Mengapa Allah menyajikan perdebatan ini? Untuk mengajarkan bahwa fokus utama kisah ini bukanlah pada jumlah detail, melainkan pada esensi keimanan dan perlindungan Ilahi. Mencari-cari detail yang tidak diungkapkan dengan jelas adalah sia-sia (*rajman bil-ghaib* - terkaan terhadap yang gaib).

Namun, penyebutan jumlah tujuh dan yang kedelapan anjingnya disajikan tanpa komentar "terkaan terhadap yang gaib," yang oleh sebagian mufassir diyakini sebagai jumlah yang paling mendekati kebenaran, meskipun Allah menutup perdebatan dengan menyatakan bahwa Dia Maha Tahu.

Peran Anjing (Qitmir)

Hewan peliharaan mereka, yang dikenal sebagai Qitmir dalam riwayat, memainkan peran signifikan. Anjing tersebut disebutkan berbaring di ambang pintu gua (Ayat 18). Kehadiran anjing ini menambah dimensi keajaiban. Anjing yang secara umum dianggap najis dalam Islam, di sini diabadikan dalam Al-Qur'an dan masuk surga (menurut beberapa riwayat tafsir), semata-mata karena kesetiaannya menemani para kekasih Allah. Bahkan hewan pun dapat mencapai derajat tinggi melalui asosiasi dengan keimanan.

Implikasi Kekuasaan Allah Atas Tidur dan Kebangkitan

Kisah ini, yang berfokus pada tidur panjang, adalah penegasan luar biasa terhadap konsep Kebangkitan (Kiamat) yang sering dipertanyakan oleh kaum kafir Makkah. Tidur panjang ini disebut oleh Allah sebagai "mematikan" (فَأَمَتْنَاهُمْ - Kami matikan/tidurkan mereka).

Bagi manusia, tidur adalah saudara kembar kematian. Kemampuan Allah untuk menidurkan (atau mematikan) sekelompok manusia, menjaga mereka tetap utuh secara fisik dan biologis selama lebih dari tiga abad, dan kemudian membangunkan mereka kembali tanpa penuaan fisik yang signifikan, adalah demonstrasi langsung dari kemampuan-Nya untuk melaksanakan Kebangkitan Universal.

Ketika para pemuda itu terbangun, mereka bahkan tidak menyadari berapa lama waktu telah berlalu, menggambarkan betapa relatifnya waktu di hadapan kekuasaan Ilahi. Mereka mengira hanya tertidur "sehari atau setengah hari." Ini adalah pengingat bahwa masa penantian di alam kubur pun akan terasa singkat di hadapan keabadian.

Ayat 19: Percobaan Pertama Setelah Kebangkitan

Momen mereka bangun disajikan dalam Ayat 19, yang berisi detail menarik tentang ekonomi mereka:

"Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?’ Mereka menjawab: ‘Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini...’"

Tiga poin penting: 1) Kebingungan waktu, 2) Pengakuan keterbatasan ilmu manusia ("Tuhan kamu lebih mengetahui"), dan 3) Uang perak (wiraq) kuno mereka.

Uang perak yang mereka bawa menjadi bukti kunci bahwa mereka berasal dari era yang telah lama berlalu. Di pasar, uang itu akan segera diketahui sebagai uang kuno dari era Raja Decius yang kejam. Penemuan uang ini oleh penjual makanan adalah titik balik narasi, yang membuka tabir keajaiban 309 tahun kepada dunia luar.

Pelajaran Abadi Tentang Tawakal dan Ikhtiar

Kisah Ashabul Kahfi yang diperkenalkan pada Ayat 9 bukan hanya tentang mukjizat, tetapi tentang pelajaran etika spiritual yang mendalam mengenai Tawakal (penyerahan total) dan Ikhtiar (usaha).

Ikhtiar (Usaha) Mereka: Melarikan Diri

Mereka tidak hanya duduk diam di hadapan tirani. Mereka mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan iman mereka, yaitu melarikan diri ke gua. Ini adalah bentuk ikhtiar. Mereka mengerahkan segala upaya manusiawi untuk menghindari kekafiran.

Tawakal (Penyerahan): Doa di Pintu Gua

Setelah melakukan ikhtiar maksimal, mereka sepenuhnya menyerahkan urusan mereka kepada Allah (Ayat 10). Mereka tidak menggali sumur, tidak membawa bekal makanan berlebihan. Mereka hanya membawa uang perak secukupnya dan memohon rahmat dan petunjuk. Keajaiban intervensi Ilahi (tidur 309 tahun) datang setelah mereka mencapai puncak tawakal murni.

Hal ini mengajarkan bahwa ketika hamba telah berusaha maksimal untuk mempertahankan tauhid, Allah akan memberikan solusi yang tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia, melebihi hukum alam yang berlaku. Inilah makna dari Ayaatuna 'Ajaban—sebuah tanda yang menakjubkan yang hanya dapat dipahami melalui keimanan mutlak.

Kesinambungan Al-Kahfi Ayat 9 dengan Tema Akhir Zaman

Kisah Ashabul Kahfi seringkali dihubungkan langsung dengan fitnah Dajjal. Mengapa? Karena Dajjal akan menguji manusia melalui empat fitnah: agama, kekayaan, ilmu, dan kekuasaan—persis yang dinarasikan dalam Surah Al-Kahfi. Dajjal juga akan memanipulasi waktu (hari pertamanya seperti setahun, hari keduanya seperti sebulan, dst.).

Ayat 9, yang menekankan keajaiban kontrol Ilahi atas waktu (tidur 309 tahun), mempersiapkan mental mukmin. Jika Allah mampu menidurkan sekelompok pemuda untuk menangguhkan waktu demi menyelamatkan iman mereka, maka Allah juga mampu mengendalikan waktu Dajjal. Mukmin yang memahami kisah ini tidak akan terkejut atau tertipu oleh ilusi waktu yang diciptakan Dajjal.

Kisah ini memberikan template bagi mukmin yang terpojok di akhir zaman: carilah gua (tempat berlindung spiritual), berpegang teguh pada tauhid, dan berserah diri sepenuhnya. Di saat dunia menjadi tempat yang tidak mungkin untuk beribadah, isolasi spiritual demi menjaga kemurnian iman adalah pilihan terbaik, sebagaimana yang dilakukan oleh Ashabul Kahfi.

Dengan demikian, Al-Kahfi Ayat 9 berfungsi sebagai gerbang menuju salah satu kisah terbesar dalam Al-Qur'an, sebuah kisah yang bukan hanya historis, tetapi panduan profetik bagi umat manusia yang selalu menghadapi tirani dan godaan duniawi.

Perbandingan Tafsir Klasik dan Modern Mengenai Ayat 9

Para mufassir sepanjang masa telah memberikan penekanan berbeda pada bagian-bagian Ayat 9:

Tafsir Klasik (Tabari, Ibnu Katsir)

Para ulama klasik cenderung fokus pada Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu jawaban terhadap pertanyaan Yahudi/Quraisy. Penekanan mereka adalah pada pembuktian kenabian Muhammad ﷺ melalui pengetahuan gaib yang disampaikannya. Mereka juga sangat fokus pada identifikasi Raqīm sebagai prasasti atau catatan yang membuktikan kebenaran cerita, melawan keraguan.

Ibnu Katsir misalnya, banyak mengutip riwayat dari sahabat dan tabi'in yang mencoba memastikan lokasi gua dan identitas Raja Decius, meskipun ia tetap menggarisbawahi pentingnya tidak terlalu terikat pada detail historis yang tidak dijelaskan Al-Qur'an.

Tafsir Kontemporer (Sayyid Qutb, dll.)

Tafsir modern cenderung menggeser fokus dari detail historis ke implikasi spiritual dan psikologis. Sayyid Qutb, dalam Fi Zilalil Qur'an, melihat kisah ini sebagai manifestasi kemenangan ruhani atas materi dan tirani. Pertanyaan retoris di Ayat 9 ditekankan sebagai pengingat akan kebesaran Tuhan yang melampaui segala mukjizat fisik.

Dalam pandangan kontemporer, Al-Kahfi Ayat 9 menjadi seruan bagi umat Islam modern yang menghadapi sistem global sekuler dan materialistis: jika Anda harus mengisolasi diri untuk menjaga iman Anda dari fitnah sistem yang ada, lakukanlah. Gua bukanlah tempat fisik, melainkan ruang hati dan spiritual yang terlindungi.

Peran Ayat 9 dalam Struktur Naratif

Ayat 9 adalah kunci struktural. Dalam ilmu balaghah (retorika Al-Qur'an), ayat ini berfungsi sebagai Istifham inkari (pertanyaan penolakan atau retoris). Fungsinya adalah:

  1. Menciptakan Suspense: Setelah pertanyaan retoris, pembaca tertarik untuk tahu, jika ini bukan keajaiban terbesar, seberapa hebatkah kisah ini sebenarnya?
  2. Menegaskan Kekuasaan Tuhan: Ayat ini menempatkan kisah 309 tahun dalam kategori "normal" bagi kekuasaan Tuhan, mempersiapkan pembaca untuk menerima keajaiban yang lebih besar di kemudian hari (Kebangkitan).
  3. Menghilangkan Keraguan: Dengan menanyakan "Apakah kamu mengira ini menakjubkan?", Allah secara implisit mengkonfirmasi bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, meskipun terdengar luar biasa.

Tanpa Ayat 9, kisah Ashabul Kahfi akan terasa hanya sebagai dongeng masa lalu. Dengan Ayat 9, kisah ini diangkat menjadi Tanda (Ayat) yang berfungsi sebagai pelajaran fundamental tentang iman, waktu, dan janji Ilahi.

Kesimpulannya, Al-Kahfi Ayat 9 bukan hanya baris pembuka narasi yang indah. Ia adalah fondasi teologis yang menegaskan Kemahakuasaan Allah, mengatur ulang perspektif manusia tentang keajaiban, dan membuka pintu menuju kisah heroik spiritual para pemuda yang memilih Tuhan di atas dunia. Itu adalah pengakuan bahwa, bagi Allah, tidak ada yang mustahil, dan tidak ada keajaiban yang melebihi keajaiban-Nya sendiri.

🏠 Homepage