I. Pendahuluan: Surah Al-Lail dan Kontras Fundamental
Surah Al-Lail (Malam) merupakan salah satu surah Makkiyah, yang diturunkan pada fase awal kenabian di Makkah. Ciri khas surah-surah Makkiyah adalah penekanannya pada akidah, hari pembalasan, dan perbandingan antara kebaikan serta keburukan sebagai persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Surah ini secara keseluruhan membangun sebuah narasi kontras yang tajam antara dua jenis manusia, dua jenis usaha, dan dua jenis hasil akhir.
Allah SWT memulai Surah Al-Lail dengan sumpah demi tiga entitas yang memiliki sifat dualitas yang mendalam: malam (ketenangan/kegelapan), siang (usaha/cahaya), dan penciptaan laki-laki serta perempuan (pasangan). Sumpah-sumpah ini menjadi dasar filosofis untuk menegaskan bahwa usaha manusia pun terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda, dan konsekuensi dari masing-masing usaha tersebut telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Ayat-ayat awal (4-7) menjelaskan nasib kelompok pertama, yaitu mereka yang berinfak (memberi), bertakwa (takut kepada Allah), dan membenarkan kebaikan (al-husna). Kelompok ini dijanjikan kemudahan dalam segala urusannya, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, ayat 8 dan 9 menjelaskan kelompok kedua, mereka yang kikir, merasa cukup tanpa pertolongan Allah, dan mendustakan kebaikan. Puncak dari janji dan ancaman ini terkristal dalam Ayat 10.
Makna Sentral Ayat 10
Fokus utama pembahasan ini adalah ayat kesepuluh, yang merupakan janji ilahi bagi kelompok yang memilih jalan kebenaran. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara tindakan (yang dijelaskan di ayat 5-7) dan konsekuensi (yang diperluas di ayat 11 ke atas). Janji yang diberikan oleh Allah SWT bukanlah sekadar janji biasa, melainkan sebuah jaminan metodologis: Allah akan memudahkan jalan menuju kesulitan, yang ironisnya, akan mengantarkan pada kemudahan abadi.
II. Teks, Terjemahan, dan Transliterasi Al-Lail Ayat 10
Untuk memahami kedalaman janji ini, penting untuk meninjau kembali lafaz aslinya dan terjemahan yang mendekati.
وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ
"Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan kebaikan (al-husna), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." (Q.S. Al-Lail: 8-10, fokus pada konsekuensi Ayat 10)
Di sini kita fokus pada konsekuensi dari tindakan yang disebut dalam ayat 8 dan 9, yaitu kikir, merasa cukup, dan mendustakan kebaikan. Ayat 10 secara spesifik menyatakan: "fasayunassiruhū lil'usraa" (maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar/sukar). Ini adalah kontras langsung dengan Ayat 7 yang menjanjikan kemudahan (lil-yusra) bagi mereka yang memberi dan bertakwa.
III. Analisis Linguistik dan Sintaksis
Analisis mendalam terhadap struktur bahasa Arab dalam Ayat 10 menunjukkan ketegasan janji dan sifat kausalitas yang melekat dalam hukum Tuhan.
1. Kata Kunci: فَسَنُيَسِّرُهُ (Fasayunassiruhū)
Kata ini adalah gabungan dari beberapa elemen:
- **Fa (فَـ):** Partikel yang menunjukkan konsekuensi segera (maka/sehingga).
- **Sa (سَـ):** Partikel untuk masa depan yang pasti (akan/pasti). Ini menunjukkan janji yang tidak dapat dielakkan.
- **Yunassiru (نُيَسِّرُ):** Berasal dari akar kata يَسَرَ (Yasara), yang berarti mudah, lunak, atau mampu. Bentuk nuyassiru (Kami mudahkan) dalam fi'il mudhari' (kata kerja sekarang/masa depan) menunjukkan tindakan berkelanjutan dan kehendak mutlak Allah.
- **Hu (هُ):** Objek kata ganti orang ketiga tunggal (dia), merujuk kepada orang yang kikir, merasa cukup, dan mendustakan.
Penting dicatat, dalam terjemahan ayat 7, Allah berfirman fasanyuyassiruhu lil-yusra (Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan). Sementara di ayat 10, bagi orang kikir: Fasayunassiruhū lil'usraa (Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar/sulit). Penggunaan akar kata yang sama (Yunassiru) untuk kedua kelompok menunjukkan bahwa Allah-lah yang mengatur jalannya, namun substansi yang dimudahkan (yaitu yusra atau usra) adalah konsekuensi dari pilihan manusia.
2. Konsep: لِلْعُسْرَىٰ (Lil'usraa) - Jalan yang Sukar
Kata al-'Usraa (العُسْرَى) berarti kesulitan, kesusahan, kesukaran, atau jalan buntu. Ini adalah lawan kata dari al-Yusrā (الكُسْرَى) yang berarti kemudahan atau kelapangan. Pilihan kata ini sangat kuat karena menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami oleh orang kikir bukanlah kebetulan atau nasib buruk semata, melainkan hasil dari sebuah sistem ilahi yang telah ditetapkan.
Interpretasi 'Al-'Usraa'
Para mufasir memberikan beberapa dimensi tentang apa yang dimaksud dengan 'jalan yang sukar' ini:
- **Jalan Menuju Keburukan Dunia:** Kesulitan dalam meraih kebahagiaan sejati, kegagalan dalam urusan duniawi, atau kegelisahan batin meskipun memiliki harta.
- **Jalan Menuju Kesulitan Akhirat:** Yang paling utama, kesulitan dalam menghadapi perhitungan Hari Kiamat, melewati sirat, dan mendapatkan siksa Neraka (Al-Jahim, yang disebutkan di ayat selanjutnya).
- **Dimudahkan untuk Melakukan Dosa:** Sebuah interpretasi yang lebih filosofis, di mana Allah 'memudahkan' jalannya menuju perbuatan maksiat dan kekikiran, seolah-olah perilaku buruk menjadi begitu ringan baginya, padahal itu adalah jalan menuju kehancuran abadi.
Dengan demikian, janji fasayunassiruhū lil'usraa bukanlah penghukuman tiba-tiba, melainkan kelanjutan logis dari kebebasan memilih manusia. Ketika seseorang memilih jalan kekikiran dan merasa tidak butuh Tuhan, Allah membiarkannya berjalan di jalan itu hingga akhir, yang pada akhirnya adalah kesulitan abadi.
IV. Tafsir Klasik: Pandangan Ulama Tentang Ayat 10
Para mufasir klasik telah mengupas tuntas Surah Al-Lail, khususnya ayat 10, menghubungkannya dengan konteks sosial Makkah dan prinsip-prinsip teologis mendasar.
1. Tafsir Ibnu Katsir: Kontras Perilaku
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, selalu menekankan kontras antara ayat 5-7 dan ayat 8-10. Beliau menjelaskan bahwa orang yang digambarkan dalam ayat 8-9 (kikir, merasa cukup, mendustakan al-husna) adalah lawan dari orang yang berinfak dan bertakwa. Ibnu Katsir menafsirkan "Fasayunassiruhu lil'usraa" sebagai janji bahwa Allah akan menjadikan jalan menuju keburukan, kesusahan, dan kemalangan menjadi mudah baginya di dunia, dan membawanya kepada siksa di akhirat.
Menurut Ibnu Katsir, kikir adalah pilar utama kehancuran. Kekikiran (bakhala) tidak hanya diartikan sebagai menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan dan hidayah. Orang tersebut merasa dirinya mandiri (istaghnaa) dari rahmat dan petunjuk Allah, sehingga ia tidak butuh untuk memberi atau berbuat baik. Akibatnya, Allah membiarkan dan mempermudah jalannya menuju kehancuran yang ia pilih sendiri.
2. Tafsir Al-Thabari: Fokus pada Asbabun Nuzul
Meskipun Surah Al-Lail membahas prinsip umum, banyak riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) mengaitkan kelompok yang diberi kemudahan (ayat 7) dengan pribadi Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang dikenal sangat dermawan dan membeli budak-budak muslim yang disiksa untuk dimerdekakan. Sementara kelompok yang kikir (ayat 10) sering dikaitkan dengan Ummayyah bin Khalaf atau salah satu tokoh Quraisy yang terkenal pelit.
Imam Al-Thabari menekankan bahwa meskipun ada riwayat khusus, makna ayat tersebut berlaku umum untuk siapa pun yang memenuhi kriteria kekikiran dan penolakan kebenaran. Beliau menafsirkan lil'usraa sebagai "untuk jalan kejahatan," "untuk siksa," atau "untuk amal yang mengarah kepada kesulitan." Ini menegaskan bahwa amal perbuatan manusialah yang menentukan jenis jalan yang akan dimudahkan oleh Allah baginya.
Al-Thabari secara spesifik mencatat bahwa kata fasayunassiruhū (Kami akan memudahkannya) adalah bentuk sindiran ilahi. Artinya, kemudahan yang diperoleh orang kikir di dunia adalah kemudahan dalam mengejar kenikmatan fana dan mengumpulkan harta, namun kemudahan tersebut sejatinya adalah jebakan yang akan menyulitkan di akhirat. Dunia yang mudah bagi orang kikir adalah jembatan menuju akhirat yang sulit.
3. Tafsir Al-Razi: Dimensi Filosofis Keterikatan Hati
Fakhruddin Ar-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, membahas ayat ini dari perspektif filosofi amal dan hati. Ar-Razi berpendapat bahwa kekikiran (bakhala) adalah penyakit hati yang paling berbahaya karena ia menghalangi manusia dari sifat utama keilahian, yaitu kedermawanan dan rahmat.
Ketika seseorang kikir, ia memutus hubungan spiritualnya dengan sumber rezeki (Allah). Karena ia percaya bahwa hartanya adalah hasil usahanya sendiri (istaghnaa), ia tidak lagi melihat Allah sebagai sumber pertolongan. Konsekuensinya, Allah membiarkannya dalam keyakinan tersebut, dan jalan hidupnya menjadi sulit karena ia harus menanggung semua beban sendiri tanpa rahmat Ilahi.
Ar-Razi menyimpulkan bahwa lil'usraa adalah kegagalan dalam mencapai kesempurnaan spiritual (al-kamal). Orang yang kikir, meskipun kaya, hidup dalam kesulitan batin, kegelisahan, dan ketidakpuasan abadi, karena hatinya terikat pada materi yang fana, sebuah kesulitan yang jauh lebih parah daripada kesulitan fisik.
Ilustrasi jalur kemudahan (Taysir) yang dijanjikan dalam Surah Al-Lail Ayat 10, kontras dengan jalan kesukaran ('Usra) yang dipilih oleh orang kikir.
V. Kontras Aksi: Hubungan Kausalitas (Ayat 5-9)
Mustahil memahami Ayat 10 tanpa merujuk pada tiga aksi fundamental yang menciptakan konsekuensi 'Usraa. Ayat 8 dan 9 menjelaskan dengan detail profil orang yang akan dihadapkan pada jalan kesukaran:
1. Kekikiran (Bakhila - بَخِلَ)
Kekikiran adalah tindakan menahan apa yang seharusnya dikeluarkan, baik itu dalam bentuk zakat, sedekah, maupun bantuan moral. Kekikiran bukan hanya masalah finansial; ia adalah sikap mental yang menolak mengakui hak orang lain atas harta yang dimiliki. Ayat ini menunjukkan bahwa kekikiran adalah racun spiritual yang langsung memutus rahmat ilahi.
Para ulama bersepakat bahwa kekikiran dalam konteks ini adalah penolakan terhadap kewajiban sosial dan agama yang seharusnya dipenuhi. Kekikiran menciptakan dinding antara individu dan masyarakat, dan yang lebih penting, antara individu dan Tuhannya. Karena ia tidak mau berbagi, ia pun tidak layak menerima kemudahan dari Allah.
2. Merasa Cukup (Istaghnaa - وَاسْتَغْنَىٰ)
Ini mungkin aspek paling berbahaya dari perilaku yang dikutuk. Istighna' berarti merasa mandiri atau cukup. Orang tersebut beranggapan bahwa kekayaan dan kesuksesan yang ia raih murni berasal dari kecerdasan, usaha, atau koneksi pribadinya. Ia lupa bahwa semua nikmat bersumber dari Allah.
Ketika seseorang merasa cukup (istaghnaa) dari Tuhannya, ia secara tidak langsung menolak konsep takwa dan kebergantungan. Konsekuensinya, Allah membiarkannya berada dalam ‘kecukupan’ palsu tersebut, hingga ia menghadapi kesulitan yang tidak dapat diselesaikan oleh harta bendanya—yakni kematian dan hari perhitungan.
Pentingnya Keterkaitan Bakhila dan Istaghnaa
Dua sifat ini saling terkait erat. Seseorang menjadi kikir karena ia merasa takut miskin (istaghnaa) dan percaya bahwa hartanya adalah satu-satunya sumber keamanan. Jika ia percaya pada janji Allah, ia akan berinfak, karena ia tahu rezeki datang dari sumber yang tak terduga. Penolakan terhadap janji ini menghasilkan lil'usraa.
3. Mendustakan Kebaikan (Kadzdzaba bilhusnaa - وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ)
Al-Husna (Kebaikan) memiliki dua interpretasi utama:
- **Janji Akhirat:** Mendustakan janji surga (pahala) dan balasan baik bagi orang yang berinfak.
- **Kalimat Syahadat:** Menolak kebenaran tauhid atau ajaran Islam secara umum.
Dalam konteks Surah Al-Lail, makna yang paling kuat adalah mendustakan janji balasan (pahala) yang bersifat lebih baik dan abadi. Jika seseorang tidak percaya pada pahala abadi, wajar jika ia enggan mengeluarkan hartanya yang fana. Ketidakpercayaan pada al-husna inilah yang membenarkan kekikirannya. Ketika hati mendustakan kebenaran, hasil akhirnya adalah jalan yang penuh kesukaran, karena ia telah kehilangan kompas moral dan spiritualnya.
VI. Filsafat Taysir (Kemudahan) dan 'Usraa (Kesukaran)
Ayat 10 Al-Lail adalah cerminan dari prinsip ilahi yang lebih luas yang mengatur alam semesta: bahwa hasil dari suatu perbuatan telah ditetapkan (hukum sebab-akibat spiritual). Allah tidak menghukum sewenang-wenang; Dia membiarkan hamba-Nya menuai hasil dari benih yang mereka tanam.
1. Kemudahan Menuju Tujuan yang Dipilih
Konsep Taysir (kemudahan) yang digunakan di kedua sisi (untuk Yusra dan Usraa) menunjukkan sifat adil Allah. Allah mempermudah jalan yang dipilih oleh hamba-Nya. Jika seseorang bersungguh-sungguh mencari kebaikan, pintu-pintu kebaikan akan terbuka (Ayat 7). Namun, jika seseorang bersikeras mencari keburukan dan kekikiran, maka pintu-pintu kesulitan (dosa, kegelisahan, siksa) akan terbuka lebar baginya (Ayat 10).
Ini adalah manifestasi dari ayat lain: فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ (Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. - QS. Az-Zalzalah: 7-8).
2. Kesulitan yang Hakiki
Kesulitan (Al-'Usraa) yang dijanjikan dalam Ayat 10 bukanlah sekadar kesulitan finansial. Seringkali, orang kikir justru berhasil secara materi di dunia. Kesulitan yang dimaksud adalah:
- **Kekakuan Hati:** Hilangnya kepekaan spiritual dan empati, membuat ibadah terasa berat dan hambar.
- **Kurangnya Berkah:** Harta yang didapat tidak membawa ketenangan atau kebahagiaan sejati.
- **Kesulitan Taubat:** Semakin lama seseorang berada di jalan kekikiran, semakin sulit baginya untuk kembali dan bertaubat, seolah-olah hatinya telah terkunci.
- **Kesulitan di Saat Kematian:** Sakaratul maut menjadi sangat sulit, dan pertanyaan di kubur menjadi beban berat.
3. Kontras dengan Surah Al-Insyirah
Konsep Al-'Usraa dan Al-Yusrā kembali ditekankan dalam Surah Al-Insyirah (Alam Nasyrah), ayat 5 dan 6: "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
Dalam Al-Lail Ayat 10, kesulitan ('Usraa) adalah hasil dari pilihan buruk (kekikiran). Sementara dalam Al-Insyirah, kesulitan adalah ujian yang bersifat sementara yang disisipi oleh kemudahan (bantuan Tuhan) bagi hamba yang beriman. Ini menunjukkan perbedaan fundamental: kesulitan (usraa) yang dialami orang beriman adalah ujian yang melahirkan kemudahan (yusra), sedangkan kesulitan yang dialami orang kikir adalah jalan buntu yang dimudahkan oleh Tuhan sebagai hukuman atas keangkuhannya.
Penyempurnaan Prinsip Ilahi
Ayat 10 Surah Al-Lail melengkapi pemahaman kita tentang keadilan Tuhan. Keadilan ini tidak hanya berlaku di Hari Kiamat, tetapi juga membentuk pola hidup di dunia. Seseorang yang memilih jalan egoisme dan materialisme ekstrem akan menemukan bahwa bahkan kemudahan duniawi yang ia raih terasa hampa, memudahkannya menuju kesulitan yang lebih besar di akhirat.
VII. Konsekuensi Akhirat dan Ayat-Ayat Selanjutnya
Ayat 10 berfungsi sebagai penentu nasib, yang kemudian diperkuat dan dirinci oleh ayat-ayat penutup Surah Al-Lail (ayat 11 hingga 21). Janji lil'usraa secara langsung mengarah pada ancaman api neraka (Al-Jahim) dan ketiadaan manfaat harta.
1. Harta Tidak Bermanfaat (Ayat 11)
Setelah menjanjikan jalan yang sukar (Ayat 10), Allah menegaskan: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak akan bermanfaat baginya apabila dia telah jatuh ke dalam api neraka.)
Ini adalah ironi terbesar bagi orang yang kikir dan merasa cukup (istaghnaa) dengan hartanya. Tujuan hidupnya adalah mengumpulkan kekayaan, namun pada titik puncak kesulitan (di Neraka), harta tersebut sama sekali tidak berguna. Ayat ini secara brutal merobohkan seluruh fondasi hidup yang dibangun oleh orang kikir. Kesulitan (Al-'Usraa) yang ia hadapi di akhirat tidak dapat dibayar atau ditebus oleh kekayaan yang ia jaga dengan susah payah di dunia.
Dimensi Keterpurukan (Taraddaa)
Kata taraddaa (تَرَدَّىٰ) secara harfiah berarti jatuh atau terjerumus. Kata ini menggambarkan kejatuhan moral dan spiritual yang dimulai dari kekikiran di dunia, dan berujung pada kejatuhan fisik ke dalam Jurang Neraka. Jalur yang dimudahkan menuju kesulitan (lil'usraa) mencapai klimaksnya di sini.
2. Peringatan dan Tanggung Jawab (Ayat 12-13)
Ayat-ayat berikutnya mempertegas peran Allah sebagai pemilik petunjuk dan akhirat. Allah menjelaskan bahwa kewajiban-Nya adalah memberikan petunjuk, dan Dia memiliki kekuasaan atas dunia dan akhirat. Ini menghilangkan alasan apa pun bagi manusia untuk kikir atau sombong. Jika semua adalah milik Allah (dunia dan akhirat), maka menahan harta adalah kesombongan terhadap pemilik sejati.
Kesulitan (Al-'Usraa) adalah hukuman yang setimpal karena orang tersebut menolak petunjuk dan mengklaim kepemilikan mutlak atas hartanya.
3. Api yang Paling Menderu (Ayat 14-16)
Orang kikir dan pendusta (yang dimudahkan menuju lil'usraa) dijanjikan akan memasuki Neraka yang apinya bergejolak (Talahhab). Hanya orang-orang yang celaka (al-ashqa) yang akan memasukinya, yaitu mereka yang mendustakan kebenaran dan berpaling.
Jalan yang sukar (Al-'Usraa) yang dipilih di dunia adalah jalan yang nyaman untuk dilewati oleh orang-orang yang telah dibutakan oleh kekikiran, namun jalan ini berakhir di sebuah kesulitan abadi yang tidak akan pernah berakhir.
VIII. Aplikasi Praktis Ayat 10 dalam Kehidupan Modern
Bagaimana janji fasayunassiruhū lil'usraa berlaku dalam konteks kehidupan kontemporer yang didominasi materialisme dan persaingan?
1. Kekikiran Modern (Digital Bakhila)
Kekikiran di era modern tidak hanya terbatas pada uang. Ia mencakup kekikiran informasi, kekikiran waktu, kekikiran ilmu, dan kekikiran emosi. Seseorang yang menahan keahliannya untuk kepentingan pribadi secara ekstrem, atau menahan bantuan sosial padahal ia mampu, sedang menapaki jalan Istighna' dan Bakhila.
Konsekuensi lil'usraa dalam konteks ini adalah stres, isolasi sosial, ketidakpercayaan, dan kegagalan dalam membangun jaringan yang sehat. Orang yang terlalu fokus mengamankan dirinya sendiri justru menemukan bahwa ia lebih rentan terhadap kesulitan ketika badai datang, karena ia tidak pernah membangun jembatan kasih sayang (sedekah) dengan sesama.
2. Fenomena 'Kecukupan Palsu' (Istighna' Syndrome)
Sikap Istaghnaa (merasa cukup) adalah inti dari banyak masalah psikologis modern: kesombongan (narsisme), kurangnya rasa syukur, dan selalu merasa berhak. Orang yang menderita sindrom ini merasa tidak perlu mencari pertolongan spiritual atau berintrospeksi. Ia merasa bahwa kesuksesannya menjaminnya dari segala kesulitan.
Namun, dalam praktiknya, kemudahan yang ia dapatkan (kekayaan, popularitas) justru memudahkannya menuju jurang kesulitan: kejatuhan moral, skandal, dan kehancuran reputasi. Allah mempermudah jalannya menuju kerugian karena ia memilih untuk berjalan tanpa panduan Ilahi.
3. Prinsip Investasi Spiritual vs. Materi
Surah Al-Lail, melalui kontras antara ayat 7 dan 10, mengajarkan prinsip investasi yang paling mendasar:
- **Orang Bertakwa (Ayat 7):** Berinvestasi pada hal-hal yang abadi (infak, takwa, membenarkan al-husna). Hasilnya: Kemudahan (Yusra) di dunia dan akhirat.
- **Orang Kikir (Ayat 10):** Berinvestasi pada hal-hal yang fana (kekayaan yang ditahan, egoisme). Hasilnya: Kesukaran (Usraa) di dunia dan akhirat.
Ayat 10 berfungsi sebagai peringatan bahwa menyimpan harta mati-matian (karena takut kekurangan) justru memicu hukum alam spiritual yang menarik kesulitan. Rasa takut miskin yang berlebihan (kekikiran) adalah kesulitan pertama yang harus dihadapi, sebelum kesulitan-kesulitan berikutnya menyusul.
IX. Mendalami Makna Kekikiran: Bukan Hanya Menahan Uang
Kekikiran dalam tafsir Al-Lail Ayat 10 memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar masalah uang. Ini adalah kondisi psikis dan spiritual yang menunjukkan kegagalan dalam berinteraksi dengan dunia.
1. Kekikiran Terhadap Diri Sendiri
Seorang kikir yang menahan harta dari orang lain, sejatinya telah kikir terhadap dirinya sendiri. Ia menahan pahala, ia menahan berkah, dan ia menahan potensi pertumbuhan spiritual. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan berkumpul dalam diri seorang mukmin sikap kikir dan iman." Ini menunjukkan betapa kikir adalah penyakit yang mengikis pondasi akidah.
Kekikiran terhadap diri sendiri mempermudah jalan menuju kesulitan (lil'usraa) karena ia menutup pintu rahmat Tuhan yang biasanya mengalir melalui perantara amal saleh. Orang kikir tidak pernah merasa cukup, padahal kecukupan sejati hanya ditemukan dalam hati yang damai, bukan dalam rekening bank yang penuh.
2. Kekikiran Ilmu dan Hidayah
Sikap Istaghnaa (merasa cukup) seringkali terwujud dalam penolakan terhadap nasihat atau petunjuk agama. Orang kikir ilmu akan menahan apa yang ia ketahui, dan orang kikir hidayah akan menolak untuk mempelajarinya. Mereka merasa telah mengetahui yang terbaik bagi diri mereka, sehingga mereka mendustakan Al-Husna (kebaikan/kebenaran) yang ditawarkan kepada mereka.
Konsekuensi dari kekikiran ilmu ini adalah kesulitan dalam membuat keputusan yang benar (lil'usraa), karena ia beroperasi hanya berdasarkan logika fana dan pengalaman terbatasnya, bukan berdasarkan petunjuk abadi yang ditawarkan oleh wahyu.
3. Kekikiran dalam Hubungan Sosial
Jika kekikiran diartikan sebagai keengganan untuk memberi, maka dalam hubungan sosial, ini berarti keengganan untuk memberi pengampunan, waktu, perhatian, dan kasih sayang. Individu yang kikir secara emosional akan mendapati bahwa kehidupan sosialnya penuh kesulitan, ketegangan, dan kesepian (lil'usraa).
Dalam pandangan Islam, infak adalah jembatan sosial. Orang kikir merobohkan jembatan ini. Akibatnya, ketika ia membutuhkan dukungan, ia akan menghadapi jalan yang sukar karena ia telah memutus semua koneksi rahmat yang seharusnya ia bangun melalui kedermawanan.
Rekapitulasi Tiga Pilar Kegagalan (Al-Lail 8-9)
Untuk menghindari lil'usraa (jalan kesukaran), seseorang harus mengatasi tiga penyakit ini:
- **Kikir (Bakhila):** Mengatasi dengan kedermawanan (Infak).
- **Merasa Cukup (Istaghnaa):** Mengatasi dengan pengakuan ketergantungan (Takwa).
- **Mendustakan Kebaikan (Kadzdzaba bilhusnaa):** Mengatasi dengan pembenaran iman (Tashdiq).
Kegagalan dalam tiga hal ini secara otomatis mengaktifkan mekanisme fasayunassiruhū lil'usraa.
X. Refleksi Teologis: Kehendak Bebas dan Ketetapan Ilahi
Ayat 10 Al-Lail memberikan wawasan mendalam tentang isu teologis mengenai kehendak bebas manusia (ikhtiyar) dan ketetapan Ilahi (qadar).
1. Pilihan Manusia Mendahului Ketetapan
Urutan ayat sangat penting:
- Manusia melakukan tindakan (kikir, merasa cukup, mendustakan). (Ayat 8-9)
- Allah menetapkan konsekuensi (Kami akan memudahkannya menuju kesulitan). (Ayat 10)
Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih jalannya. Allah tidak memaksa seseorang menjadi kikir. Namun, setelah pilihan itu dibuat secara konsisten dan menjadi karakter, Allah menguatkan karakter tersebut. Jika seseorang memilih jalan kegelapan, Allah ‘memudahkannya’ di jalan itu karena ia telah terbukti tidak menginginkan cahaya. Ini adalah ketetapan ilahi yang adil, berdasarkan pilihan hamba itu sendiri.
2. Hakikat Kemudahan (Taysir)
Jika Allah memudahkan jalan menuju kesulitan, apakah itu berarti Allah tidak menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya? Jawabannya terletak pada hakikat rahmat dan keadilan. Rahmat Allah sangat luas, namun ia tidak berlaku bagi orang yang secara sukarela dan sadar mendustakan kebaikan dan menolak pertolongan-Nya.
Kemudahan (Taysir) yang diberikan kepada orang kikir adalah kebebasan untuk jatuh tanpa penghalang. Ini adalah bentuk istidraj (penangguhan hukuman atau pembiaran) di mana Allah memberikan kelonggaran di dunia, seolah-olah kesulitan tidak pernah datang, hingga akhirnya hukuman datang secara mendadak dan total di akhirat. Dunia menjadi sebuah ujian yang terlalu mudah bagi mereka, sehingga mereka gagal dalam ujian akhir.
3. Penekanan pada Kekuatan Amal
Surah Al-Lail, khususnya Ayat 10, mengajarkan bahwa amal perbuatan kita membentuk takdir kita. Harta yang kita keluarkan hari ini adalah investasi untuk kelapangan hidup besok. Sebaliknya, harta yang kita tahan karena kekikiran hari ini adalah penumpukan kesulitan untuk masa depan. Ayat ini adalah panggilan tegas untuk mengubah paradigma berpikir materialistik menjadi spiritualistik.
Kesulitan (Al-'Usraa) bukanlah takdir yang acak, melainkan hasil akhir dari proses penolakan dan kekikiran yang dimulai dari dalam hati manusia. Oleh karena itu, solusi untuk menghindari Al-'Usraa harus dimulai dari pembersihan hati dari tiga penyakit yang disebutkan di atas.
XI. Kesimpulan: Jalan Dua Arah
Ayat 10 Surah Al-Lail, "Fasayunassiruhū lil'usraa," adalah puncak peringatan dan janji yang terkandung dalam surah ini. Ia secara ringkas memproklamirkan bahwa kehidupan adalah sistem yang beroperasi berdasarkan pilihan moral dan spiritual yang kita buat setiap hari. Tidak ada jalan tengah; hanya ada dua jalur yang dimudahkan:
- **Jalur Kemudahan (Al-Yusrā):** Bagi mereka yang memberi (infak), bertakwa, dan membenarkan kebaikan. Allah memudahkan jalannya di dunia, dan mengantarkannya pada Surga.
- **Jalur Kesukaran (Al-'Usraa):** Bagi mereka yang kikir (menahan), merasa cukup tanpa Allah (sombong), dan mendustakan kebenaran. Allah membiarkan dan memudahkannya dalam jalan kesesatan, yang berujung pada kesulitan dan siksa abadi.
Pesan utama dari ayat ini adalah urgensi kedermawanan dan takwa sebagai kunci untuk membuka gerbang kemudahan ilahi. Kekikiran dan kesombongan spiritual adalah mata uang untuk membeli kesulitan abadi. Dalam setiap keputusan, dari hal terkecil hingga terbesar, manusia memilih salah satu dari dua jalur ini, dan Allah, Yang Maha Adil, akan mempermudah jalan yang telah dipilih hamba-Nya untuk mencapai konsekuensi finalnya.
Maka, bagi setiap pembaca, refleksi dari Surah Al-Lail Ayat 10 adalah tantangan untuk meninjau kembali hati: Apakah kita sedang menginvestasikan diri kita pada Al-Yusrā atau secara tidak sadar mempermudah langkah kita menuju Al-'Usraa?
***
"Barangsiapa yang kikir dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan, maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar."