Apa Sebenarnya "Al Qadr Artinya"? Definisi dan Dimensi Teologis
Konsep Al Qadr adalah salah satu pilar fundamental dalam akidah Islam yang sering kali memicu perdebatan mendalam, baik di kalangan ulama maupun masyarakat awam. Secara leksikal, kata Al Qadr (القَدَر) berasal dari bahasa Arab yang mengandung beberapa makna utama yang saling terkait. Memahami Al Qadr artinya bukan hanya sekadar mengetahui terjemahan, tetapi menyelami dimensi kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala (SWT) yang tak terbatas.
Dalam konteks kebahasaan, Al Qadr dapat berarti:
- Pengukuran (Measurement): Menentukan sesuatu dengan ukuran yang presisi dan tepat.
- Penentuan (Determination): Keputusan mutlak yang telah ditetapkan.
- Kekuasaan atau Kemampuan (Power/Ability): Sebagaimana firman Allah, "Kami Mahakuasa atas yang demikian itu." (QS. Al-Ma'arij: 40).
Namun, ketika digunakan dalam terminologi syariat, Al Qadr artinya adalah Ketetapan Ilahi. Ini merujuk pada keyakinan bahwa Allah SWT telah mengetahui, mencatat, menghendaki, dan menciptakan segala sesuatu yang terjadi, dari yang terkecil hingga yang terbesar, di alam semesta ini, sebelum ia terjadi. Ketetapan ini adalah bagian integral dari Rukun Iman yang keenam, yaitu iman kepada Qadha dan Qadar.
Perlu ditekankan, Al Qadr dan Al Qadha sering disebut berpasangan, meskipun keduanya memiliki nuansa arti yang berbeda. Al Qadha (القضاء) secara umum diartikan sebagai pelaksanaan atau penunaian ketetapan, keputusan, atau penghukuman Allah yang telah ditetapkan. Sementara Al Qadar adalah perencanaan atau penetapan yang telah dicatat sejak zaman azali (kekal). Sederhananya, Qadar adalah rencana detail, dan Qadha adalah eksekusi rencana tersebut pada waktu yang ditentukan.
Pena Ilahi telah mencatat segala ketentuan di Lauhul Mahfuzh.
Empat Tingkatan Utama Iman Kepada Al Qadr
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah merumuskan keyakinan terhadap Al Qadr dalam empat tingkatan yang tidak dapat dipisahkan. Kepercayaan yang sempurna terhadap Al Qadr harus mencakup penerimaan terhadap keempat tingkatan ini:
1. Ilmu (Pengetahuan)
Tingkatan pertama adalah keyakinan mutlak bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan-Nya bersifat azali (kekal, tanpa permulaan). Allah mengetahui semua yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, dan bahkan apa yang tidak terjadi—seandainya itu terjadi, bagaimana ia akan terjadi.
Pengetahuan Allah meliputi seluruh perbuatan hamba-Nya, gerakan mereka, niat mereka, ketaatan mereka, dan kemaksiatan mereka, sebelum perbuatan itu dilakukan, bahkan sebelum hamba itu diciptakan. Tidak ada satu pun partikel di alam semesta ini yang luput dari pengetahuan-Nya. Keyakinan ini menolak pandangan kelompok sesat terdahulu yang mengklaim bahwa Allah baru mengetahui perbuatan hamba setelah perbuatan itu terjadi.
2. Kitabah (Pencatatan)
Tingkatan kedua adalah keyakinan bahwa Allah SWT telah mencatat seluruh pengetahuan-Nya tentang takdir alam semesta, sejak awal penciptaan hingga hari Kiamat, dalam sebuah Kitab Induk yang disebut Lauhul Mahfuzh (Papan yang Terpelihara). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pencatatan ini mencakup detail hidup setiap makhluk, rezeki mereka, ajal mereka, kebahagiaan dan kesengsaraan mereka. Pencatatan ini adalah bukti nyata dari kesempurnaan ilmu Allah dan memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan skema Ilahi yang telah ditetapkan.
3. Masyi'ah (Kehendak Mutlak)
Tingkatan ketiga adalah keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di langit dan di bumi melainkan atas kehendak (Masyi'ah) Allah SWT. Kehendak-Nya bersifat universal dan meliputi. Kehendak Allah terbagi menjadi dua aspek utama:
- Kehendak Kauniyah (Universal/Penciptaan): Kehendak yang pasti terjadi dan meliputi segala sesuatu, baik yang dicintai Allah (seperti iman dan ketaatan) maupun yang tidak dicintai Allah (seperti kekufuran dan dosa). Kehendak ini berkaitan dengan penciptaan dan kejadian.
- Kehendak Syar’iyah (Legislatif/Perintah Agama): Kehendak yang berkaitan dengan perintah dan larangan agama (syariat). Allah menghendaki semua hamba-Nya beriman dan taat, namun kehendak syar’iyah ini tidak selalu terlaksana, karena memerlukan pilihan bebas manusia.
Pembedaan ini penting untuk memahami bahwa meskipun segala kejahatan terjadi atas Kehendak Penciptaan-Nya (karena tidak ada yang bisa terjadi tanpa izin-Nya), Allah tidak meridhai atau mencintai kejahatan tersebut (Kehendak Syar’iyah-Nya melarangnya).
4. Khalq (Penciptaan)
Tingkatan keempat adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Pencipta dari segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba. Meskipun manusia memiliki kehendak bebas dan pilihan (Ikhtiyar) dalam tindakannya, gerakan, kemampuan, dan kekuatan untuk melaksanakan tindakan tersebut, semuanya diciptakan oleh Allah.
Manusia adalah pelaku (fail) dari perbuatannya, tetapi Allah adalah Pencipta (Khaliq) dari pelaku dan perbuatannya. Ini adalah titik sensitif yang membedakan akidah Sunni dari aliran fatalis (Jabariyah) yang meniadakan pilihan manusia, dan aliran libertarian (Qadariyah) yang meniadakan peran Allah dalam penciptaan perbuatan hamba.
Isu Sentral: Qadr, Kehendak Bebas, dan Tanggung Jawab Manusia
Perdebatan teologis paling mendasar mengenai Al Qadr artinya berpusat pada hubungan antara Ketentuan Ilahi (Qadar) dan Kehendak Bebas Manusia (Ikhtiyar). Jika Allah telah menetapkan segala sesuatu, mengapa manusia dihukum atau diberi pahala atas perbuatannya? Mengapa kita harus berusaha?
Sanggahan Terhadap Fatalisme (Jabariyah)
Kelompok fatalis ekstrem (Jabariyah) berpendapat bahwa manusia seperti sehelai daun yang tertiup angin; ia tidak memiliki kehendak nyata, dan segala perbuatannya sepenuhnya dipaksakan oleh takdir. Pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan fitrah dan syariat:
- Fitrah (Naluri): Setiap manusia secara naluriah membedakan antara tindakan yang dilakukan secara sukarela (misalnya, menulis) dan tindakan yang dipaksakan (misalnya, jatuh).
- Syariat (Hukum Agama): Al-Qur'an dan Hadis penuh dengan perintah ("Lakukanlah ini") dan larangan ("Jangan lakukan itu"). Perintah dan larangan hanya relevan jika manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Jika perbuatan dipaksakan, perintah Tuhan menjadi tidak adil.
- Tanggung Jawab: Jika manusia tidak punya pilihan, maka tidak ada alasan untuk hari perhitungan (Hisab) atau siksa/pahala.
Islam mengajarkan jalan tengah. Allah memberi kita kemauan, tetapi kemauan kita berada di bawah kehendak-Nya yang lebih besar. Allah berfirman: “Bagi siapa di antara kamu yang ingin lurus, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 28-29). Ayat ini menegaskan adanya dua kehendak: kehendak manusia yang terbatas dan kehendak Allah yang mutlak.
Makna Ikhtiyar (Pilihan)
Pilihan manusia (Ikhtiyar) bukanlah penciptaan perbuatan, melainkan penentuan arah. Allah menyediakan dua jalan (kebaikan dan keburukan), memberi manusia kemampuan untuk memilih salah satunya, dan kemudian menciptakan perbuatan yang dipilih tersebut. Kita bertanggung jawab atas pilihan kita karena kita memilih dengan kesadaran dan niat, meskipun kemampuan untuk melaksanakan pilihan itu berasal dari Allah.
Dalam memahami Al Qadr artinya dalam konteks Ikhtiyar, kita harus berpegangan pada kaidah ini: kita tidak mengetahui takdir kita, tetapi kita mengetahui perintah dan larangan syariat. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk beramal dan berusaha seolah-olah takdir bergantung pada usaha kita, sambil menyadari bahwa hasil akhir (takdir) mutlak berada di tangan Allah.
Klasifikasi dan Jenis-Jenis Ketentuan Ilahi
Para ulama juga membagi Al Qadr berdasarkan dimensi waktu dan penerapannya. Pemahaman mengenai klasifikasi ini sangat membantu dalam memadukan iman dan tindakan praktis:
1. Qadar Azali (Ketetapan Abadi)
Ini adalah Ketentuan yang telah dicatat di Lauhul Mahfuzh, 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Ketentuan ini bersifat mutlak, menyeluruh, dan tidak berubah. Inilah dasar dari iman kepada Al Qadr.
2. Qadar Yaumi (Ketetapan Harian)
Ini adalah Ketentuan yang Allah manifestasikan, detailkan, dan eksekusi pada hari itu juga. Allah berfirman, “Setiap waktu Dia dalam keadaan sibuk (mengurus makhluk-Nya).” (QS. Ar-Rahman: 29). Kesibukan ini mencakup pencatatan rezeki, ajal, kelahiran, dan kematian yang terjadi setiap hari, yang semuanya merupakan perincian dari Qadar Azali.
3. Qadar Sanawi (Ketetapan Tahunan)
Ini adalah Ketentuan yang Allah turunkan pada malam khusus, yaitu Malam Lailatul Qadr. Pada malam ini, Allah merinci dan menetapkan takdir-takdir yang akan terjadi pada tahun yang akan datang, hingga Lailatul Qadr berikutnya. Ketetapan ini adalah salinan rinci yang diturunkan dari Lauhul Mahfuzh kepada malaikat pelaksana.
Peran Doa dan Takdir
Sering muncul pertanyaan: Jika takdir sudah ditetapkan, mengapa kita perlu berdoa? Apakah doa dapat mengubah takdir?
Ulama menjelaskan bahwa doa (Dua) itu sendiri adalah bagian dari Qadar. Ketika seseorang berdoa dan permohonannya dikabulkan, pengabulan itu bukanlah perubahan takdir, melainkan terlaksananya takdir yang telah ditetapkan sejak awal, yaitu takdir bahwa hamba tersebut akan berdoa dan doanya akan menghilangkan atau menahan bencana. Doa adalah salah satu sebab syar’i yang memiliki potensi untuk mengubah hasil yang kita ketahui di dunia, namun hasilnya sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh.
Al Qadr adalah ukuran dan ketetapan yang maha presisi.
Implikasi Praktis dan Dampak Keimanan pada Al Qadr
Keimanan yang benar terhadap Al Qadr artinya membawa konsekuensi spiritual dan praktis yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Ini bukan sekadar keyakinan pasif, melainkan mesin penggerak bagi motivasi, ketenangan, dan kesabaran.
1. Tawakkal yang Sempurna
Memahami bahwa segala sesuatu telah ditetapkan menciptakan fondasi untuk tawakkal (penyerahan diri) yang benar. Tawakkal bukanlah berpangku tangan. Tawakkal yang sejati adalah melakukan upaya maksimal sesuai kemampuan syar'i (usaha fisik, mental, dan doa), dan setelah itu, menyerahkan hasil kepada Allah dengan penuh ketenangan, karena hasilnya mutlak di luar kendali manusia.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk mengikat unta mereka (usaha) sebelum bertawakkal. Upaya yang gigih tidak bertentangan dengan Al Qadr; sebaliknya, upaya adalah perintah Ilahi dan merupakan bagian dari Qadar kita.
2. Meningkatkan Kesabaran (Shabr) dan Syukur (Syukr)
Keimanan kepada Qadar berfungsi sebagai penghibur terbesar saat menghadapi musibah. Seorang Mukmin yang yakin bahwa cobaan itu adalah takdir yang tak terhindarkan dan telah tertulis, akan lebih mudah menerima dan bersabar. Jika terjadi bencana, kita mengucapkan “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un” (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali) karena kita yakin bahwa apa yang luput dari kita tidak akan menimpa kita, dan apa yang menimpa kita tidak akan luput dari kita.
Sebaliknya, saat mendapatkan nikmat, ia tidak akan sombong, karena ia tahu bahwa nikmat itu adalah karunia Allah yang telah ditetapkan baginya, mendorongnya untuk bersyukur.
3. Menjauhkan Diri dari Rasa Sombong dan Putus Asa
Qadar menghilangkan dua penyakit hati yang berbahaya:
- Sombong (Saat Sukses): Ketika berhasil, seorang Mukmin sadar bahwa keberhasilannya adalah rezeki dan takdir Allah, bukan murni hasil kehebatan dirinya. Ini memadamkan kesombongan.
- Putus Asa (Saat Gagal): Ketika gagal atau tertimpa musibah, seorang Mukmin tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan, karena ia tahu bahwa itu adalah ketetapan. Ia menggunakan kegagalan sebagai motivasi untuk memperbaiki upaya di masa depan.
Analisis Teologis Mendalam: Pembuktian Al Qadr dari Al-Qur'an dan Hadis
Kepercayaan kepada Al Qadr bukanlah sekadar spekulasi filosofis, tetapi merupakan doktrin yang didasarkan pada dalil-dalil kuat dari sumber utama Islam:
Dalil dari Al-Qur'an
Banyak ayat yang secara eksplisit menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas pengetahuan dan ketentuan Allah. Contoh paling kuat adalah:
Ayat ini berfungsi sebagai inti pemahaman Al Qadr artinya, yaitu segala peristiwa telah dipetakan secara Ilahi. Ayat lain menegaskan Kehendak-Nya yang mutlak: “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffat: 96). Ayat ini membuktikan tingkatan keempat (Khalq), bahwa Allah adalah Pencipta perbuatan hamba, bahkan ketika hamba tersebut adalah pelaku yang memilih.
Dalil dari As-Sunnah (Hadis)
Hadis Jibril adalah dalil paling fundamental. Ketika Jibril bertanya kepada Nabi tentang Iman, Nabi menjawab, antara lain, “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir (Qadar), yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).
Hadis lain menunjukkan urgensi keimanan ini. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah bertemu dengan sekelompok orang yang menolak Qadar. Beliau bersumpah bahwa seandainya salah satu dari mereka menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada Qadar.
Mengatasi Kekeliruan Pemahaman: Qadar Sebagai Alasan Berbuat Dosa
Kekeliruan paling umum terkait Al Qadr artinya adalah menggunakan takdir sebagai pembenaran untuk melakukan dosa atau meninggalkan kewajiban. Ini adalah argumen yang digunakan oleh orang-orang musyrik di masa lalu dan oleh sebagian orang di masa kini.
Allah menolak alasan mereka dalam ayat ini, karena mereka tahu bahwa utusan Allah telah datang membawa peringatan, namun mereka memilih untuk mendustakannya. Menggunakan Qadar sebagai alasan dosa disebut Ihtijaj bil Qadar (berhujjah dengan takdir) dan hukumnya haram, kecuali dalam dua kondisi yang disepakati ulama:
- Setelah Musibah: Diterima untuk musibah yang tidak bisa dihindari (seperti kematian atau kerugian materi), sebagai bentuk tawakkal dan kesabaran.
- Setelah Bertaubat: Diterima untuk dosa yang telah dilakukan, setelah seseorang bertaubat dan menyesal, sebagai pengakuan bahwa dosa tersebut terjadi atas izin Allah (Kehendak Kauniyah), tetapi bukan sebagai pembenaran untuk mengulanginya.
Nabi Adam AS berhujjah dengan takdirnya melawan Nabi Musa AS mengenai dosa memakan buah terlarang. Para ulama menjelaskan bahwa Adam berhujjah *setelah* dia bertaubat dan diampuni, dan yang dia gunakan adalah Qadar sebagai alasan bagi musibah (keluarnya dari Surga), bukan sebagai alasan untuk membenarkan dosanya sendiri.
Peranan 'Lailatul Qadr' dalam Kerangka Ketetapan Ilahi
Meskipun Al Qadr (takdir) adalah konsep yang berlaku sepanjang tahun, konsep ini secara spesifik terkait dengan Lailatul Qadr (Malam Ketetapan). Malam ini adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, di mana terjadi penurunan Ketetapan Tahunan (Qadar Sanawi).
Ketetapan pada Malam Qadr
Pada malam Lailatul Qadr, semua perkara yang akan terjadi selama satu tahun ke depan — rezeki, ajal, kelahiran, sakit, sembuh, dan lain-lain — dipindahkan dari Lauhul Mahfuzh kepada para Malaikat pencatat dan pelaksana. Ini adalah malam penentuan dan perincian yang mendalam, yang menjelaskan betapa presisinya Ketetapan Ilahi.
Iman kepada Al Qadr artinya mendorong umat Islam untuk mencari malam ini dengan sungguh-sungguh, karena amal ibadah pada malam itu memiliki bobot yang luar biasa, dan karena pada malam itulah takdir hidup mereka setahun ke depan dirinci. Ini menunjukkan bahwa meskipun takdir sudah tertulis, upaya dan ibadah kita adalah bagian yang menentukan bagaimana perincian takdir itu akan dilaksanakan, dan bagaimana respons kita terhadapnya.
Penerimaan Qadr disertai dengan doa dan usaha maksimal.
Filosofi dan Hikmah di Balik Ketetapan (Al Qadr)
Keimanan kepada Al Qadr artinya beriman kepada kebijaksanaan tak terbatas Allah SWT. Hikmah yang terkandung dalam keyakinan ini sangatlah banyak, beberapa di antaranya adalah:
1. Manifestasi Sifat Allah
Al Qadr adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha Tinggi, yaitu Ilmu (Pengetahuan), Kekuasaan (Qudrah), Kehendak (Masyi'ah), dan Penciptaan (Khalq). Tanpa Qadar, sifat-sifat ini tidak akan sempurna. Jika ada sesuatu yang terjadi di luar pengetahuan atau kehendak-Nya, maka Allah tidak lagi Mahatahu atau Mahakuasa. Keyakinan pada Qadar menegaskan kesempurnaan Rububiyah (Ketuhanan) Allah.
2. Sumber Ketenangan Jiwa
Di dunia yang penuh ketidakpastian, Qadar memberikan ketenangan batin. Manusia berusaha sekuat tenaga, tetapi jika hasilnya tidak sesuai harapan, ia tidak akan merasa bersalah atau menyesali keputusan masa lalu (kecuali dalam hal dosa). Ini membebaskan hati dari belenggu 'seandainya' (law), sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata: ‘Seandainya aku berbuat begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah: ‘Itu sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.’ Karena perkataan ‘seandainya’ akan membuka pintu bagi perbuatan setan.” (HR. Muslim).
3. Pendorong Utama Perbaikan Diri
Beberapa orang salah mengira bahwa Qadar mendorong kemalasan. Justru sebaliknya. Qadar mendorong seorang Mukmin untuk berbuat sebaik mungkin, karena ia tidak tahu apa yang telah ditetapkan baginya. Jika ia ditetapkan sebagai penghuni surga, ia akan mendapatkan kemudahan menuju amal orang surga; jika ditetapkan sebagai penghuni neraka, ia akan mudah menuju amal orang neraka.
Oleh karena kita tidak tahu takdir kita, kita diperintahkan untuk beramal. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang diciptakan untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah perintah yang tegas untuk aktif berbuat baik dan bukan menunggu takdir.
Kesalahpahaman Modern tentang Determinisme dan Ikhtiyar
Dalam ilmu pengetahuan modern, sering muncul perdebatan mengenai determinisme (segala sesuatu ditentukan) versus kehendak bebas. Islam menawarkan solusi unik yang tidak sepenuhnya fatalis (Jabariyah) dan tidak sepenuhnya menganut kehendak bebas tanpa batas (Qadariyah).
Mekanisme Ikhtiyar dalam Sains dan Islam
Menurut pandangan Islam, Allah menciptakan sebab dan akibat. Manusia diberikan akal dan pilihan untuk memilih sebab, tetapi Allah menciptakan akibatnya. Misalnya, ketika Anda memilih untuk mengangkat tangan (sebab), otot dan saraf Anda bergerak. Gerakan otot dan saraf itu (akibat) diciptakan oleh Allah. Anda bertanggung jawab atas niat mengangkat tangan, tetapi Allah adalah Pencipta proses fisiknya.
Ini membedakan Islam dari filosofi materialis yang meyakini bahwa pilihan manusia hanyalah reaksi kimia murni tanpa ada campur tangan spiritual atau Ilahi. Al Qadr artinya menegaskan bahwa setiap peristiwa, bahkan niat hati terdalam, tercakup dalam pengetahuan, kehendak, dan penciptaan Allah.
Keyakinan ini menghasilkan pribadi yang teguh. Ketika ia beramal, ia yakin amalannya memiliki makna karena ia memilihnya. Ketika ia menerima hasil, ia tenang karena yakin ini adalah Ketentuan Allah yang penuh hikmah, sekalipun ia tidak memahaminya.
Penutup: Intisari Al Qadr bagi Kehidupan Seorang Muslim
Al Qadr artinya lebih dari sekadar takdir; ia adalah inti dari Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam penciptaan dan pengurusan alam semesta). Ini adalah penegasan bahwa Allah adalah Pencipta, Pengatur, dan Pemilik Mutlak. Keimanan ini memanusiakan manusia (memberi tanggung jawab pilihan) sekaligus meng-Ilahi-kan Allah (menegaskan kuasa mutlak-Nya).
Seorang Muslim sejati menjalani hidupnya di antara dua keyakinan yang indah:
- Saat Berusaha: Ia bertindak dengan energi penuh, mengetahui bahwa ia bertanggung jawab atas pilihannya dan upayanya. Ia tidak boleh berdalih dengan Qadar saat berbuat dosa atau meninggalkan kewajiban.
- Saat Menerima Hasil: Ia menerima dengan lapang dada, baik kesuksesan maupun kegagalan, mengetahui bahwa hasil akhir itu adalah Ketentuan yang terbaik dan penuh hikmah dari Allah Yang Maha Tahu.
Dengan demikian, Al Qadr memberikan pedoman moral, motivasi spiritual, dan ketenangan psikologis yang tak tertandingi. Kehidupan menjadi arena ujian di mana manusia dituntut memilih kebaikan, dan hasilnya diserahkan kepada Pemilik Takdir, Allah SWT.
Penting untuk terus mendalami pembahasan mengenai Qadha dan Qadar ini dengan hati-hati, merujuk kepada sumber-sumber yang sahih, agar terhindar dari pemahaman yang fatalis atau libertarian yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam kesimpulannya yang luas, pemahaman komprehensif tentang Al Qadr artinya adalah pengakuan total terhadap kekuasaan Allah yang mencakup segala hal, baik yang tersembunyi maupun yang nyata, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi, memastikan bahwa keadilan, kebijaksanaan, dan ilmu-Nya melingkupi setiap detik eksistensi di alam semesta ini. Ini adalah Rukun Iman yang menuntut penyerahan diri secara total dalam bingkai usaha yang maksimal.
Ulama klasik sering menekankan bahwa masalah Al Qadr terlalu pelik untuk dipahami sepenuhnya oleh akal manusia yang terbatas, sehingga jalan terbaik adalah menerimanya secara mutlak dalam bingkai syariat. Kita tahu bahwa kita diperintahkan untuk salat, puasa, dan berakhlak baik; ini adalah bagian dari Qadar Syar’i yang harus kita penuhi dengan Ikhtiyar kita. Kegagalan kita dalam hal ini tidak boleh dijadikan dalih, melainkan sebagai penyesalan dan peluang untuk bertaubat, yang mana taubat itu sendiri juga merupakan Qadar yang Allah mudahkan bagi hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Setiap Muslim harus mencari keseimbangan. Keimanan yang benar adalah seperti dua sayap burung: satu sayap adalah keyakinan mutlak pada Qadar Allah, dan sayap lainnya adalah usaha dan amal saleh tanpa henti. Jika salah satu sayap patah, maka burung tersebut tidak dapat terbang menuju Allah SWT. Kehidupan ini, dengan segala kompleksitas dan misterinya, adalah manifestasi dari Al Qadr yang Agung.