Ilustrasi Burung Ababil membawa batu Sijjil dalam peristiwa penyerangan Ka'bah.
Studi mengenai urutan pewahyuan (Nuzulul Qur’an) merupakan salah satu disiplin ilmu Al-Qur'an yang paling fundamental namun kompleks. Hal ini karena urutan mushaf (tartib tilawah) seringkali berbeda secara signifikan dengan urutan kronologis pewahyahan (tartib nuzuli). Pemahaman yang tepat mengenai urutan kronologis ini sangat penting untuk memahami konteks historis, perkembangan dakwah Nabi Muhammad, serta evolusi ajaran Islam dari fase permulaan di Mekkah hingga fase pembentukan masyarakat di Madinah.
Fokus kita dalam artikel ini adalah Surah Al-Fil (Surah ke-105 dalam mushaf), yang menceritakan kisah ajaib tentang kehancuran pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, yang bertujuan menghancurkan Ka'bah. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Tahun Gajah, terjadi tepat sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Namun, kapan surah ini diwahyukan relatif terhadap surah-surah lainnya? Untuk menjawab pertanyaan spesifik: Surah Al-Fil diturunkan setelah surah apa dalam urutan kronologis, kita harus merujuk pada daftar kronologi yang disusun oleh para ulama terdahulu.
Menurut mayoritas riwayat dan penelitian kronologis yang diakui, khususnya yang didasarkan pada daftar yang dikaitkan dengan sahabat seperti Jabir bin Zaid atau riwayat dari Ibn Abbas mengenai surah-surah awal Mekkah, Surah Al-Fil diyakini berada di urutan ke-19 dalam kronologi pewahyuan secara keseluruhan.
Jika Surah Al-Fil adalah surah ke-19 yang diturunkan, maka surah yang tepat mendahuluinya, yakni surah yang menempati urutan ke-18, adalah Surah Al-Qadr (Surah ke-97 dalam mushaf). Urutan ini menempatkan Surah Al-Fil pada periode awal sekali dakwah Nabi Muhammad di Mekkah (Fase Mekkah Awal), ketika penekanan utama wahyu adalah pada dasar-dasar tauhid, kekuasaan Allah yang mutlak, dan pengingat akan peristiwa-peristiwa bersejarah yang menunjukkan intervensi Ilahi.
Surah Al-Qadr, yang secara harfiah berarti 'Kemuliaan' atau 'Ketetapan', membahas tentang diturunkannya Al-Qur'an itu sendiri pada malam Lailatul Qadr. Meskipun kontennya tampak kosmologis dan terfokus pada proses pewahyuan, penempatannya sebelum Al-Fil memberikan kontras yang menarik: wahyu ke-18 berbicara tentang kekuatan yang mengendalikan alam semesta (melalui malaikat dan Ruh), sementara wahyu ke-19 (Al-Fil) memberikan bukti nyata kekuatan tersebut dalam sejarah lokal bangsa Arab.
Surah Al-Fil adalah salah satu surah yang memiliki koneksi historis paling erat dengan kehidupan Nabi Muhammad, karena ia lahir di tahun yang sama dengan peristiwa yang diceritakan—Tahun Gajah. Meskipun kisah ini sudah diketahui oleh penduduk Mekkah sebagai sebuah mukjizat yang melindungi Ka'bah, pewahyuan surah ini oleh Allah memiliki beberapa fungsi kritis pada fase awal dakwah:
Kronologi penempatan surah ini setelah Al-Qadr menunjukkan bahwa setelah Allah S.W.T. menetapkan permulaan wahyu-Nya (Al-Qadr), Dia segera menunjukkan bukti empiris tentang kekuasaan-Nya di masa lalu yang sangat relevan bagi audiens Mekkah (Al-Fil). Urutan ini membangun fondasi iman: pertama, sumber wahyu itu mulia dan agung (Al-Qadr); kedua, Tuhan dari wahyu itu adalah Pelindung Sejati (Al-Fil).
Untuk memahami mengapa Surah Al-Fil diturunkan setelah Surah Al-Qadr, kita harus membedah inti teologis dari Al-Qadr (Surah 97). Surah ini sangat singkat namun memuat keagungan yang tak terhingga. Ayat pertamanya berbunyi:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan."
Surah Al-Qadr menetapkan dua prinsip kosmik:
1. Keutamaan Waktu Ilahi: Lailatul Qadr dijelaskan lebih baik dari seribu bulan. Ini menekankan pentingnya waktu dan keputusan Ilahi. Sebelum Nabi diberi tugas untuk mendakwahkan kisah-kisah historis yang berat (seperti Al-Fil), ia pertama kali harus menerima pemahaman tentang kemuliaan alat yang ia pegang (Al-Qur'an itu sendiri).
2. Interaksi Malaikat dan Ruh: Surah ini menyebutkan turunnya malaikat dan Ar-Ruh (Jibril atau Ruh Kudus) pada malam itu. Ini adalah gambaran tentang tata kelola langit, menunjukkan bahwa seluruh tatanan kosmik tunduk pada perintah Allah. Setelah pewahyuan ini, Surah Al-Fil datang untuk menunjukkan bahwa tata kelola yang sama yang mengatur malaikat di langit juga mengatur burung dan batu di bumi untuk tujuan spesifik, yaitu melindungi rumah-Nya.
Koneksi antara Al-Qadr dan Al-Fil adalah sinergis. Al-Qadr mendirikan konsep Kekuatan Transenden dan pewahyuan yang datang dari sana. Al-Fil memberikan studi kasus empiris mengenai bagaimana Kekuatan Transenden tersebut dapat memanifestasikan diri dalam sejarah profan untuk mencapai tujuan suci. Ini adalah strategi dakwah yang cerdas, mulai dari yang abstrak (wahyu) menuju yang konkret (mukjizat sejarah).
Penentuan urutan Nuzul tidak dilakukan secara acak, melainkan berdasarkan kesaksian para sahabat yang menyaksikan langsung wahyu tersebut. Urutan 1-17 biasanya mencakup surah-surah yang fokus pada pembersihan jiwa dan tugas kenabian, seperti Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzzammil, dan Al-Muddatstsir. Setelah tugas kenabian ditetapkan, wahyu beralih ke demonstrasi kekuasaan Tuhan dan peringatan historis.
Penempatan Surah Al-Fil (ke-19) di tengah surah-surah yang sangat pendek dan bertema inti keimanan awal menunjukkan posisinya yang fundamental. Ia berfungsi sebagai 'bukti pameran' mukjizat Tuhan di lingkungan terdekat kaum Quraisy, yang masih segar dalam ingatan kolektif mereka. Keberadaannya diapit oleh surah yang membahas keagungan Al-Qur'an (Al-Qadr) dan surah yang membahas nilai waktu dan kerugian manusia (Al-Ashr) memberikan kerangka teologis yang kokoh bagi para mualaf awal.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai mengenai mengapa Surah Al-Fil harus mengikuti Surah Al-Qadr, kita perlu mengkaji struktur retoris dari Al-Fil. Surah ini dimulai dengan pertanyaan retoris yang kuat.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?”
Penggunaan frasa أَلَمْ تَرَ (Alam Tara), yang berarti "Tidakkah engkau lihat/perhatikan," adalah kunci. Meskipun Nabi Muhammad secara fisik tidak menyaksikan peristiwa tersebut (karena ia baru lahir pada tahun itu), frasa ini tidak merujuk pada penglihatan mata, melainkan pada pengetahuan yang pasti dan tak terbantahkan. Ini adalah panggilan untuk merenungkan kebenaran historis yang diakui oleh semua orang. Setelah Al-Qadr menegaskan bahwa Allah telah berbicara, Al-Fil menegaskan bahwa Allah telah bertindak.
Kajian leksikal yang lebih dalam menunjukkan bahwa pertanyaan ini ditujukan tidak hanya kepada Nabi, tetapi juga kepada setiap individu Quraisy yang masih hidup dan yang telah mewarisi cerita tersebut. Bagi mereka, Tahun Gajah adalah penanda kalender, sebuah titik acuan sejarah. Dengan demikian, wahyu ini memaksa mereka menghubungkan peristiwa masa lalu yang mereka anggap sebagai keberuntungan suku mereka, dengan Kekuasaan Allah yang Maha Esa, Kekuasaan yang sama yang telah diuraikan secara kosmik dalam Surah Al-Qadr.
Surah Al-Fil secara retoris memaparkan kehancuran total strategi musuh:
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
“Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) sia-sia?” (Ayat 2)
Kata كَيْد (Kaid) merujuk pada tipu daya, rencana jahat, atau strategi. Abrahah datang dengan perencanaan militer yang matang: pasukan besar, gajah sebagai ‘tank’ tempur zaman itu, dan tujuan yang jelas. Allah menamai upaya ini sebagai 'tipu daya' dan menyatakannya 'sia-sia' (تَضْلِيلٍ). Ini adalah pernyataan teologis yang mendalam: tidak peduli seberapa canggih rencana manusia (pasukan Gajah), jika bertentangan dengan kehendak Ilahi, ia akan berakhir dengan kekacauan dan kesesatan total.
Kemudian, datanglah deskripsi agen Ilahi:
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ * تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
“Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Ababil), Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari Sijjil.” (Ayat 3-4)
Penggunaan طَيْرًا أَبَابِيلَ (Thairan Ababil), yang secara harfiah berarti 'burung-burung berombongan', menekankan sifat kejutan dan keagungan dari intervensi tersebut. Ini adalah antitesis sempurna dari pasukan gajah yang besar dan terlatih. Kontras antara yang kecil dan yang besar ini merupakan tema sentral dalam ajaran Al-Qur'an: kekuatan militer dan material tidak ada artinya di hadapan kehendak Allah. Burung-burung ini membawa سِجِّيلٍ (Sijjil), yang ditafsirkan sebagai batu yang keras, mungkin berasal dari tanah yang terbakar atau lava, menunjukkan hukuman yang spesifik dan mematikan.
Surah Al-Fil, sebagai wahyu ke-19, adalah penutup yang sempurna untuk rangkaian wahyu awal yang bertujuan untuk membangun keyakinan mutlak pada Qudratullah (Kekuasaan Allah). Setelah mengetahui bahwa Al-Qur'an adalah firman yang diturunkan pada malam ketetapan ilahi, kini mereka dihadapkan pada bukti bahwa ketetapan ilahi itu telah menyelamatkan Mekkah dari kehancuran fisik.
Setelah Surah Al-Fil (ke-19), kronologi menunjukkan bahwa surah berikutnya adalah Surah Al-Ashr (ke-20). Transisi ini juga sangat logis dan menunjukkan perkembangan tematik yang terstruktur dalam dakwah awal.
Jika Al-Fil berfokus pada kekuatan Allah dalam sejarah masa lalu (proteksi Ka'bah), Surah Al-Ashr (Surah 103) berfokus pada kondisi manusia di masa kini dan masa depan. Al-Ashr menyatakan:
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian.”
Setelah Allah menunjukkan bahwa Dia mampu melindungi tempat suci-Nya dan menghancurkan musuh, wahyu selanjutnya mengingatkan manusia bahwa mereka sendiri berada dalam kondisi merugi kecuali mereka berpegang pada empat prinsip fundamental: iman, amal saleh, saling menasihati dalam kebenaran (al-haqq), dan saling menasihati dalam kesabaran (as-shabr). Al-Fil menunjukkan apa yang Allah lakukan; Al-Ashr menunjukkan apa yang manusia harus lakukan sebagai respons terhadap Allah yang maha kuasa itu.
Urutan Nuzul ini adalah kurikulum Ilahi yang sistematis:
Dalam mushaf, Surah Al-Fil (105) segera diikuti oleh Surah Quraisy (106). Secara tematik, kedua surah ini sangat erat terikat, bahkan beberapa ulama klasik menganggapnya sebagai satu surah yang terpisah oleh Bismillah. Surah Quraisy berbunyi:
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy...”
Surah Quraisy berbicara tentang nikmat Allah yang diberikan kepada suku Quraisy, yaitu keamanan dan kemudahan perjalanan mereka di musim dingin dan musim panas, yang dimungkinkan karena keberadaan Ka'bah yang dihormati. Logika tematiknya sangat kuat: Allah menghancurkan musuh (Al-Fil) agar Quraisy tetap aman dan makmur (Quraisy). Namun, secara kronologis (tartib nuzuli), mayoritas ulama menempatkan Surah Quraisy jauh setelah Al-Fil dan Al-Ashr, menunjukkan bahwa meskipun kedua surah ini membahas tema yang sama, pewahyuannya tidak berurutan.
Beberapa pendapat minoritas memang menyarankan agar Surah Al-Fil dan Surah Quraisy diturunkan secara berurutan atau bahkan bersamaan. Namun, penelitian Nuzul yang lebih ketat cenderung memisahkan keduanya. Ini menekankan pentingnya membedakan antara kesatuan tematik dalam mushaf dan kronologi historis pewahyuan. Dalam konteks kronologis, penegasan bahwa Surah Al-Fil diturunkan setelah Surah Al-Qadr tetap menjadi pandangan yang paling kuat.
Peristiwa Gajah bukan sekadar kisah lokal, melainkan salah satu titik balik terpenting dalam sejarah Arab pra-Islam, yang secara langsung memengaruhi penerimaan Surah Al-Fil sebagai wahyu ke-19.
Gajah (disebut Mahmud) adalah simbol kekuatan militer tak tertandingi di abad keenam Masehi di Jazirah Arab. Kehadiran gajah dalam pasukan Abrahah adalah bentuk unjuk kekuatan yang dimaksudkan untuk melumpuhkan moral musuh sebelum pertempuran dimulai. Kekalahan total pasukan gajah bukan hanya kekalahan militer, tetapi kekalahan ideologis. Mereka yang percaya bahwa kekuatan materi dan teknologi adalah segalanya dipermalukan di hadapan burung-burung kecil yang membawa batu-batu kecil.
Pewahyuan Surah Al-Fil pada periode awal kenabian—setelah Al-Qadr menetapkan kedaulatan Tuhan di langit—memastikan bahwa audiens Nabi memahami: Tuhan yang mengutus Muhammad adalah Tuhan yang sama yang telah melindungi mereka dari Abrahah. Pesan ini relevan karena saat itu Quraisy mulai menentang Nabi. Mereka dilindungi dari musuh luar di masa lalu, tetapi kini mereka harus tunduk kepada Pelindung itu sendiri.
Surah Al-Fil menunjukkan bahwa konsep Kekuasaan Ilahi (Qudratullah) bukan hanya teori, melainkan fakta historis. Ini adalah salah satu demonstrasi kekuasaan yang paling gamblang, sebuah prolog yang sempurna sebelum datangnya tuntutan moral yang lebih berat, seperti yang ada dalam surah-surah yang akan diturunkan kemudian.
Surah Al-Qadr memberikan penekanan kuat pada takdir (qadr) dan ketetapan yang turun dari langit. Ini berpotensi membuat manusia merasa pasrah. Namun, Surah Al-Fil segera menyusul, memberikan contoh konkret bahwa takdir ilahi bekerja melalui cara-cara yang tak terduga (burung Ababil). Ini adalah cara Qur'an untuk mengajarkan keseimbangan antara keyakinan pada takdir yang absolut dan peran manusia dalam sejarah.
Jika Surah Al-Fil diturunkan jauh kemudian, dampaknya mungkin tidak sekuat itu. Penempatannya sebagai surah ke-19 menjadikannya penguat iman yang sangat diperlukan pada saat Nabi dan pengikutnya yang kecil mulai menghadapi penindasan yang meningkat dari kaum Quraisy. Ini memberi mereka keyakinan bahwa Allah yang telah menghancurkan Abrahah tidak akan membiarkan musuh-musuh kebenaran menang.
Maka, penetapan bahwa Surah Al-Fil diwahyukan setelah Surah Al-Qadr adalah hasil dari analisis yang mendalam tidak hanya pada urutan numerik, tetapi juga pada kematangan teologis dan retoris dari setiap wahyu dalam kerangka dakwah Nabi Muhammad pada periode Mekkah Awal.
Tafsir Nuzuli adalah metodologi penafsiran yang sangat bergantung pada urutan kronologis pewahyuan. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita melihat Al-Qur'an sebagai sebuah ‘buku’ yang diungkapkan secara bertahap, mirip dengan sebuah novel atau naskah drama yang berlatar belakang sejarah yang bergerak maju. Dalam skema ini, penempatan Al-Fil (ke-19) setelah Al-Qadr (ke-18) sangat logis karena ia mengisi kebutuhan audiens awal akan konfirmasi empiris mengenai kekuatan Tuhan yang baru saja didefinisikan secara konseptual. Tanpa urutan ini, logika dakwah awal terasa kurang lengkap.
Jika Surah Al-Fil adalah demonstrasi konkret tentang kekuatan Ilahi, maka ia harus diwahyukan sebelum surah-surah yang menuntut perubahan perilaku yang radikal. Surah-surah berikutnya, seperti Al-Ashr (yang menuntut kesabaran) dan Surah Al-Kafirun (yang menuntut pemisahan ideologis), memerlukan dasar keyakinan yang kuat. Al-Fil menyediakan dasar keyakinan ini dengan menceritakan peristiwa yang mustahil untuk disangkal oleh kaum Quraisy.
Kehancuran pasukan gajah memberikan implikasi psikologis yang mendalam bagi suku Quraisy. Mereka merasa diri mereka adalah "Ahli Ka'bah" (penjaga rumah Tuhan) dan menikmati prestise di seluruh Arab, yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dagang dengan aman (yang kemudian ditekankan dalam Surah Quraisy).
Pewahyuan Surah Al-Fil mengingatkan mereka bahwa keamanan dan kehormatan mereka bukan karena kekuatan militer atau kecerdasan dagang mereka, tetapi murni karena perlindungan Ilahi. Pada saat Nabi Muhammad mulai menyuarakan tauhid dan menyerang berhala-berhala mereka, kaum Quraisy secara ironis menjadi pihak yang lupa akan mukjizat yang terjadi tepat sebelum kelahiran Nabi mereka. Surah Al-Fil adalah pengingat yang menyengat: "Tidakkah kamu lihat bagaimana Tuhanmu melakukan hal itu, dan mengapa sekarang kamu ragu akan Kekuatan-Nya yang sama?"
Surah ini, yang diwahyukan setelah Al-Qadr, adalah bukti yang tidak dapat mereka bantah. Mereka mungkin bisa membantah klaim Nabi tentang Hari Kebangkitan atau surga/neraka, tetapi mereka tidak bisa membantah fakta bahwa Ka'bah diselamatkan dari pasukan gajah. Ini adalah contoh keajaiban yang ada dalam memori kolektif mereka, yang diposisikan secara strategis untuk mendukung pesan inti tauhid.
Sering terjadi kebingungan mengenai urutan surah-surah pendek Mekkah. Secara tematik, Al-Fil (105), Quraisy (106), Al-Ma’un (107), dan Al-Kautsar (108) tampak berdekatan. Namun, secara kronologis, terdapat jeda yang signifikan:
Perbedaan penempatan ini disebabkan oleh perbedaan fokus tematik. Surah Al-Fil fokus pada kedaulatan Allah melalui mukjizat sejarah. Surah-surah seperti Al-Ma'un, yang berfokus pada kritik sosial terhadap orang-orang munafik yang lalai terhadap anak yatim dan fakir miskin, membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang, yaitu setelah komunitas Muslim terbentuk dan sifat kemunafikan mulai muncul. Oleh karena itu, Surah Al-Ma'un secara logis datang belakangan. Sementara itu, Surah Al-Qadr (dengan fokusnya pada permulaan wahyu) harus mendahului hampir semua surah lain yang memberikan konten wahyu.
Kesimpulannya, dalam kajian kronologis yang paling ketat dan diterima, jeda waktu antara pewahyuan Surah Al-Qadr dan Surah Al-Fil adalah singkat, tetapi signifikansinya besar, menandai transisi dari pengukuhan sumber wahyu menuju justifikasi historis dari Kekuatan yang menyampaikan wahyu tersebut.
Kita dapat melihat Surah Al-Qadr dan Surah Al-Fil sebagai pasangan teologis yang sempurna dalam kurikulum awal Al-Qur'an. Ini bukan hanya sekadar urutan angka, tetapi sebuah strategi pewahyuan yang mengikat konsep dan realitas:
Al-Qadr: Menjelaskan kekuasaan Allah yang tak terlihat (ghaib)—Malaikat, Ruh, ketetapan Ilahi, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Ini adalah fondasi metafisik.
Al-Fil: Menjelaskan kekuasaan Allah yang terlihat (syahadah)—kehancuran nyata pasukan gajah di depan mata saksi sejarah. Ini adalah bukti fisik.
Dengan menempatkan yang ghaib sebelum yang terlihat, Allah memastikan bahwa keyakinan kaum mukmin didasarkan pada prinsip teologis yang mendalam, yang kemudian diperkuat oleh contoh historis yang tak terbantahkan. Tanpa keyakinan yang diletakkan oleh Al-Qadr, Surah Al-Fil hanyalah sebuah cerita rakyat yang menarik. Namun, karena ia mengikuti Al-Qadr, kisah Al-Fil berubah menjadi bukti nyata bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pencipta yang Agung senantiasa aktif dalam melindungi kebenaran dan menghancurkan kezaliman.
Kepaduan antara kedua surah ini memberikan landasan spiritual yang kuat bagi Nabi Muhammad untuk melanjutkan dakwahnya di tengah tekanan yang semakin meningkat di Mekkah. Ia dapat selalu merujuk kembali kepada dua fakta tak terbantahkan: keagungan wahyu yang ia bawa (Al-Qadr) dan perlindungan historis Allah atas pusat keyakinan mereka (Al-Fil). Hubungan erat ini mempertegas mengapa penempatan Surah Al-Fil diturunkan setelah Surah Al-Qadr adalah urutan yang paling masuk akal secara teologis dan kronologis dalam konteks sejarah dakwah awal Islam.
Meskipun peristiwa Gajah terjadi ribuan tahun lalu, dan Surah Al-Fil diwahyukan sebagai surah ke-19, pesan yang terkandung di dalamnya memiliki resonansi yang abadi. Pesan ini bukan hanya tentang perlindungan Ka'bah, tetapi tentang janji Allah untuk menjaga kebenaran dari segala bentuk tipu daya dan kezaliman yang mengandalkan kekuatan materi semata. Dalam setiap zaman, akan ada 'Ashab Al-Fil' yang mencoba menghancurkan nilai-nilai suci dengan kekuatan dan strategi duniawi. Dan dalam setiap zaman, akan ada 'Tair Ababil' (Agen Ilahi) yang bekerja dengan cara yang paling sederhana dan tak terduga untuk menggagalkan rencana tersebut.
Surah Al-Fil mengajarkan bahwa ukuran kekuatan sejati bukanlah pada jumlah pasukan, ukuran senjata, atau kekayaan, melainkan pada kehendak Allah semata. Ini adalah pelajaran yang disampaikan oleh Al-Qur'an pada fase awal pewahyuan, segera setelah penetapan kemuliaan wahyu itu sendiri (Al-Qadr), untuk memastikan bahwa para pengikut awal mengakar kuat pada keyakinan terhadap Kekuatan Transenden yang Mutlak.
Pemahaman yang cermat mengenai urutan pewahyuan surah-surah Al-Qur'an, terutama surah-surah pendek Mekkah yang fundamental, adalah kunci untuk membuka kekayaan makna dan strategi dakwah yang tertanam di dalam Kitab Suci. Dan dalam konteks Surah Al-Fil, posisi ke-19 setelah Surah Al-Qadr (ke-18) adalah sebuah penanda historis yang tak ternilai harganya, menegaskan hubungan dialektis antara wahyu (Al-Qadr) dan pembuktian historis (Al-Fil).
Periode ketika Surah Al-Fil dan Surah Al-Qadr diturunkan dikenal sebagai Periode Mekkah Awal (sekitar tahun 1-3 kenabian). Ciri utama dari wahyu pada periode ini adalah:
Surah Al-Fil memenuhi semua kriteria ini. Ia pendek, ritmis, dan secara langsung berfungsi sebagai peringatan historis terhadap siapa pun yang berani menentang Allah, baik itu musuh asing (Abrahah) maupun internal (Quraisy yang menolak Nabi). Karena itu, penempatannya yang sangat awal dalam kronologi Nuzul adalah esensial untuk membangun dasar argumen teologis Islam.
Pewahyuan Surah Al-Qadr, yang mengagungkan proses penurunan Kitabullah, segera diikuti oleh Al-Fil, yang mengagungkan intervensi Tuhan dalam sejarah. Kombinasi ini menegaskan bahwa seluruh keberadaan, mulai dari dimensi kosmik (Lailatul Qadr) hingga dimensi historis bumi (Peristiwa Gajah), berada di bawah kendali tunggal Sang Pencipta.
Kekuatan Surah Al-Fil juga terletak pada kemampuannya menggunakan bahasa Arab klasik dengan sangat efisien untuk menyampaikan kisah yang kompleks. Penggunaan kata kerja di masa lampau (*fa'ala*, *ja'ala*, *arsala*, *tarmihim*, *ja'alahum*) menggarisbawahi bahwa peristiwa ini adalah fakta yang telah terjadi dan tidak dapat diubah.
Kata kunci *Makul* (dimakan, dimamah) pada ayat terakhir, فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ, yang berarti 'lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat/binatang', memberikan citra kehancuran total. Daun yang telah dimakan tidak memiliki bentuk, tidak berharga, dan telah hancur. Ini adalah metafora yang brutal namun indah untuk menggambarkan nasib pasukan yang arogan dan penuh tipu daya (kaid). Kekuatan retoris ini, yang diwahyukan setelah Surah Al-Qadr menetapkan kemuliaan Bahasa Wahyu itu sendiri, menunjukkan bagaimana bahasa Al-Qur'an bekerja: singkat, padat, dan menghujam langsung ke inti persoalan historis dan teologis.
Semua analisis, baik dari sisi historis, teologis, maupun linguistik, terus mengarah pada kesimpulan yang konsisten: Surah Al-Fil diturunkan setelah Surah Al-Qadr, dan penempatan ini adalah bagian dari arsitektur pewahyuan yang sengaja dirancang untuk membangun fondasi keyakinan yang kokoh pada masa-masa paling awal kenabian.
Dengan demikian, Al-Qadr adalah deklarasi kedaulatan Tuhan melalui wahyu, sementara Al-Fil adalah demonstrasi kedaulatan Tuhan melalui tindakan nyata di dunia manusia.
Keseluruhan kerangka Nuzulul Qur’an menempatkan Surah Al-Fil, yang bertindak sebagai pengingat mukjizat historis, sebagai wahyu ke-19, segera setelah Surah Al-Qadr (wahyu ke-18), yang menegaskan kemuliaan dan sumber otoritas Al-Qur'an. Ini bukan hanya sebuah angka dalam daftar, tetapi sebuah langkah penting dalam strategi pendidikan Ilahi. Surah Al-Fil adalah penutup yang kuat untuk fase pendefinisian kedaulatan Allah, membuka jalan bagi instruksi etika dan sosial yang akan mendominasi wahyu-wahyu berikutnya.
Keyakinan ini diperkuat oleh fakta bahwa setelah Surah Al-Fil, wahyu beralih ke Surah Al-Ashr (ke-20), yang merupakan panggilan universal kepada seluruh umat manusia menuju kebenaran dan kesabaran, sebuah tuntutan yang hanya dapat ditekankan setelah Kekuatan Pemberi Tuntutan telah dibuktikan secara kosmik dan historis.
Seluruh urutan ini mencerminkan kebijaksanaan tak terbatas dalam menurunkan firman-Nya kepada manusia secara bertahap, menjamin bahwa setiap wahyu memiliki tempat dan waktu yang sempurna dalam perjalanan dakwah kenabian.
***
***
Pengulangan analisis mendalam ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai mengapa Surah Al-Fil berada pada posisi kronologisnya yang unik. Setiap surah dalam Al-Qur'an memiliki peran spesifik dalam narasi pewahyuan, dan peran Al-Fil adalah sebagai saksi bisu, sebagai bukti nyata yang tidak dapat dibantah. Kita kembali merenungkan poin-poin kunci dari hubungan Surah Al-Qadr dan Surah Al-Fil dalam urutan pewahyuan mereka. Surah Al-Qadr, dengan nuansa mistis dan kosmiknya, adalah pengantar yang menakjubkan. Ia mendefinisikan Lailatul Qadr sebagai malam turunnya ketetapan Ilahi. Ketetapan ini adalah fondasi dari seluruh tata surya dan seluruh sejarah manusia. Ketika Surah Al-Fil datang setelahnya, ia mengambil konsep ketetapan Ilahi dan menurunkannya ke tingkat pengalaman manusiawi yang paling konkret, yaitu penyelamatan sebuah struktur fisik (Ka'bah) dari kehancuran militer yang tak terhindarkan. Tanpa pemahaman tentang kekuatan kosmik yang dibahas dalam Al-Qadr, mukjizat Al-Fil hanya akan dilihat sebagai keberuntungan semata. Namun, dalam urutan Nuzul yang benar, mukjizat Al-Fil adalah manifestasi langsung dari 'ketetapan' yang agung yang telah dibicarakan sebelumnya.
Penting untuk menggarisbawahi mengapa Surah Al-Fil tidak bisa diturunkan lebih awal. Surah-surah yang mendahului Al-Qadr, seperti Al-Alaq dan Al-Muzammil, berfokus pada pelatihan spiritual dan mental Nabi Muhammad. Mereka adalah instruksi pribadi yang membangun kapasitas kenabian. Baru setelah Nabi dipersiapkan, Al-Qadr datang untuk memberikan pengakuan atas Al-Qur'an itu sendiri sebagai kekuatan yang mendefinisikan. Dengan Al-Qadr di tangan, barulah Nabi siap untuk menggunakan kisah historis seperti Al-Fil sebagai bukti publik yang meyakinkan. Ini adalah metodologi dakwah yang sempurna: pembentukan karakter individu, pengakuan sumber otoritas, dan kemudian presentasi bukti yang tak terbantahkan. Surah Al-Fil melayani fungsi bukti ini dengan kejelasan yang luar biasa. Oleh karena itu, penempatan surah ini setelah Surah Al-Qadr bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari perencanaan wahyu yang sangat terstruktur.
Analisis lebih lanjut mengenai Surah Al-Fil melibatkan detail historis yang menopang klaimnya. Pasukan gajah Abrahah adalah perwakilan dari Kekristenan Etiopia yang ingin mendominasi Jazirah Arab dan mengalihkan ziarah ke gereja besar yang mereka bangun di Yaman. Tujuan mereka bukan hanya menghancurkan Ka'bah, tetapi menghancurkan seluruh sistem kepercayaan dan ekonomi Quraisy. Kehancuran total yang digambarkan dalam Al-Fil (menjadi seperti 'daun dimakan ulat') menunjukkan bahwa Allah tidak hanya menggagalkan rencana mereka; Dia memusnahkan mereka sebagai sebuah entitas militer. Surah Al-Fil, diwahyukan setelah Al-Qadr, adalah penegasan kepada Nabi bahwa meskipun sumber dayanya kecil dan musuhnya besar, Tuhan yang sama yang melindungi Ka'bah dari kekuatan super regional juga akan melindungi dakwahnya dari oposisi lokal Quraisy.
Dalam konteks leksikal, penggunaan frasa *Alam tara* (tidakkah engkau perhatikan) berulang kali ditekankan karena maknanya yang multidimensi. Ini bukan hanya pertanyaan tentang penglihatan fisik, tetapi juga tentang pengamatan intelektual dan spiritual. Meskipun Nabi secara teknis tidak 'melihat' kejadian itu, seluruh masyarakat di sekitarnya telah 'melihat' dan menyaksikan efeknya. Dengan meletakkan peristiwa historis yang terjadi sebelum kelahiran Nabi sebagai bagian dari wahyu, Allah menunjukkan bahwa peristiwa sejarah tertentu telah ditentukan jauh sebelumnya, menegaskan kembali konsep ketetapan ilahi yang dibahas dalam Al-Qadr. Ini adalah cara Al-Qur'an mengintegrasikan waktu dan takdir, memastikan bahwa para audiens awal memahami bahwa pesan Nabi adalah sebuah kesinambungan historis dan bukan inovasi baru tanpa akar.
Perbedaan antara Surah Al-Fil dan Surah Quraisy dalam urutan Nuzul, meskipun temanya sangat terkait, memerlukan elaborasi lebih lanjut. Surah Quraisy (106) menekankan nikmat Allah berupa keamanan dan makanan (*al-īlāf*, kebiasaan bepergian untuk dagang). Beberapa ulama menempatkan Quraisy jauh kemudian dalam kronologi karena ia berbicara tentang nikmat yang telah mapan dan menjadi kebanggaan suku Quraisy. Sementara Al-Fil fokus pada hukuman dan kehancuran tipu daya, Quraisy fokus pada syukur atas kelangsungan hidup dan kemakmuran yang dijamin oleh Allah. Meskipun logis secara tema untuk menyandingkan keduanya, kesenjangan kronologis menunjukkan bahwa Allah memilih untuk fokus pada demonstrasi kekuatan (*Al-Fil*) terlebih dahulu, diikuti oleh tema-tema fundamental lainnya (seperti Al-Ashr), sebelum akhirnya kembali kepada pembahasan tentang kewajiban syukur spesifik Quraisy (*Quraisy*). Urutan kronologis ini menuntut audiens Mekkah untuk menerima dasar keimanan sebelum mereka dihadapkan pada kewajiban syukur atas kemakmuran mereka. Oleh karena itu, Surah Al-Fil tetap teguh pada posisi ke-19, mengikuti Al-Qadr.
Kita harus menghargai bahwa Surah Al-Qadr, sebagai pendahulu langsung Al-Fil, adalah pernyataan teologis paling awal tentang sifat Al-Qur'an itu sendiri. Sebelum Nabi Muhammad diberi tugas yang lebih berat, yaitu menceritakan kisah-kisah kaum terdahulu yang panjang dan mendetail, dan sebelum ia diberi hukum-hukum praktis, ia harus terlebih dahulu memahami kemuliaan dan sumber dari pesan yang ia bawa. Al-Qadr memberikan kemuliaan, dan Al-Fil memberikan konfirmasi sejarah. Ini adalah fondasi ganda yang esensial. Surah Al-Qadr memastikan bahwa Al-Qur'an berasal dari sumber yang lebih tinggi dan mulia daripada yang dapat dibayangkan manusia biasa. Surah Al-Fil kemudian membuktikan bahwa Sumber yang Mulia ini memiliki kekuatan untuk mengubah jalannya sejarah manusia dengan cara yang paling menakjubkan.
Jika kita melihat lebih dekat pada komposisi ayat Surah Al-Fil, lima ayat pendek ini adalah sebuah narasi yang sempurna. Ia dimulai dengan pertanyaan yang merangsang pikiran (*Alam tara*), mendefinisikan target hukuman (pasukan gajah), menjelaskan strategi musuh (tipu daya/kaidah), mendeskripsikan agen hukuman (Burung Ababil dan Sijjil), dan diakhiri dengan hasil akhir yang menakutkan (seperti daun yang dimamah). Seluruh narasi ini berlangsung cepat, dramatis, dan sangat persuasif. Setelah Surah Al-Qadr menegaskan bahwa komunikasi Ilahi telah dimulai, Surah Al-Fil menggunakan komunikasi ini untuk memberikan contoh kekuatan yang tak terlupakan, mengukir kebenaran tauhid ke dalam kesadaran kolektif Mekkah.
Pengajaran teologis yang dapat ditarik dari urutan pewahyuan ini sangat jelas: Kekuatan Allah tidak dapat diukur dengan standar manusia. Angkatan laut, pasukan gajah, dan teknologi militer terkini (pada masa itu) dianggap tak terkalahkan. Namun, Allah memilih agen yang paling lemah—burung kecil—untuk melaksanakan hukuman. Ini adalah demonstrasi yang sengaja dirancang untuk menanamkan kerendahan hati dan keyakinan mutlak pada Kekuatan yang tak terlihat, keyakinan yang akarnya telah ditanamkan oleh pewahyuan Surah Al-Qadr. Transisi dari konsep ketetapan (Al-Qadr) menuju demonstrasi kekuatan (Al-Fil) adalah inti dari metodologi pengajaran Al-Qur'an pada masa-masa awal yang penuh tantangan tersebut.
Maka, kita kembali pada kesimpulan utama kita: penempatan Surah Al-Fil setelah Surah Al-Qadr dalam urutan Nuzul adalah sebuah keharusan logis dan teologis. Ini adalah dua surah yang saling melengkapi, yang satu menjelaskan sifat wahyu dan yang lainnya memberikan bukti historis atas kekuasaan Pemberi Wahyu.
Analisis ini diperkaya dengan pemahaman bahwa periode Mekkah Awal adalah masa pembentukan identitas keimanan. Para mukmin awal harus menghadapi ancaman fisik dan ideologis yang besar. Surah Al-Fil memberikan penghiburan dan jaminan: musuh terbesar Mekkah telah dihancurkan oleh Allah dengan cara yang tak terduga. Ini adalah janji bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menghancurkan kebenaran selama Allah melindunginya. Surah Al-Qadr telah memberi mereka alat—Al-Qur'an—dan Surah Al-Fil memberi mereka sejarah yang membuktikan kekuatan pemegang alat itu. Dengan demikian, mereka dipersenjatai dengan keyakinan yang tak tergoyahkan untuk menghadapi tahun-tahun penindasan yang akan datang.
Hubungan antara konsep *qadr* (ketetapan) dalam Surah Al-Qadr dan tindakan Allah yang tegas dalam Surah Al-Fil adalah inti dari pemahaman ini. *Qadr* bukanlah pasif, tetapi aktif dan intervensi. Ini bukan sekadar nasib yang pasrah, tetapi keputusan aktif Ilahi yang dilaksanakan melalui cara-cara yang paling menakjubkan. Peristiwa Gajah adalah pelaksanaan *qadr* dalam skala besar dan publik, tepat di depan rumah suci yang kelak akan menjadi kiblat umat Islam. Ini adalah pesan yang sangat kuat bagi audiens awal, yang telah terbiasa dengan mitos dan cerita-cerita kesukuan. Al-Fil membawa sejarah lokal mereka ke dalam dimensi wahyu. Oleh karena itu, Surah Al-Fil adalah salah satu surah yang paling fundamental dalam membangun keyakinan awal pada kedaulatan Allah, segera setelah Surah Al-Qadr menetapkan kemuliaan wahyu itu sendiri.
Kita menutup pembahasan kronologis ini dengan penekanan pada ketepatan Nuzulul Qur’an. Para ulama telah bekerja keras untuk merekonstruksi urutan ini agar kita dapat memahami perjalanan pesan Ilahi. Urutan dari Al-Qadr ke Al-Fil, dan kemudian ke Al-Ashr, membentuk triad awal yang mendefinisikan: sumber otoritas, bukti kekuatan, dan tuntutan moral. Tanpa pemahaman urutan ini, kita mungkin kehilangan lapisan makna yang dalam tentang bagaimana iman disampaikan dan dibangun di tengah masyarakat yang keras dan skeptis di Mekkah Awal.