Surah ke-105 dalam Al-Quran, yang dikenal sebagai Surah Al-Fil (Gajah), adalah surah Makkiyah yang terdiri dari 5 ayat. Surah ini mengabadikan peristiwa luar biasa yang terjadi menjelang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Transliterasi atau penulisan Arab ke dalam aksara Latin (seperti surah al fil latinnya) memiliki peran vital, terutama bagi umat Muslim yang belum mahir membaca Al-Quran dalam huruf Arab. Meskipun transliterasi tidak dapat sepenuhnya menggantikan keindahan dan ketepatan tajwid asli, ia berfungsi sebagai jembatan penting untuk memahami makna, menghafal, dan membantu dalam proses belajar.
Dalam konteks Surah Al-Fil, memahami transliterasi Latin yang benar sangat krusial, sebab di dalamnya terdapat huruf-huruf spesifik seperti dzal (ظ), tha (ط), dan kha (خ) yang harus dilafalkan dengan penekanan yang tepat agar maknanya tidak bergeser. Penulisan yang paling umum dan mudah diakses adalah yang akan disajikan di bawah ini.
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Fil latinnya, disertai dengan teks Arab dan terjemahan resmi Kementerian Agama Republik Indonesia.
Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?
Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Keakuratan dalam melafalkan surah al fil latinnya bergantung pada pemahaman kita terhadap padanan huruf Arab yang tidak dimiliki oleh alfabet Latin. Berikut adalah analisis rinci terhadap poin-poin krusial dalam transliterasi ini:
Kata kunci surah ini, 'fiil' (فِيل), sering kali dibaca ringan. Namun, huruf Fā’ (ف) harus jelas, diikuti Ya’ Mad (ي) yang panjang, dan Lām (ل) yang tebal (terutama jika ia berharakat fathah/dammah, meskipun di sini kasrah). Dalam transliterasi 'fiil', panjangnya harus diperhatikan. Jika dibaca pendek 'fil', maknanya bergeser. Meskipun Latin membantu ejaan, panjang (Mad) harus dipelajari terpisah.
Pada ayat 1, 'bi as-haabil' (بِأَصْحَابِ), terdapat huruf Ṣād (ص). Dalam transliterasi Latin, huruf ini diwakili oleh 's' atau 'sh' dengan titik di bawah (ṣ), namun umum ditulis 's' atau 'sh'. Bunyi Ṣād adalah S yang tebal (mufakhkhamah), dihasilkan dengan mengangkat pangkal lidah. Jika hanya dibaca 's' biasa (seperti Sīn/س), ia kehilangan ketebalannya. Penggunaan 's-h' dalam Latin membantu membedakannya dari Syin (ش - sh).
Dua huruf yang paling sering salah dipahami dalam surah al fil latinnya adalah yang muncul di ayat 2 dan 3:
Huruf Ḍād (ض) dalam 'tadl-liil' (ضْلِيل) adalah huruf yang sangat unik dalam bahasa Arab (sering disebut 'The Language of Dhad').
Huruf Ṭā’ (ط) dalam 'ṭairan' (طَيْرًا) adalah 'T' yang tebal.
Pada ayat 4, 'bi hijaaratim' (بِحِجَارَةٍ), terdapat Ḥā’ (ح). Ini adalah Ḥā’ yang berat (H hot), dikeluarkan dari pertengahan tenggorokan. Ini berbeda dengan Hā’ (ه) biasa yang dikeluarkan dari pangkal tenggorokan. Transliterasi biasanya menggunakan 'H' atau 'H' dengan titik di bawah (ḥ).
Memahami perbedaan antara kedua 'H' ini sangat penting saat membaca Latin, karena Ḥā’ yang berat memberikan resonansi yang lebih dalam pada deskripsi batu siksaan (sijjiil).
Kesimpulan Transliterasi: Bagi pembaca yang mengandalkan surah al fil latinnya, kunci utamanya adalah menyadari bahwa setiap huruf vokal atau konsonan ganda (seperti 'sh', 'dl', 'th') memiliki penekanan tebal yang harus dilatih, tidak hanya dibaca datar seperti dalam bahasa Indonesia.
Untuk mencapai ketepatan yang maksimal saat membaca surah al fil latinnya, seseorang harus memahami prinsip Tajwid yang paling membedakan bunyi Latin dan Arab: Isti’la’ (pangkal lidah terangkat) dan Iṭbāq (penutupan, membuat bunyi lebih tebal). Dalam Surah Al-Fil, empat huruf utama menampilkan sifat ini: Ṣād (ص), Ḍād (ض), Ṭā’ (ط), dan Ẓā’ (ظ, meskipun ini tidak ada di Al-Fil, konsepnya sama).
Ketika kita membaca 'as-haabil', huruf Sād menuntut pangkal lidah untuk terangkat ke langit-langit mulut. Efek ini mengubah resonansi suara secara keseluruhan. Jika hanya dibaca 'as-hab', suara yang dihasilkan tipis (isti’fal), dan ini tidak sesuai. Latin 'as-haabil' adalah panduan visual, tetapi fonetiknya harus 'Oṣ-ḥaab', di mana 'O' bukan vokal, melainkan cara tenggorokan menyesuaikan diri dengan Sād yang tebal.
Perbedaan antara Sīn (س) dan Ṣād (ص) sangat esensial. Keduanya memiliki makhraj yang hampir identik di ujung lidah (sifat Ṣafīr), tetapi Sīn bersifat murakkaq (tipis), sedangkan Ṣād bersifat mufakhkham (tebal). Transliterasi harus selalu mencerminkan perbedaan ini, sering kali dengan penambahan huruf 's' ganda atau penanda khusus yang sayangnya tidak selalu standar dalam versi Latin yang beredar luas.
Ḍād dalam 'tadl-liil' adalah contoh utama dari Iṭbāq. Selain pangkal lidah terangkat (Isti’la’), permukaan lidah juga menempel (tertutup) pada langit-langit mulut. Hal inilah yang membuat Dād menjadi suara lateral-frikativ yang berat. Jika pembaca Latin hanya melafalkan 'tadilil', dia kehilangan ketebalan yang menjadi ciri khas huruf ini.
Lafal 'tadl-liil' merujuk pada kesesatan atau kesia-siaan total. Ketebalan Ḍād secara fonetik menegaskan bobot dari kesia-siaan tipu daya Abrahah. Kekuatan fonetik ini sering hilang ketika Surah Al-Fil Latinnya dibaca terburu-buru tanpa perhatian pada konsonan ganda seperti 'dl'.
Pada 'ṭairan', Ṭā’ (ط) juga bersifat Isti’la’ dan Iṭbāq. Ia memiliki makhraj yang sama dengan Tā’ (ت) dan Dāl (د), namun karena pengangkatan lidah dan penutupannya, bunyinya menjadi jauh lebih berat dan kuat. Transliterasi 't' atau 'th' adalah penanda, tetapi pembaca harus ingat bahwa ini adalah T yang 'berenergi'.
Dalam konteks Surah Al-Fil, lafal 'ṭairan' yang tebal menambah dramatisme pada deskripsi burung-burung (Abābīl) yang dikirimkan. Kekuatan suara ini sesuai dengan kekuatan mukjizat yang terjadi.
Semua transliterasi surah al fil latinnya mencakup vokal panjang (Mad), yang ditandai dengan vokal ganda (aa, ii, uu) atau dengan garis di atas vokal. Kesalahan dalam panjang Mad dapat mengubah arti, atau setidaknya merusak ritme bacaan (Tartil).
Kesinambungan panjang vokal ini menjaga irama Surah Al-Fil, yang pendek namun sangat kuat, menegaskan kekuasaan Allah yang mutlak atas kekuatan materi (pasukan gajah).
Meskipun transliterasi Latin sering menghilangkan detail tajwid minor, hukum Nun Sukun dan Tanwin tetap harus diperhatikan untuk menjaga fonetik. Dalam Surah Al-Fil, terdapat beberapa hukum penting:
Terjadi pada Ayat 4: 'Hijaaratim min sijjiil' (بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ). Secara Arab, Tanwin (tamatrin) bertemu dengan Mīm (م), ini seharusnya menjadi Idgham Bi Ghunnah, tetapi dalam beberapa riwayat, penyambungan lafal tanwin (bi hijaaratin) bertemu dengan Mīm (min) menciptakan hukum tajwid. Dalam transliterasi Latin, kata 'hijaaratim' dan 'min' berdiri sendiri, namun pembaca harus menyadari bahwa bunyi 'n' pada tanwin di hijaaratin disamarkan dan dileburkan.
Ayat 4: 'Tarmiihim bi hijaaratin min sijjiil'. Tanwin pada hijaaratin bertemu Mīm pada min (jika dibaca sambung), menghasilkan dengungan. Meskipun dalam transliterasi modern Latin sering dipisah (hijaaratim min), pembaca harus memastikan bunyi 'm' yang mendengung. Transliterasi Latin yang akurat sering menggunakan 'mm' untuk menunjukkan dengungan (Ghunnah).
Surah Al-Fil turun untuk mengabadikan peristiwa 'Tahun Gajah' (عام الفيل - 'Aamul Fiil), sebuah tahun penting dalam sejarah Jazirah Arab, yang juga merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Pemahaman konteks sejarah ini sangat memperkaya makna saat membaca surah al fil latinnya.
Peristiwa ini terjadi ketika Abrahah al-Ashram, seorang gubernur Kristen Yaman yang tunduk pada Kerajaan Aksum (Ethiopia), merasa iri terhadap popularitas Ka’bah di Makkah. Abrahah membangun sebuah gereja besar dan indah di Sana'a (Yaman), yang disebut Al-Qulais, dengan harapan dapat mengalihkan haji dan perdagangan dari Ka’bah ke Yaman.
Namun, harapan Abrahah tidak tercapai. Suatu hari, seorang pria dari Bani Kinanah (suku Quraisy) melakukan tindakan penghinaan terhadap gereja tersebut, entah karena buang air besar di dalamnya atau mengotori dindingnya. Tindakan ini memicu kemarahan besar Abrahah.
Abrahah bersumpah akan menghancurkan Ka’bah. Ia mempersiapkan pasukan yang besar, yang mana di dalamnya terdapat gajah-gajah perkasa. Gajah yang paling terkenal adalah gajah putih bernama Mahmud, yang memimpin pasukan. Gajah ini melambangkan kekuatan militer yang tak tertandingi di Semenanjung Arab saat itu. (Ini adalah inti dari rujukan 'Ashabil Fiil' pada Ayat 1 surah al fil latinnya).
Ketika pasukan Abrahah tiba di dekat Makkah, mereka menawan unta-unta milik penduduk Makkah, termasuk unta milik kakek Nabi, Abdul Muthalib. Abdul Muthalib datang menemui Abrahah, bukan untuk memohon keselamatan Ka’bah, melainkan untuk meminta unta-untanya dikembalikan.
Abrahah terkejut dan bertanya, mengapa Abdul Muthalib tidak memohon Ka’bah diselamatkan? Abdul Muthalib menjawab dengan kalimat masyhur: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan rumah itu (Ka’bah) memiliki Pemilik yang akan menjaganya."
Ketika Abrahah memerintahkan gajah utama, Mahmud, untuk bergerak menuju Ka’bah, gajah itu menolak bergerak, meskipun dipukul dan didorong. Gajah itu hanya mau bergerak jika diarahkan ke arah lain, selain Makkah. Ini merupakan isyarat awal bahwa tipu daya mereka (kaidahum fii tadl-liil) telah digagalkan.
Saat pasukan bingung, Allah mengirimkan burung-burung kecil yang terbang berbondong-bondong (ṭairan abābīl) dari arah laut. Setiap burung membawa tiga batu kecil (bi hijaaratim min sijjiil) – satu di paruh dan dua di kedua kakinya. Batu-batu dari tanah terbakar (sijjil) ini, meskipun kecil, mampu menembus helm baja dan tubuh tentara, menyebabkan penyakit mengerikan (epidemi) yang meluluhkan daging mereka.
Pasukan Abrahah pun hancur lebur, tubuh mereka terurai ka’ashfim ma’kuul (seperti daun-daun yang dimakan ulat atau sisa makanan ternak). Abrahah sendiri berhasil melarikan diri, tetapi meninggal dalam perjalanan pulang ke Yaman dengan kondisi tubuh yang mengenaskan.
Secara bahasa, As-haab berarti ‘pemilik’ atau ‘sahabat’. Al-Fiil berarti ‘gajah’. Jadi, ini merujuk pada 'Pemilik Gajah' atau 'Pasukan Gajah'. Penggunaan kata ini dalam Surah Al-Fil latinnya menekankan identitas pasukan tersebut secara spesifik, bukan sekadar sebuah tentara, melainkan tentara yang mengandalkan simbol kekuatan militer superior (gajah) pada masanya. Kontras antara kekuatan gajah dan burung kecil menunjukkan betapa remehnya kekuatan manusia di hadapan kekuasaan Ilahi.
Kata ini berarti 'tipu daya' atau 'rencana jahat'. Allah tidak hanya menghancurkan pasukan mereka secara fisik, tetapi juga membatalkan keseluruhan rencana mereka (Alam yaj’al kaidahum fii tadl-liil). Ini menunjukkan bahwa tujuan Abrahah untuk mengalihkan peribadatan dan menghancurkan Ka’bah gagal total, tidak hanya kekalahan militer biasa. Transliterasi Latinnya, 'kaidahum', harus dibaca dengan penekanan pada diftong 'ai'.
Tairan berarti ‘burung’. Abābīl adalah kata jamak yang berarti ‘berbondong-bondong’, ‘berkelompok’, atau ‘datang dari segala penjuru’. Para ulama tafsir sepakat bahwa Abābīl bukanlah nama jenis burung tertentu, melainkan deskripsi dari keadaan mereka: banyaknya jumlah dan datangnya mereka secara terorganisir atas perintah Allah. Kekuatan Abābīl terletak pada jumlah dan ketepatan kiriman batu mereka, bukan ukuran atau jenisnya. Ini adalah metafora sempurna untuk intervensi Ilahi yang tak terduga.
Kata ini merujuk pada jenis material batu. Tafsir klasik menyebut Sijjīl sebagai batu yang terbuat dari tanah liat yang dibakar sampai keras (mirip batu bata atau tembikar), yang menandakan bahwa batu tersebut berasal dari neraka atau memiliki sifat siksaan. Dalam surah al fil latinnya, 'sijjiil' harus diucapkan dengan Jīm (ج) yang tebal dan vokal panjang (ī), memberikan kesan bobot dan kerasnya hukuman.
Surah Al-Fil, meskipun pendek, sarat dengan pelajaran teologis dan moral. Membaca dan merenungkan surah al fil latinnya memungkinkan kita mengambil hikmah berikut:
Pelajaran utama adalah kontras antara kekuatan manusia (pasukan yang dilengkapi gajah raksasa, teknologi militer terbaik zaman itu) melawan makhluk paling sederhana (burung kecil). Surah ini mengajarkan bahwa kekuatan Allah SWT mutlak dan tak terbatas. Ketika niat jahat ditujukan kepada rumah atau agama-Nya, Dia akan melindunginya dengan cara yang paling tidak terduga.
Peristiwa ini menegaskan kemuliaan dan kesucian Ka’bah di mata Allah. Perlindungan luar biasa yang diberikan kepada Ka’bah pada saat itu (ketika belum ada satupun Muslim) adalah bukti bahwa Ka’bah sejak awal adalah simbol sentral peribadatan tauhid yang dihormati-Nya, terlepas dari siapa penjaganya saat itu (yakni kaum Quraisy yang masih menyembah berhala).
Ayat kedua (Alam yaj’al kaidahum fii tadl-liil) adalah peringatan universal: rencana jahat, betapapun cermatnya disusun, akan sia-sia jika bertentangan dengan kehendak Allah. Bagi orang-orang beriman, ini adalah sumber optimisme bahwa kebenaran akan selalu menang melawan tipu daya.
Peristiwa Tahun Gajah terjadi hanya beberapa minggu sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini berfungsi sebagai pembuka jalan, membersihkan Makkah dari ancaman eksternal yang besar, dan menyiapkan panggung bagi risalah terakhir. Ini adalah mukjizat pendahuluan (irhas) yang menggarisbawahi keistimewaan Makkah sebagai tempat kelahiran sang Rasul.
Pertanyaan retoris 'Tidakkah engkau memperhatikan?' (Alam tara) adalah teknik sastra Arab yang kuat, menunjukkan bahwa peristiwa ini begitu terkenal dan baru saja terjadi sehingga tidak mungkin seseorang tidak tahu. Ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang lahir di tahun itu, dan juga kepada para penduduk Makkah yang menyaksikan sisa-sisa kehancuran. Penggunaan kata Rabbuka (Tuhanmu) menegaskan hubungan khusus antara Allah dan Nabi, serta penegasan bahwa intervensi itu adalah tindakan Rabbani, bukan kebetulan alam.
Kata Kaidahum (tipu daya mereka) mencakup seluruh perencanaan Abrahah, mulai dari pembangunan gereja Al-Qulais hingga persiapan militer. Allah menjadikan semua itu fii tadl-liil (dalam kesesatan/kesia-siaan total). Tafsir Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa kaidahum adalah niat jahat yang terselubung untuk menghancurkan, dan Allah mengungkap serta menggagalkannya secara menyeluruh. Bagi pembaca surah al fil latinnya, pemahaman ini menekankan bahwa bukan hanya kekuatan gajah yang dikalahkan, tetapi juga niat di baliknya.
Pengiriman ṭairan abaabiil adalah perwujudan mukjizat. Mereka datang dalam formasi militer, bergelombang, menunjukkan ketaatan total pada perintah Ilahi. Para ulama berbeda pendapat tentang jenis burung ini, namun mayoritas sepakat bahwa mereka adalah manifestasi kekuatan ghaib yang spesifik untuk peristiwa ini.
Deskripsi batu sijjil sangat penting. Batu yang kecil mampu menembus dan menyebabkan kematian mengerikan. Ini adalah demonstrasi yang sempurna dari Ayat Kursi, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kehancuran ini sangat cepat dan mematikan, mengubah pasukan besar menjadi sasaran yang mudah.
Ayat penutup ini memberikan gambaran yang sangat mengerikan tentang nasib pasukan Abrahah. Ka’ashfin ma’kuul berarti 'seperti daun atau jerami yang dimakan ulat/ternak'. Ini adalah gambaran kehinaan; mereka yang datang dengan kesombongan dan kekuatan gajah, berakhir dalam kondisi yang menjijikkan dan tak berarti. Metafora ini menekankan kemudahan Allah dalam menghancurkan musuh-musuh-Nya.
Bagi mereka yang kesulitan dengan huruf Arab, transliterasi Latin adalah alat bantu menghafal yang efektif. Namun, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan kualitas pelafalan.
Teknik terbaik adalah mendengarkan qari yang fasih (murattal) berulang kali sambil melihat teks surah al fil latinnya. Pembaca harus mencoba menirukan intonasi, panjang (Mad), dan ketebalan (Tafkhim) suara, bukan hanya membaca transliterasi sebagai ejaan bahasa Indonesia biasa.
Pisahkan setiap ayat berdasarkan frasa kunci yang mudah diingat, dengan fokus pada perbedaan fonetik yang telah dibahas sebelumnya:
Fokuslah pada semua vokal ganda (aa, ii) dalam transliterasi untuk memastikan durasi Mad yang tepat. Jika Anda melihat 'abaabiil', pastikan Anda melafalkannya dengan dua pukulan panjang yang jelas.
Meskipun Surah Al-Fil mengisahkan peristiwa sejarah yang terjadi 14 abad lalu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat abadi dan relevan bagi kehidupan modern. Surah ini menawarkan perspektif penting tentang kekuasaan dan keadilan di dunia yang didominasi oleh kekuatan militer dan ekonomi.
Pasukan Abrahah melambangkan kesombongan kekuasaan yang ingin menghancurkan simbol kebenaran dan iman. Dalam konteks modern, ‘gajah’ dapat diartikan sebagai kekuatan tirani, sistem ekonomi yang menindas, atau ideologi materialistis yang berusaha menggeser nilai-nilai spiritual. Surah ini memberikan kepastian bahwa sekecil apapun ‘burung ababil’ yang dikirimkan Allah – yang bisa berupa bencana alam, kebangkitan kesadaran massa, atau kehancuran moral dari dalam – ia mampu menggagalkan rencana ‘gajah’ terbesar sekalipun.
Sikap Abdul Muthalib, yang hanya meminta untanya dan menyerahkan Ka’bah kepada Pemiliknya, mengajarkan konsep Tawakkal (pasrah) yang murni. Ketika menghadapi masalah yang melampaui kemampuan manusia (seperti pasukan gajah), satu-satunya respons yang benar adalah melakukan apa yang dapat kita lakukan (mempertahankan hak pribadi) dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah SWT. Keyakinan ini diperkuat setiap kali kita membaca surah al fil latinnya dan mengingat kisah ini.
Beberapa penafsir kontemporer mencoba menafsirkan ṭairan abābīl dan sijjīl secara ilmiah. Ada yang berspekulasi bahwa batu sijjil membawa wabah penyakit menular (seperti cacar atau tifus), dan burung-burung itu adalah pembawa penyakit tersebut. Walaupun tafsir seperti ini tidak menggantikan tafsir klasik, ia menunjukkan bahwa mukjizat Allah bisa terwujud melalui fenomena alam yang, meskipun alami, diatur waktunya secara Ilahi untuk menghasilkan intervensi yang dramatis.
Keseluruhan Surah Al-Fil, baik dalam bahasa Arab maupun dalam transliterasi Latinnya, berfungsi sebagai pengingat yang ringkas namun eksplosif tentang janji perlindungan Allah bagi simbol dan hamba-Nya yang beriman, mengajarkan kita untuk tidak pernah gentar menghadapi kekuatan duniawi.
Perlu dicatat bahwa transliterasi surah al fil latinnya bisa bervariasi tergantung sistem yang digunakan:
Contoh perbedaan Ayat 2:
Bagi pembaca umum yang mencari surah al fil latinnya, sistem populer lebih mudah diakses, tetapi sistem akademik menawarkan keakuratan fonetik yang jauh lebih tinggi. Pembaca disarankan untuk selalu memverifikasi bacaan mereka dengan audio qari untuk menghindari kesalahan tajwid yang signifikan.
Memahami kekayaan fonetik Surah Al-Fil Latinnya akan membantu pembaca non-Arab menghargai lebih dalam pesan yang disampaikan dalam lima ayat yang penuh keajaiban ini. Setiap detail transliterasi, mulai dari penggunaan 'h' berat, konsonan ganda, hingga vokal panjang, berkontribusi pada penegasan pesan Ilahi: sesungguhnya Allah Maha Perkasa, dan tipu daya orang zalim akan selalu dikembalikan kepada mereka sendiri.