Surat Al Lahab: Kajian Mendalam Teks Arab, Transliterasi Latin, dan Hikmah Abadi

Surat Al Lahab, yang sering dikenal juga dengan nama Surat Al-Masad atau Tabbat Yada Abi Lahabin (berdasarkan permulaannya), adalah salah satu surat Makkiyah yang paling unik dalam Al-Qur'an. Ia tidak hanya menyampaikan pesan keimanan, tetapi juga secara eksplisit menunjuk kepada individu tertentu yang akan menerima siksa api neraka: Abu Lahab, paman kandung Rasulullah ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil.

Kajian mendalam surat ini menawarkan wawasan luar biasa mengenai kebenaran kenabian, kepastian janji Allah, serta konsekuensi dari kesombongan, kekufuran, dan permusuhan terhadap ajaran tauhid. Untuk memahami kedalaman maknanya, kita akan mengupas tuntas teks, transliterasi Latin, terjemahan, konteks sejarah, hingga tafsir ayat per ayat oleh ulama-ulama klasik dan kontemporer.

I. Teks, Transliterasi Latin, dan Terjemahan Surat Al Lahab

Surat Al Lahab merupakan surat ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 5 ayat. Namanya, Al Lahab, secara harfiah berarti 'Jilatan Api', yang merujuk pada salah satu bentuk azab yang dijanjikan.

Ayat 1

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Tabbat yadā abī Lahabiw wa tabb.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!

Ayat 2

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab.
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (keturunan) yang ia usahakan.

Ayat 3

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Sayaṣlā nāran żāta lahab.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Al Lahab).

Ayat 4

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

Ayat 5

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Fī jīdihā ḥablum mim masad.
Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipintal).

II. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Pemahaman mengenai Asbabun Nuzul Surat Al Lahab adalah kunci utama untuk memahami kekuatan profetik dan historis surat ini. Kejadian yang melatarbelakangi turunnya surat ini adalah manifestasi langsung dari upaya dakwah terang-terangan yang dilakukan Rasulullah ﷺ di awal periode Mekah.

Peristiwa di Bukit Safa

Kisah ini diriwayatkan secara sahih, terutama dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas RA. Setelah turunnya perintah untuk berdakwah secara terbuka (QS. Al-Hijr: 94), Rasulullah ﷺ naik ke puncak Bukit Safa—bukit yang terletak dekat Ka'bah dan berfungsi sebagai tempat pengawasan dan pengumuman penting bagi masyarakat Mekah.

Nabi ﷺ mulai menyeru Quraisy, suku demi suku, kabilah demi kabilah, untuk berkumpul. Ketika semua orang telah berkumpul, termasuk para tokoh Mekah dan paman-pamannya, beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"

Bukit Safa dan Api Lahab Bukit Safa Azab Abu Lahab

Ilustrasi simbolis Bukit Safa, lokasi awal dakwah terbuka.

Mereka menjawab serentak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong." Setelah mendapatkan pengakuan kredibilitas tersebut, Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku datang untuk memperingatkan kalian tentang azab yang pedih (jika kalian tidak beriman)."

Reaksi Abu Lahab

Di tengah keheningan dan kekaguman atas kejujuran Nabi, tiba-tiba muncul suara lantang, penuh kemarahan dan kebencian: "Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Suara itu milik Abu Lahab bin Abdul Muthalib, paman dari pihak ayah Nabi ﷺ.

Komentar Abu Lahab ini adalah pernyataan permusuhan terbuka yang paling keras dan pribadi. Ia tidak hanya menolak ajakan Nabi, tetapi juga secara eksplisit berharap kehancuran bagi keponakannya di hadapan seluruh masyarakat Quraisy. Hal ini sangat menyakitkan bagi Rasulullah ﷺ, karena permusuhan datang dari kerabat terdekatnya.

Turunnya Surat Al Lahab

Tidak lama setelah insiden memalukan di Bukit Safa tersebut, Allah SWT menurunkan Surat Al Lahab sebagai respons langsung dan penghinaan balik yang abadi terhadap Abu Lahab. Surat ini bukan sekadar janji, tetapi sebuah nubuat (prophecy) spesifik yang sangat berani pada saat itu, karena ia menyatakan dengan tegas bahwa Abu Lahab akan mati dalam kekufuran dan dijamin masuk neraka.

Yang luar biasa dari sisi kenabian surat ini adalah, Abu Lahab hidup selama beberapa tahun setelah surat ini turun, namun ia tidak pernah memeluk Islam, bahkan sekadar berpura-pura. Seandainya ia berpura-pura masuk Islam, ia akan membuktikan bahwa Al-Qur'an keliru. Kematiannya yang hina dan mengenaskan (disebabkan penyakit menular yang membuat orang lain takut mendekatinya) menjadi bukti nyata kebenaran janji Allah dalam ayat pertama: Tabbat (Binasalah/Celaka).

III. Tafsir dan Analisis Mendalam Ayat per Ayat

Surat Al Lahab adalah surat yang sangat padat, memuat hukuman duniawi (kebinasaan) dan hukuman ukhrawi (api neraka), serta rincian peran sang istri dalam permusuhan terhadap Islam.

A. Analisis Ayat 1: Nubuat Kebinasaan

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Tabbat (تَبَّتْ): Kata ini berarti 'celaka', 'rugi', 'hancur', atau 'batal'. Ini adalah bentuk doa buruk (sumpah) yang diucapkan oleh Allah SWT terhadap Abu Lahab. Ini bukanlah sekadar harapan, melainkan penetapan takdir hukuman yang pasti.

Mengapa Kedua Tangan (يَدَا)?

Allah menggunakan istilah 'kedua tangan' (yada) dan bukan 'dirinya' secara keseluruhan, karena Abu Lahab menggunakan tangannya untuk menolak dan menghalangi dakwah Nabi ﷺ. Secara linguistik, tangan sering kali mewakili upaya, pekerjaan, atau kekuasaan seseorang. Ketika tangannya binasa, maka semua usahanya di dunia ini sia-sia dan upayanya memadamkan cahaya Islam gagal total.

Abu Lahab: Nama Panggilan yang Bermakna

Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib (Hamba Uzza, salah satu berhala utama Mekah). Allah tidak memanggilnya dengan nama aslinya yang menunjukkan perhambaannya kepada berhala, melainkan dengan kunyah (nama panggilan) 'Abu Lahab', yang berarti 'Bapak Jilatan Api'.

Penegasan Hukuman (وَتَبَّ)

Frasa kedua, wa tabb (dan sungguh dia telah binasa), berfungsi sebagai penegasan atau hasil yang telah dicapai. Ayat ini bisa diartikan: "Semoga kedua tangannya celaka (doa), dan sungguh (di masa depan) dia telah celaka (penegasan takdir)." Ini menunjukkan bahwa kebinasaan Abu Lahab sudah merupakan kepastian mutlak yang tak bisa dihindari, terlepas dari kekayaan atau status sosialnya.

B. Analisis Ayat 2: Ketidakbergunaan Harta dan Usaha

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

Kekayaan (مَالُهُ)

Di masyarakat Mekah, status dan kekuasaan sangat ditentukan oleh harta. Abu Lahab adalah orang yang kaya dan berpengaruh. Ayat ini menolak anggapan bahwa kekayaan dapat menjadi pelindung dari azab ilahi. Kekayaan yang ia gunakan untuk membiayai permusuhan terhadap Islam tidak akan menyelamatkannya di hadapan Allah.

Usaha dan Keturunan (وَمَا كَسَبَ)

Para ulama tafsir klasik memiliki dua pendapat utama mengenai makna 'wa mā kasab' (dan apa yang ia usahakan):

  1. Keturunan (Anak-anak): Pendapat mayoritas (termasuk Ibnu Abbas dan Mujahid) menyatakan bahwa 'apa yang ia usahakan' merujuk pada anak-anaknya. Dalam budaya Arab, keturunan (terutama laki-laki) adalah sumber kekuatan, dukungan, dan warisan kehormatan. Namun, ayat ini menyatakan bahwa bahkan anak-anaknya, seperti Utbah dan Mu'attib (yang kemudian masuk Islam setelah pembebasan Mekah), tidak dapat menyelamatkan ayah mereka dari api neraka.
  2. Perbuatan Duniawi: Pendapat lain menyatakan bahwa ini merujuk pada segala usaha, pekerjaan, dan kekuasaan duniawi yang ia kumpulkan. Baik harta maupun jabatan tidak berarti apa-apa saat menghadapi perhitungan di Hari Kiamat.

C. Analisis Ayat 3: Api yang Bergejolak

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Sayaṣlā (سَيَصْلَىٰ): Huruf 'Sin' (س) di awal kata kerja menunjukkan masa depan yang dekat atau kepastian yang akan terjadi. Ia pasti akan masuk dan merasakan panasnya api.

Nāran żāta Lahab (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ): Api yang mempunyai jilatan atau gejolak api. Ini adalah permainan kata yang luar biasa: Abu Lahab (Bapak Api) akan dimasukkan ke dalam nār lāhab (api yang bergejolak). Azab yang ia terima sangat sesuai dengan nama panggilannya yang ironis, mengukuhkan bahwa namanya bukanlah sebuah kehormatan, melainkan predikat dari takdir azabnya.

D. Analisis Ayat 4 dan 5: Hukuman untuk Ummu Jamil

Uniknya, hukuman dalam surat ini tidak hanya ditujukan kepada Abu Lahab, tetapi juga kepada istrinya. Ia adalah Arwa binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan, dan dikenal dengan nama julukan Ummu Jamil.

Hukuman Ayat 4: Pembawa Kayu Bakar (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ)

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Hammālatal-Ḥaṭab (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ): Secara harfiah berarti 'pembawa kayu bakar'. Ini memiliki dua interpretasi mendasar, yang keduanya saling melengkapi:

  1. Interpretasi Harfiah: Beberapa riwayat menyatakan bahwa Ummu Jamil memang suka mengumpulkan duri dan kayu bakar lalu menyebarkannya di jalan yang dilalui Nabi ﷺ, dengan tujuan melukai atau menghalangi jalannya. Ini adalah bentuk permusuhan fisik yang rendah dan berbahaya.
  2. Interpretasi Metaforis (Mayoritas): 'Membawa kayu bakar' adalah ungkapan yang dikenal dalam bahasa Arab kuno yang berarti 'penyebar fitnah' atau 'penghasut'. Ummu Jamil adalah tukang adu domba. Ia menyebarkan berita bohong, fitnah keji, dan caci maki terhadap Rasulullah ﷺ dan ajaran Islam di antara suku-suku Mekah. Fitnah yang ia sebarkan diibaratkan kayu bakar yang menyalakan api permusuhan di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa dosa lisan dan fitnah disamakan bobotnya dengan dosa fisik dalam pandangan Allah.

Dengan demikian, Ummu Jamil dihukum karena peran aktifnya sebagai penyebar kebencian dan fitnah, bukan hanya karena ia istri Abu Lahab.

Hukuman Ayat 5: Tali Sabut di Leher (حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ)

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

Fī Jīdihā (فِي جِيدِهَا): Di lehernya (jīd). Kata ini secara spesifik merujuk pada bagian atas leher, tempat kalung atau perhiasan mewah biasa dikenakan.

Ḥablum mim Masad (حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ): Tali dari sabut. Masad adalah serat kasar dan keras yang diambil dari pelepah kurma. Tali ini kontras dengan kemewahan yang biasa dikenakan Ummu Jamil di dunia.

Ayat ini menyajikan kontras yang tajam dan ironis:

IV. Hikmah dan Pelajaran Teologis dari Surat Al Lahab

Meskipun surat ini sangat spesifik menunjuk dua individu, pelajaran yang dikandungnya bersifat universal dan abadi, terutama mengenai kekuasaan Allah dan peran kebenaran ilahi dalam sejarah manusia.

1. Mukjizat Kenabian yang Terbukti (Prophetic Miracle)

Surat Al Lahab adalah salah satu bukti terbesar kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad ﷺ. Surat ini turun di Mekah, ketika Abu Lahab masih hidup dan memiliki semua kesempatan untuk masuk Islam (atau pura-pura masuk Islam) demi mendiskreditkan Al-Qur'an. Namun, Allah menjamin bahwa dia akan binasa dalam kekufuran dan masuk neraka.

Fakta bahwa Abu Lahab tidak pernah mengucapkan syahadat selama sisa hidupnya menegaskan bahwa pengetahuan Allah tentang nasib akhir manusia adalah absolut. Tidak ada satu pun ancaman atau bujukan yang mampu mengubah takdir yang telah diumumkan oleh Allah dalam surat ini. Ini menunjukkan bahwa Qur'an adalah wahyu ilahi, bukan karangan manusia.

2. Kekalahan Mutlak Kekuatan Duniawi

Surat ini memberikan pelajaran penting bagi umat Islam di semua zaman: kekayaan, status sosial, kekuasaan, dan hubungan darah tidak bernilai apa pun di hadapan kebenaran dan keadilan Allah SWT. Abu Lahab adalah paman Nabi, dan ini adalah ikatan darah yang sangat suci dalam tradisi Arab. Namun, ikatan tersebut tidak memberikan kekebalan ketika kekufuran dan permusuhan menjadi prinsip hidupnya.

Ayat 2 secara tegas membatalkan seluruh aset materialnya: “Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.” Ini adalah peringatan keras bagi para penguasa, hartawan, atau individu yang mengira mereka dapat membeli keselamatan atau menghindari hukuman karena status mereka.

3. Konsekuensi Berat dari Fitnah dan Slander

Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil sebagai Hammālatal-Ḥaṭab (pembawa kayu bakar/penyebar fitnah) menyoroti bahaya besar dari dosa lisan. Jika dosa fitnah dan menghasut terhadap seorang Nabi diabadikan dalam Al-Qur'an dengan hukuman neraka yang spesifik, ini menunjukkan betapa seriusnya kejahatan lisan di mata Allah.

Dalam konteks modern, ini relevan dengan penyebaran berita bohong, hoaks, dan cyberbullying. Fitnah sama bahayanya dengan api yang membakar kebenaran dan merusak persatuan masyarakat. Allah menghukum penyebar fitnah dengan hukuman yang setimpal dengan dampak kehancuran yang ditimbulkan oleh 'kayu bakar' fitnah mereka.

4. Kesadaran akan Azab yang Spesifik dan Ironis

Hukuman dalam Surat Al Lahab sangat personal dan ironis. Abu Lahab (Bapak Api) dimasukkan ke dalam Nār lāhab (Api yang Berjilatan). Ummu Jamil, yang bangga dengan perhiasan lehernya, mendapatkan tali sabut yang mencekik. Ini mengajarkan bahwa azab Allah akan disesuaikan dengan jenis dosa dan kesombongan yang dilakukan di dunia. Setiap pelanggaran akan memiliki pembalasan yang sesuai dengan karakter dosa tersebut.

V. Kontribusi Ulama Klasik dalam Memahami Al Lahab

Tafsir mengenai Surat Al Lahab telah menjadi subjek studi yang intensif di kalangan ulama, terutama karena sifatnya yang prediktif dan fokus pada karakter individu.

A. Pandangan Imam Ibnu Katsir

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan pada konteks historis dan janji yang pasti. Beliau menegaskan bahwa ayat 1 (Tabbat yadā abī Lahabiw wa tabb) adalah doa yang dikabulkan seketika. Fokus beliau adalah pada kegagalan total Abu Lahab di dunia, di mana dia gagal mengalahkan Islam, dan di akhirat, di mana dia gagal menghindari neraka.

Ibnu Katsir juga memperkuat pendapat bahwa 'mā kasab' (yang ia usahakan) merujuk pada anak-anak. Beliau mencatat bahwa Abu Lahab pernah menyombongkan diri, mengatakan bahwa jika keponakannya (Muhammad) benar, ia akan menebus dirinya dengan harta dan anak-anaknya. Ayat ini datang untuk membatalkan klaim kesombongan tersebut, menyatakan bahwa tebusan apa pun tidak akan diterima.

B. Pandangan Imam At-Tabari

Imam At-Tabari menyoroti aspek linguistik dari 'Tabbat'. Ia menjelaskan bahwa kata tersebut berarti 'hilang' atau 'rugi', tidak hanya secara materi tetapi juga secara spiritual. At-Tabari mendalami riwayat yang menyebutkan bahwa Ummu Jamil secara aktif menaburkan duri. Ini menunjukkan bahwa At-Tabari mengakui makna harfiah dan metaforis dari 'pembawa kayu bakar'.

Salah satu poin penting dari At-Tabari adalah penekanan pada hakikat permusuhan: Abu Lahab tidak menentang Muhammad sebagai individu, melainkan menentang risalah tauhid. Oleh karena itu, hukumannya adalah hukuman kekal bagi musuh kebenaran, terlepas dari ikatan keluarga.

C. Pandangan Sayyid Qutb (Tafsir Fi Zilalil Qur'an)

Sayyid Qutb, seorang mufassir kontemporer, melihat Surat Al Lahab sebagai representasi dari konflik abadi antara kebenaran (tauhid) dan kesombongan (jahiliyah).

Qutb berpendapat bahwa surat ini memberikan dukungan moral yang tak terhingga kepada Nabi Muhammad ﷺ yang saat itu berada di titik terendah secara sosial. Ketika kerabat terdekat menentangnya, Allah turun tangan secara langsung, tidak hanya membela Nabi, tetapi juga menghancurkan kredibilitas musuhnya secara publik dan abadi. Surat ini adalah pukulan telak yang mengumumkan kepada dunia bahwa Allah adalah pembela Rasul-Nya.

VI. Studi Karakter: Abu Lahab dan Ummu Jamil

Untuk memahami mengapa Allah menurunkan surat yang begitu keras dan personal, kita harus mengkaji latar belakang kedua individu ini dalam masyarakat Mekah.

A. Abu Lahab: Musuh dari Lingkaran Terdekat

Nama asli Abu Lahab, Abdul Uzza, menunjukkan kecenderungannya pada penyembahan berhala. Ia adalah salah satu pemimpin Quraisy yang dihormati dan kaya. Permusuhannya terhadap Nabi memiliki beberapa dimensi:

1. Persaingan Keluarga dan Kesombongan

Sebagai paman dari klan Bani Hasyim, Abu Lahab seharusnya menjadi pelindung Nabi. Namun, ia melihat dakwah Muhammad sebagai ancaman terhadap status sosialnya dan tradisi leluhur (jahiliyah) yang memberikan kekuasaan kepada dirinya. Ia merasa malu bahwa keponakannya membawa ajaran yang menyerang berhala-berhala yang ia sembah.

2. Peran Aktif Menghalang-Halangi

Abu Lahab tidak hanya menolak Islam; ia secara aktif mengganggu dakwah Nabi. Ketika Nabi ﷺ berdakwah di pasar-pasar dan tempat perkumpulan, Abu Lahab akan membuntuti beliau. Setelah Nabi selesai berbicara, Abu Lahab akan berteriak, "Wahai manusia, janganlah kalian percaya padanya, karena dia adalah seorang pendusta yang telah keluar dari agama nenek moyang!"

3. Kematian yang Hina

Kematian Abu Lahab terjadi setelah Perang Badar. Ketika ia mendengar kekalahan besar Quraisy dan tewasnya para pemimpin mereka, ia jatuh sakit akibat penyakit bisul ganas (disebut al-‘adasah). Penyakit ini sangat menular dan ditakuti oleh orang Arab, sehingga keluarganya tidak berani mendekatinya. Setelah ia meninggal, mayatnya ditinggalkan selama tiga hari hingga membusuk. Akhirnya, ia dikuburkan dengan cara didorong ke liang lahat menggunakan tongkat panjang, tanpa ada yang menyentuh jenazahnya. Kematiannya benar-benar mencerminkan kebinasaan (tabbat) yang dijanjikan dalam ayat pertama.

B. Ummu Jamil: Si Penyebar Kebencian

Ummu Jamil, istri Abu Lahab, adalah saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Ia berasal dari klan Ummayah yang kuat.

1. Kekejaman dan Keangkuhan

Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang angkuh dan pembenci Rasulullah ﷺ. Dia bersekongkol dengan suaminya untuk menyiksa dan menghina Nabi. Ia sering menggunakan kekayaan dan statusnya untuk memfitnah dan menghasut orang lain agar membenci Islam.

2. Pertemuan dengan Abu Bakar RA

Dikisahkan bahwa setelah turunnya Surat Al Lahab, Ummu Jamil datang mencari Rasulullah ﷺ dalam keadaan marah besar, membawa batu di tangannya, bersumpah akan memukul Muhammad. Ketika itu, Rasulullah ﷺ sedang duduk bersama Abu Bakar di dekat Ka'bah. Karena mukjizat Allah, Ummu Jamil hanya melihat Abu Bakar dan bertanya, "Mana temanmu? Aku dengar dia mengejekku. Demi Allah, jika aku menemukannya, akan ku pukul dia dengan batu ini." Abu Bakar meyakinkannya bahwa tidak ada siapa-siapa, dan Ummu Jamil pergi. Abu Bakar bertanya kepada Nabi, "Dia tidak melihatmu?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah telah mengambil pandangannya dariku." Ini adalah bukti perlindungan ilahi atas Nabi dari rencana jahat Ummu Jamil.

VII. Kontras dengan Surat-Surat Lain

Surat Al Lahab berdiri kontras dengan surat-surat pendek Makkiyah lainnya yang seringkali berbicara mengenai musuh Islam, terutama Surat Al-Kautsar dan Al-Kafirun.

1. Perbandingan dengan Surat Al-Kautsar (Nikmat dan Kemenangan)

Jika Al Lahab berbicara tentang kehancuran mutlak musuh Nabi (Abu Lahab), Al-Kautsar (surat terpendek, no. 108) berbicara tentang nikmat tak terbatas yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan janji bahwa musuh beliaulah yang akan terputus (al-abtar).

Kedua surat ini, Al Lahab dan Al-Kautsar, diturunkan pada periode sulit di Mekah untuk memberikan kepastian kepada Nabi: bahwa mereka yang membenci beliau akan hancur (Al Lahab), sedangkan beliau sendiri akan diberkahi (Al-Kautsar).

2. Perbandingan dengan Surat Al-Kafirun (Prinsip Toleransi)

Surat Al-Kafirun mengajarkan pemisahan yang jelas dalam masalah akidah: Lakum dīnukum wa liya dīn (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku). Ini adalah prinsip toleransi dalam berkeyakinan.

Namun, Surat Al Lahab adalah pengecualian. Mengapa? Karena Abu Lahab dan istrinya tidak hanya menolak Islam; mereka secara aktif melakukan permusuhan fisik, verbal, dan emosional terhadap Nabi dan pengikutnya. Al Lahab ditujukan kepada musuh yang ekstrem dan agresif yang menolak kebenaran setelah mengetahui kebenaran tersebut dan justru memilih jalan permusuhan secara terang-terangan.

Surat Al Lahab adalah peringatan bahwa toleransi tidak berarti membiarkan agresi dan fitnah tak berbalas, terutama ketika hal itu dilakukan oleh orang-orang yang paling dekat dan paling seharusnya melindungi.

VIII. Nilai Kontemporer Surat Al Lahab

Di luar konteks historis abad ke-7 Mekah, pesan Surat Al Lahab tetap relevan bagi kehidupan umat manusia saat ini, khususnya dalam menghadapi ujian kekayaan, kekuasaan, dan konflik sosial.

1. Ujian Kekuasaan dan Kedudukan

Di era modern, banyak orang percaya bahwa status sosial, jabatan tinggi, atau akumulasi kekayaan dapat memberikan kekebalan dari hukum moral atau keadilan. Kisah Abu Lahab mengingatkan bahwa takdir ilahi tidak terpengaruh oleh kekuasaan manusia. Kekayaan dan jaringan sosial yang digunakan untuk menindas kebenaran akan menjadi beban yang menyeret pemiliknya ke kehancuran.

2. Pelajaran dalam Memerangi Fitnah Digital

Ummu Jamil adalah penyebar fitnah era Jahiliyah. Hari ini, media sosial dan platform digital menjadi 'pasar' utama penyebaran fitnah. Seseorang yang aktif menyebarkan berita bohong (fitnah) di dunia digital, mengadu domba, dan menyalakan api kebencian di tengah masyarakat, mengambil peran sebagai Hammālatal-Ḥaṭab modern.

Peringatan dalam Ayat 4 dan 5 mengajarkan bahwa dosa fitnah memiliki ganjaran yang sangat spesifik dan personal, di mana beban dan rasa sakit akibat kebohongan yang disebar akan kembali kepada pelakunya di Hari Pembalasan.

3. Hubungan Keluarga dan Iman

Surat ini mengajarkan bahwa ikatan spiritual (iman) jauh lebih kuat daripada ikatan darah (nasab). Jika ikatan darah menghalangi kebenaran, maka ikatan darah tersebut menjadi tidak berarti. Ketika Abu Lahab memilih kekufuran di atas keimanan, dia secara definitif memutuskan hubungannya dengan Nabi ﷺ di sisi agama, meskipun mereka masih paman dan keponakan.

IX. Penutup dan Pengulangan Makna Utama

Surat Al Lahab, meskipun singkat, adalah sebuah dokumen teologis dan historis yang kuat. Ia menegaskan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ melalui nubuat yang spesifik, memberikan kepastian kepada kaum Muslimin awal bahwa kebenasaan adalah takdir bagi para penentang yang sombong dan agresif.

Kekayaan Abu Lahab gagal menyelamatkannya, dan fitnah Ummu Jamil menjadi tali azab yang melilit lehernya. Surat ini mengajarkan kita untuk selalu berdiri di sisi kebenaran, terlepas dari seberapa kuat atau kaya musuh yang kita hadapi, dan untuk berhati-hati terhadap dosa lisan dan kesombongan yang dapat membatalkan semua amal baik kita.

Dengan memahami teks Arab, transliterasi surat al lahab dan artinya latin, serta konteksnya yang mendalam, kita menyadari bahwa setiap ayat dalam Al-Qur'an memiliki hikmah yang melampaui waktu, memberikan pelajaran abadi tentang keadilan ilahi, konsekuensi permusuhan, dan kemenangan akhir bagi para pembela tauhid.

🏠 Homepage